Ceramah disampaikan oleh Ustadz M.
Aqil Haidar, Lc, di Mushalla
Tarbiyah, hari Selasa, 28
Rajab 1438 / 25 April 2017.
Ada
bermacam-macam perbedaan dalam Islam dan ada yang dapat diterima maupun tidak.
Pada
dasarnya Islam hanya 1. Perpecahan tidak sama dengan perbedaan. Sekelompok
orang yang sama bisa saja berpecah, tapi sekelompok orang yang berbeda bisa
saja bersatu, sebagaimana prinsip bhinekka tunggal ika.
Macam perbedaan
1. Mardud
Tertolak,
artinya tidak boleh ada ikhtilaf, tidak boleh ada perbedaan.
2. Maqbul
Boleh ada
perbedaan.
Perbedaan berdasarkan sebab
Termasuk
dalam perbedaan yang mardud bila didasarkan pada hawa nafsu. Misalnya 1
kelompok ingin selalu berbeda dengan kelompok lain tanpa landasan syar'i yang
jelas.
Termasuk
perbedaan yang maqbul adalah perbedaan karena peran akal dalam memahami teks
dalil.
Al Qur'an
yang sama bisa dipahami secara berbeda, dan pemahaman berbeda akan diamalkan
berbeda. Ada yang disebut sebagai istimbat.
Perbedaan berdasarkan aspek
Termasuk
perbedaan mardud adalah perbedaan dalam masalah pokok Islam (ushul) yaitu
aqidah, dasar agama, seperti kewajiban shalat 5 waktu dan bahwa Allah hanya 1.
Termasuk
perbedaan yang maqbul bila dalam hal furu' yaitu fiqih, misalnya tentang doa
Qunut serta apakah menyentuh perempuan
membatalkan wudhu.
6 Sebab Perbedaan Pendapat
1 Karena perbedaan qiraat (riwayat bacaan
Al Qur'an)
Contoh
qiraat yang dimaksud adalah riwayat Hafs, Warsy, bukan nada seperti bayati atau
nahawan.
Qiraat Al
Qur’an juga memiliki riwayat. Al Qur’an Indonesia biasanya menggunakan riwayat
Hafs dari Hasyim. Yang lain ada juga Nafi’ yang diteruskan kepada Qolun dan
Warsy.
Contohnya
pada ayat Al Qur'an :
Ketika mau
shalat maka basuhlah wajahmu, tanganmu, usaplah kepala kalian dan kaki kalian. Pada
qiraat yang berbeda terdapat bacaan yang berbeda untuk "kaki kalian".
Dibasuh
artinya terkena air mengalir, sedangkan diusap cukup dengan tangan yang basah
yang diusapkan.
Qiraat yang
satu menyebut sebagai "Wa arjulakum" (1) dan yang lain menyebut
sebagai "Wa arjulikum" (2). Pada Qiraat (1) berarti kaki masuk pada
bagian yang dibasuh, qiraat (2) berarti kaki masuk pada bagian yang diusap.
Ada juga yang
memaknai bahwa kaki diusap ketika memakai khuf (sejenis sepatu).
Ulama dalam
hal ini saling berpendapat, dengan ayat Al Qur’an yang sama, dengan riwayat
yang sudah dipastikan kebenarannya.
2 Belum
sampai suatu hadits kepada seorang sahabat
Di masa lalu
seseorang harus berjalan berkilo-kilo
meter untuk dapat menemukan suatu hadits.
Contoh untuk
kasus ini adalah perbedaan antara hadits Abu Hurairah dan Aisyah tentang puasa
orang junub.
Hadits
shahih Bukhari dari Abu Hurairah menyebutkan bahwa bila sudah masuk waktu subuh
dan seseorang masih dalam keadaan junub, maka puasanya tidak sah.
Hadits lain
yang juga termasuk dalam shahih Bukhari dari Aisyah dan Ummu Salamah,
menyebutkan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah berada dalam junub ketika
waktu subuh sudah masuk (karena jima’ sebelumnya), dan beliau berpuasa.
Dalam hal
ini, kemungkinannya adalah Abu Hurairah belum memperoleh informasi ini, karena
ini adalah masalah di dalam keluarga, yang kemudian baru disampaikan oleh
Aisyah kepada yang lain karena dapat menjadi pelajaran.
3 Karena
perbedaan status hadits
Suatu hadits
dianggap sebagai shahih atau tidak adalah hasil dari ijtihad ulama, bukan dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Maka status shahih atau tidak
tergantung siapa yang menilai.
Imam Bukhari
setelah mengumpulkan hadits yang beliau anggap shahih, menyetorkan hadits
tersebut kepada Imam Ahmad bin Hambal. Dari 7000 hadits yang dikumpulkan, ada 4
hadits yang dianggap tidak shahih dan dikeluarkan dari kumpulan hadits
tersebut.
Contoh kasus
adalah pada doa Qunut subuh.
Ada hadits
yang menyebutkan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tetap Qunut pada shalat
Fajar hingga meninggal dunia. Merujuk pada hadits ini, maka hukum Qunut subuh
adalah sunnah.
Untuk qunut
subuh, tidak ada referensi yang menyatakan wajib. Ada yang menyatakan sunnah
atau sunnah ab’ad yang bila tertinggal karena lupa disarankan untuk sujud
syahwi. Tetapi karena sunnah, ditinggalkan dengan sengaja pun tidak apa-apa.
Hadits dari Anas,
menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam Qunut sebulan penuh
melaknat orang-orang yang membunuh sahabat, dilakukan di semua shalat, dengan
Qunut yang berbeda, sampai akhirnya Allah perintahkan untuk berhenti.
Terhadap
kedua hadits tersebutlah ulama berbeda pendapat mana yang lebih shahih.
4 Perbedaan
memahami nas
Ayat Al
Qur'an surat An Nisa’ menyebutkan “bila telah menyentuh perempuan dan tidak
bertemu air, maka tayammumlah”.
Secara
tekstual, makna perempuan adalah perempuan mana pun baik kecil maupun besar,
baik muhrim maupun bukan muhrim.
Namun
memaknai lebih lanjut apakah menyentuh perempuan membatalkan wudhu, ulama
berbeda pendapat.
Imam Abu
Hanifah meyatakan tidak batal menyentuh perempuan, karena yang dimaksud dalam
ayat tersebut adalah jima’.
Imam Maliki
dan Hambali menyatakan batal bila menyentuh dengan syahwat.
Imam Syafi’i
menyatakan batal baik dengan istri maupun dengan orang lain, bila menyentuh
tanpa penghalang, bagian apapun yang menyentuh.
Ada 2 hadits
berkenaan dengan hal ini.
Yang pertama
adalah hadits yang mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
pernah mencium sebagian istri beliau lalu tanpa berwudhu kembali, beliau
langsung shalat.
Berdasarkan
hadits inilah sebagian ulama menetapkan bahwa menyentuh istri tidak batal.
Terhadap
hadits ini, Imam Nawawi menyatakan sebagai hadits dhaif.
Dan ada
kemungkinan bahwa saat itu istri-istri Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
tersebut mengenakan cadar. Maka berdasarkan pendapat ini, mencium istri bila
tanpa penghalang membatalkan wudhu.
Ada hadits
lain yang menyatakan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat
sambil menggendong cucu perempuan beliau, Umamah. Artinya bila bersentuhan
dengan perempuan yang masih kecil, tidak membatalkan wudhu. Namun bila baligh
tetap membatalkan wudhu.
Hadits lain
lagi menjelaskan bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat malam
dan kaki Aisyah melintang, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memegang
kaki Aisyah dan menyingkirkannya. Hadits ini dipahami sebagaian ulama bahwa
menyentuh istri tidak membatalkan wudhu.
Hadits lain yang
menurut Imam Malik “nihayatin minash shahih” atau sangat shahih, menyatakan
bahwa laki-laki yang mencium atau memegang perempuan dengan tangan maka wajib
berwudhu.
Terhadap
hadits-hadits tersebut, Imam Syafi’I memaknai sebagai berikut : secara umum
bersentuhan laki-laki dan perempuan membatalkan wudhu, bila tanpa penghalang.
Adapun hadits yang menyatakan Rasulullah mencium istri beliau dan memegang kaki
Aisyah, ditakwilkan bahwa pada saat itu ada penghalang seperti cadar maupun
celana panjang. Penakwilan dilakukan agar hadits-hadits yang sama-sama shahih tersebut
dapat diamalkan.
Ijtihad
seperti ini sudah di luar teks Al Qur’an dan hadits, dengan pemahaman yang
mengharuskan dilakukannya takwil.
Untuk
perbedaan nomor 5 dan 6 belum sempat dijelaskan karena keterbatasan waktu.
Cara
menyikapi perbedaan
Menyikapi
perbedaan-perbedaan tersebut, kita sebaiknya kembali kepada Al Qur'an dan
sunnah, melalui ulama. Karena para ulama secara detail memahami hadits bahkan
yang terlihat kontradiktif. Dengan cara ini kita insya Allah akan selamat
dengan cara yang benar.