Dicopy paste dari materi yang disampaikan oleh Ustadzah Sinta Santi.
Jika berbicara
mengenai kematian, maka pastilah semua orang yang berakal kurang menyukainya.
Jika bisa, manusia ingin hidup selamanya. Oleh karena itulah, manusia membenci
hal-hal yang dapat menjadi pembinasa bagi kehidupannya, termasuk kematian.
“Dan sungguh kamu
akan mendapati mereka, manusia yang paling loba kepada kehidupan (di dunia), bahkan (lebih loba
lagi) dari orang-orang
musyrik. Masing-masing mereka ingin agar diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu
sekali-kali tidak akan menjauhkannya
daripada siksa. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.” QS 2:96.
“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu
yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan” (ar-Rahman: 26-27).
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu
lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian
kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan."(al-Jumu’ah: 8).
Kematian pasti akan terjadi dan akan menimpa semua makhluk
yang bernyawa. Akan tetapi kapan kematian atau ajal itu akan terjadi, semua
makhluk tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Karena ia merupakan misteri dan
rahasia Ilahi. Oleh karenanya, manusia yang cerdas akan selalu mengevaluasi
diri dan melakukan persiapan untuk hari keberangkatannya.
“Yang mengikuti si
mayyit ada tiga perkara; keluarga, harta dan amalnya. Yang dua kembali dan yang
masih tetap (bersamanya) hanya satu. Keluarga dan hartanya kemabali dan
sementara amalnya kekal bersamanya.” Muttafaqun ‘Alaih.
“Orang yang
cerdas/kuat (mensikapi hidup) adalah yang selalu menghisab dirinya dan beramal
untuk bekal setelah mati. Orang yang lemah adalah yang mengekor hawa nafsunya
dan berandai-andai terhadap Allah.” HR At-Tirmidzi.
Ada Empat Perenungan Seputar Kematian :
Pertama, Waktu kedatangannya
yang tidak diketahui.
Kekhawatiran akan datangnya sang tamu yang tak diundang ini hendaknya terus dihayati dan dirasakan setiap
saat. Hal ini disebabkan waktu kedatangannya yang ghaib, sehingga diperlukan
kewaspadaan yang terus menerus. Hal yang berbeda tentu akan terjadi apabila sebelumnya
seseorang itu tahu kapan waktu kedatangannya, dan atau diberitahu kapan ia akan datang.
Hal ini tentu akan menyebabkan seseorang itu mempersiapkan
kedatangannya.
“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya
sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat;
dan Dia-lah Yang menurunkan
hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.
Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa
yang akan diusahakannya
besok Dan tiada seorangpun yang
dapat mengetahui di bumi mana dia akan
mati. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (Luqman: 34).
Kedua, Kematian
merupakan sudden death status seseorang, apakah ia meninggal sebagai seorang
mukmin atau sebaliknya.
Kehadiran setan pada saat menjelang kematian seorang manusia sangatlah
berbahaya. Sebab, hal inilah yang menjadi tolok ukur amal seseorang. Dalam
sebuah riwayat Rasulullah saw. pernah bersabda, “Amal itu ditentukan di saat penutupannya.” Maksud dari hadist
ini adalah keseluruhan amalan seseorang akan dinilai pada saat kematiannya atau
bagaimana ia mengakhiri hidupnya. Disinilah setan bermain. Ia ingin setiap
muslim atau mukmin yang sedang menghadapi kematiannya, akhirnya mati dalam
keadaan kufur.
Ketiga, Mewaspadai
Su’ul Khatimah.
Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang hamba beramal dengan amalan ahli surga, hingga
jarak antara ia dengan surga hanyalah sejengkal. Kemudian, berlakulah ketentuan
Allah atas dirinya, dan ia pun beramal
dengan amalan ahli neraka, yang menyebabkannya terjerumus ke dalamnya.”
Setiap muslim hendaknya senantiasa mewaspadai hal ini, hingga lahirlah
dalam dirinya rasa kekhawatiran jika hal tersebut menimpanya. Hal ini akan
mendorongnya untuk lebih mengontrol perilakunya, dan menimbulkan rasa
harap-harap dan cemas terhadap Allah SWT. Rasulullah saw. mengajarkan satu doa kepada kita agar
terhindar dari akhir yang buruk itu, “Ya
Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku pada akhirnya, sebaik-baik amalku pada
penghabisannya, dan sebaik-baik hariku pada saat aku berjumpa dengan-Mu.”
Keempat; Beratnya
Menghadapi Sakratul Maut
Al-Qur`an menggambarkan keadaan sakratul maut ini dalam surat al-Qiyamah,
ayat 29 dengan ungkapan, “Wal taffatis
saaqu bissaaqi”, yang artinya adalah ‘syiddatul baalighah ‘indalmauti’ atau kedahsyatan, tekanan,
ketakutan, kesakitan, himpitan, dan berbagai keadaaan dan perasaan yang tidak
enak, semua ini bercampur aduk menjadi
satu di saat menjelang kematian. Bahkan, menjelang wafatnya, Rasulullah saw.
pun merasakan beratnya menghadapi sakratul maut. Aisyah ra. berkata, “Rasulullah saw. sampai membasuh wajahnya
dengan air sambil berkata, “Tiada tuhan melainkan Allah, sesungguhnya pada
kematian itu ada sakaratnya.”
Cahaya Kematian ada
Empat :
- Amal Saleh, Segala ucapan dan perbuatan
seseorang yang diridhai dan dicintai Allah SWT, baik yang berkaitan dengan
dimensi Aqidah, Ibadah, mu’amalah, sulukiah dan amal-amal kebaikan lainnya.
- Sedekah Jariah, Sedekah yang bersifat
permanen dan terus menerus pemanfaatannya atau yang disebut dengan waqaf
abadi seperti tanah, bangunan, pekarangan, usaha (hotel, mini market,
warnet dll), uang tunai dll.
- Ilmu Yang Bermanfaat, Ilmu yang kita
ajarkan kepada orang lain dan selanjutnya ia melaksanakannya,
mengembangkannya dan mengajarkannya kepada yang lain. Baik ilmu tersebut
ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum yang bermanfaat bagi kehidupan
manusia baik di dunia maupun di akhirat.
- Anak Saleh Yang Berdo’a Untuknya, Anak-anak kita yang terdidik dan terbina yang senantiasa taat terhadap nilai-nilai kebenaran Islam, selalu berbuat kebaikan dan mendo’akan kita setelah wafat kita.
No comments:
Post a Comment