Ceramah hari ini disampaikan oleh Ustadz Athian Ali. Semoga bermanfaat.
Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah disebutkan bahwa setiap amal ibadah Allah berkenan melipatgandakan 10-700. Dan kemudian Allah berfirman, kecuali ibadah shaum, shaum khusus untuk-Ku dan Aku yang akan memperhitungkan.
Kebaikan dilipatgandakan 10-700 kali, angka 1-9 adalah untuk niat dan usaha. Jika kita sudah berniat melakukan kebaikan, maka diberikan 1 pahala. Jika kita sudah berusaha, diberikan 2-9 pahala sesuai kualitas usaha. Jika berhasil melakukan kebaikan, maka diberikan 10-700 kali lipat.
Maka sesungguhnya Allah sudah memberikan begitu banyak kesempatan untuk masuk ke surga. Sehingga kalau sampai ada manusia yang masuk neraka, sebenarnya “kebangetan”.
Seseorang masuk ke surga jika ketika ditimbang, amalnya lebih berat daripada dosanya. Ada yang mengatakan bahwa dosa sekecil apa pun akan merasakan neraka. Tetapi ada juga pendapat yang mengatakan bahwa neraka diberikan jika timbangan dosa lebih berat daripada amal. Bahkan dalam surat Al A’raf disebutkan bahwa jika dosa sama berat dengan amal pun, masih masuk surga.
Surga ada 100 kelas, sesuai dengan tingkatan amal soleh manusia.
Dosa yang dihitung di akhirat adalah dosa yang tersisa, yang terbawa sampai mati. Adapun dosa yang sudah kita mintakan ampun dan sudah Allah ampuni, akan Allah hapus sampai tiada berbekas (afun). Selain itu, dosa dapat juga terhapus oleh amal ibada yang dilakukan. Dan ketika sudah wafat pun di alam kubur, dosa masih dapat terhapus oleh 3 amal kiriman yang tidak terputus.
Maka Umar berkata, hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.
Jika kita coba menghitung, misalnya saat ini usia kita 45 tahun, lalu dikurangi dengan usia kita sebelum baligh 15 tahun, maka kita memiliki 30 tahun usia yang dihisab per detiknya. Sekali lagi per detiknya.
Jika kita hitung amal kita yang sudah dilakukan :
Shalat fardhu : 5 waktu x 365 hari x 30 tahun x 700 lipat
Puasa dengan lailatul qadr : 30 tahun x 1000 bulan x 700 lipat
Senyum kepada pasangan : 10 tahun x 4 kali x 52 minggu x 30 tahun x 700 lipat
Bagaimana dengan dosa? Dosa hanya dihitung 1 kali :
Bohong : 2 kali x 52 minggu x 30 tahun
Marah : 4 kali x 52 minggu x 30 tahun
Sepertinya kita bisa optimis bahwa kita dapat meraih surga. Benarkah demikian?
Satu masalah yang perlu diperhatikan : pahala 10 – 700 kali lipat akan diperolah jika ibadah kita diterima. Dosa, walaupun tidak ada pengali, pasti dicatat, pasti diterima. Dosa tidak bersyarat, tidak harus khusyu, tidak harus ikhlas.
Sedangkan ibadah, tidak semua ibadah diterima.
Sebagaimana dalam surat Al Ma’un dikatakan bahwa celakalah orang yang shalat, atau ada yang mengartikan neraka wail bagi orang yang shalat.
Dan banyak hadits yang diawali dengan kata “rubbah”, yang artinya alangkah banyaknya, antara lain alangkah banyaknya orang yang melakukan qiyam (lail), dan tidak memperoleh apa-apa kecuali capek.
Qiyamul lail adalah yang pertama difardhukan sebagaimana pada surat Al Muzzammil. Waktunya adalah antara maghrib sampai subuh (10 jam), bisa 5 jam, 4 jam, atau 6 jam. Rasulullah dan para sahabat memilih yang 6 jam, membaca Al Baqarah, Ali Imran, An Nisa, sekitar 4 juz. Qiyamul lail kemudian tidak lagi diwajibkan, tetapi tetap wajib untuk Rasulullah, dan Rasulullah lakukan sepanjang hidupnya. Maka Rasulullah dalam seminggu khatam Al Qur’an dalam qiyamul lail.
Kemudian, alangkah banyak orang yang berpuasa, dia hanya mendapatkan lapar dan haus.
Maka sesungguhnya sedikit sekali amal yang diterima.
Seorang syekh, Syekh Abdurrahman, pernah di waktu haji berada di Mekkah namun beliau tidak melakukan haji. Setelah shalat malam di ka’bah, beliau tertidur sejenak dan bermimpi. Ketika bangun beliau berkeringat sehingga orang di sekitarnya menyangka beliau sakit. Lalu beliau menceritakan mimpinya, sambil menangis karena khawatir mimpi itu adalah petunjuk. Dalam mimpinya dikabarkan bahwa seluruh yang melakukan haji tahun tersebut tidak ada yang mabrur.
Dalam Al A'raf 179 disebutkan bahwa kebanyakan jin manusia berada di dalam neraka jahannam.
Setelah penjelasan ini, apakah masih kita merasa optimis untuk bisa masuk surga?
Maka kita perlu mencari cara bagaimana agar masuk ke dalam kelompok yang sedikit. Jangan sampai yang sudah kita lakukan sia-sia. Dalam Bahasa Sunda, cape gawe teu kapake. Sudah lelah bekerja, tidak bermanfaat.
Untuk itu ada 2 hal yang diperhatikan, yaitu syariat (jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan) dan hakikat (tujuan itu sendiri).
Misalnya kita di Bandung, akan ke Jakarta untuk bertemu dengan Pak Amir. Kita pun melakukan persiapan perjalanan, memilih transportasi yang paling sesuai, menjalani perjalanan itu, dan akhirnya sampai ke Jakarta. Namun, tiba-tiba belum sampai berjumpa dengan Pak Amir, ada telepon dari beliau yang menyatakan bahwa beliau sudah di bandara dan ada keperluan mendadak untuk ke luar kota. Maka dalam analogi ini dapat dikatakan bahwa, walaupun seluruh jalan dan upaya sudah kita lakukan (syariat) namun sebenarnya kita tidak berhasil mencapai tujuan (bertemu dengan Pak Amir, hakikat).
Dalam Al An'am 162 disebutkan inna shalati, wa nusuki, wa mahyaya, wa mamati : adalah jalan, bukan tujuan. Seluruh yang kita lakukan, bahkan termasuk hidup dan mati kita, adalah jalan, syariat.
Yang menjadi tujuan adalah : lillahi rabbil alamin.
Tujuan kita adalah mencapai ridha Allah.
Karena itu perlu kita terus renungkan, setiap kita selesai shalat, patutkah shalat saya tadi Allah terima? Apakah saya ingat Allah sepanjang shalat? Bukankan betapa sepanjang shalat saya mengingat justru hal-hal yang selain Allah? Apakah Allah akan ridha pada saya?
Ketika kita bersedekah, apakah kita sungguh ikhlas? Apakah karena ingin dipuji orang? Jika tidak ada orang lain tadi, akankah kita bersedekah?
Perlu juga dipelajari lebih lanjut mengenai ikhlas berkaitan dengan fenomena shadaqah saat ini, yang mengharapkan sesuatu. Apakah dengan demikian sedekah kita masih dalam kategori ikhlas?
Hakikat shaum, adalah shaum dari yang halal. Dari yang haram, kita harus shaum selamanya, shaum adalah latihannya.
Dalam Al Hujurat 12 disebutkan larangan membicarakan orang lain. Yang disebutkan dengan membicarakan orang lain adalah fakta. Jika bohong, maka lebih buruk lagi.
Ketika kita puasa lalu membicarakan orang lain, maka secara hakikat puasa kita batal, yaitu terancam berkurang nilai amalnya, beberapa persen. Syariat tidak batal, karena tidak melakukan hal yang membatalkan puasa. Jangan karena hakikat batal (karena marah, bergunjing) lalu kita sengaja membatalkan puasa (membatalkan syariat), karena jika kita sengaja membatalkan puasa tanpa alasan yang dapat diterima, maka tidak dapat tergantikan bahkan dengan puasa 1 thn.
Jika makan minum karena tidak sengaja, maka tidak batal. Rasulullah menyebutkan, teruskan. Bukan teruskan makan minumnya, tetapi teruskan puasanya. Dan tidak perlu istighfar, karena tidak ada kesalahan yang dilakukan. Allah sengaja membuat dia lupa, maka bisa jadi yang perlu diucapkan adalah hamdalah.
3 penyebab kesalahan tidak dicatat sebagai dosa :
Pertama, al khata, khilaf, tidak sengaja, maka tidak berdosa. Misalnya istri yang mengucapkan sesuatu yang maksudnya baik, namun ternyata suaminya tersinggung, secara hukum Allah, istri tersebut tidak berdosa, karena innamal a’malu bin niyat, segala perbuatan tergantung niat.
Maka ketika kita meminta maaf atas kesalahan yang tidak disengaja, sebenarnya secara hukum berlebihan.
Kedua, an nisyan, lupa. Misalnya tidak shalat dzuhur karena lupa. Bahkan ekstrimnya, jika sampai 3 bulan pun tidak shalat dzuhur dan sungguh-sungguh karena lupa, tidak berdosa (ini contoh asli dari Pak Ustadz, maaf kalau agak lebay hehehe..). Yang berdosa adalah orang di sekitarnya yang tidak mengingatkan.
Ketika, karena terpaksa. Misalnya kita berada di tengah hutan dan satu-satunya makanan adalah bangkai babi milik orang lain. Namun jika kita tidak makan, kita akan mati. Jangan mengambil mati sebagai pilihan. Makanlah karena darurat, jangan dinikmati.
Contoh lain, wanita yang diperkosa tidak berdosa, karena nyawa adalah taruhannya.
Maka kita perlu memperbaiki lagi syariat dan hakikat ibadah kita. Bukan hanya shalat, tetapi seluruh aktivitas kita. Apakah kerja kita benar bernilai ibadah? Patutkah kita mencapai ridha Allah? Apakah kita sudah mentaati aturan dan hukum? Apakah kita sudah terhindar dari murka Allah?
Ketika shaum, shaumkan jugalah mata kita, telinga kita, tangan kita, dari yang tidak Allah sukai, dari yang bukan hak kita.
Ustadz Athian membahas tentang ikhlas, yang merupakan rukun asasi dari ibadah, agar ibadah kita selamat. Dan definisi ikhlas adalah murni, tidak boleh tercampur apa pun. Bahkan kalangan sufi secara ekstrim menyebutkan bahwa jika kita mengharap surga dan takut neraka pun, tidak masuk kategori ikhlas. Namun sebagian ulama sepakat bahwa mengharap surga dan takut neraka adalah bagian dari kebaikan akhirat, maka masih dibolehkan. Maka, ketika kita beribadah mengharapkan kenikmatan dunia, perlu dipelajari kembali kaitannya dengan keikhlasan.
Dan sesungguhnya yang mengantar ke surga bukan amal kita tetapi rahmat Allah. Dan rahmat Allah inilah yang harus kita kejar. Maka perlu kita evaluasi, apakah amal ibadah yang sudah kita lakukan sudah membuat kita patut untuk disayang Allah? Apakah “laku” ibadah kita untuk “membeli tiket” kasih sayang Allah?
Contoh tentang pelacur yang memberi minum seekor anjing lalu masuk surga, adalah bahwa pelacur tersebut bertaubat dan taubatnya diterima dengan cepat karena ia pernah melakukan karya mulia yaitu menolong anjing yang kehausan.
No comments:
Post a Comment