Rasanya saya sudah pernah menulis topik ini tahun lalu.
Tetapi, rasanya setiap tahun ada tambahan referensi , sehingga saya rasanya
perlu menulis lagi :-)
Mudik, sebenarnya berasal dari tradisi di masyarakat
nusantara dahulu, yang kabarnya di zaman Majapahit. Dalam tradisi itu, setahun sekali, para
perantau kembali ke kampung halaman, berjumpa dengan seluruh kerabat, dan membersihkan
makam keluarga yang sudah meninggal. Ketika Islam masuk, kabarnya penyebar
Islam menggunakan momentum Idul Fitri untuk tradisi pulang kampung ini.
Kalau kita melihat sejarah Rasulullah, Rasulullah sendiri
adalah seorang “perantau” dari Makkah ke Madinah, dalam Idul Fitri Rasulullah
tidak kembali mudik ke Makkah. Idul Fitri Rasulullah diisi dengan shalat Idul
Fitri, mengenakan pakaian terbaik, dan keesokan harinya pun kembali berpuasa
syawal. Pada malam Idul Fitri pun, Rasulullah masih ber-I’tikaf.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan mudik di waktu Idul
Fitri. Kalau memang tidak mengganggu ibadah Ramadhan-nya.
Karena sebenarnya, inti dari Ramadhan dan Idul Fitri, justru
pada Ramadhan-nya. Dan inti dari Ramadhan justru pada 10 hari terakhirnya. Rasulullah
mencontohkan agar kita menyendiri, merenungkan perjalanan hidup kita,
menghindar dari debu-debu dosa, dalam I’tikaf.
Tentunya hal ini sulit dilakukan jika kita sedang berada
dalam perjalanan mudik. Apa lagi jika mudik ini menggunakan mobil apa lagi
motor. Yang tentunya hiruk pikuk dan melelahkan.
Ada yang bilang, itu sih tergantung orangnya saja. Kalau dia
bisa mengemas dan menyikapi mudik sebagai ibadah, dia bisa dzikir di
perjalanan, memberi sedekah di kampung halaman, membangun masjid dan
memberdayakan masyarakat kampung.
Tentu ini amat sangat benar, dan amat sangat bermanfaat.
Tetapi, apa benar, kita bisa fokus berdzikir sambil
berkendara sedemikian lelah? Bukankan akan lebih fokus jika kita berdiam di
masjid? Lalu, memberi sedekah, membangun
masjid, memberdayakan masyarakat kampung, bukankah lebih baik jika dilakukan
secara kontinyu?
Terlalu besar upaya yang dilakukan untuk mudik. Perjalanan
yang panjang, bisa mencapai puluhan jam.
Biaya yang besar. Kelelahan fisik yang luar biasa. Apakah sedemikian
pentingnya?
Bukan berarti berjumpa dengan sanak keluarga tidak penting.
Tentu sangat penting. Menjaga silaturahim itu sangat penting. TInggal yang
perlu dicari adalah waktunya yang lebih tepat. Jangan di Idul Fitri. Sayang dengan Ramadhan-nya.
Bolehlah kalau di Idul Adha. Apa lagi di Idul Adha memang
disarankan untuk memasak sebagian daging qurban, dan memang dilarang untuk
berpuasa selama 3 hari tasyrik.
Atau di hari liburan anak-anak. Atau sepakati hari lain.
Buatlah Ramadhan hanya untuk Allah. Buatlah Ramadhan waktu
kita menyendiri bersama Allah. Dan di Idul Fitri semoga kita benar-benar
kembali suci.
Tantangannya tentu tidak mudah. Karena tradisi ini sudah
turun temurun. Orang tua kita biasanya memang sudah sangat mengharapkan
kedatangan kita di Idul Fitri. Belum lagi pasti banyak yang tidak sependapat,
dan tetap dengan pendirian bahwa Idul Fitri identik dengan mudik, dengan
berbagai penjelasannya.
Tidak apa-apa. Untuk yang masih merasa bahwa Idul Fitri
identik dengan mudik, silakan tetap menjalankan, semoga tetap bisa
mengoptimalkan ibadah Ramadhan selama mudik.
Untuk yang mulai berpikir bahwa “betul juga ya, kenapa mudik
harus ketika Idul Fitri”, tetapi keluarga besar masih tetap mengharapkan kita
untuk mudik, silakan juga untuk tetap mudik, sambil pelan-pelan mulai “menegosiasi”
waktu lain untuk mudik.
Untuk yang setuju dan punya kendali untuk memutuskan kapan
mudik, silakan putuskan yang terbaik :-)
Yuk, kita mulai IFTM - Idul Fitri Tanpa Mudik.
No comments:
Post a Comment