Semua orang bisa berpendapat berbeda, dan melihat pendapat
yang berbeda selalu ada yang memberikan komentar.. Seperti kisah seorang ayah
dan anaknya serta keledai, yang akhirnya berganti-ganti formasi karena mendengarkan
komentar orang lain..
Perlu dilihat juga siapa yang berkomentar. Kalau
kapasitasnya kira-kira sebenarnya tidak layak, barangkali sebetulnya tidak
perlu ditanggapi..
Tapi kalau yang komentar Ustadz atau Ustadzah, barangkali perlu tarik nafas dulu, dan menanggapi dengan kepala dingin, sambil introspeksi..
Secara rasional bener juga sih, lebih lama di kantor, 3 jam di rumah ketemu anak, 8 jam di kantor, artinya 2 kali
lipat lebih di kantor, barangkali memang kita lebih layak disebut sebagai karyawan daripada
ibu..
Tapi lebih jauh lagi,
di kantor juga ngga full memikirkan kantor yah? Sebentar inget anak, apa lagi
kalau sedang sakit, ada ujian.. Harus memastikan mbak-mbak dan supir melakukan
a-z sesuai jadwal dan kualitas tertentu.. Harus sekali-sekali datang ke sekolah
kalau ada parent teacher meeting.. Belum lagi kalau udah waktunya pengambilan
raport dan wisuda, dan anaknya lebih dari 2, dengan jadwal yang berbeda-beda, ada
yang di luar kota pula, dalam 2 minggu bisa berapa kali izin dan cuti..
Apakah juga layak disebut sebagai karyawan?
Akhirnya, bukan layak disebut ibu, istri, karyawan, dll dsb
yang kita cari, apa lagi sebutan itu
hanya datang dari sesama manusia.. Tapi yang penting apakah Allah ridha dengan
semua lelah juggling jungkir balik kita ini? Layakkah kita buat Dia? Akhirnya, itu
aja yang penting..
Selanjutnya menanggapi soal kerja sebagai dokter.. Katanya sih
memang yang paling baik itu perempuan bekerja sebagai sesuatu yang bermanfaat
untuk masyarakat.. Kalau ngga salah ada 2 yang “sangat bisa diterima” dalam
Islam, yaitu jadi guru dan dokter..
Ini juga yang dulu almarhum Kyai nya almarhum
Bapak saya sampaikan waktu saya lulus kuliah, “perempuan itu jadi guru atau dokter,
jangan di kantor-kantor yang pake benges segala itu”. Dulu saya pikir,
tradisional banget ya, pekerjaan kok pilihannya cuma guru sama dokter. Tapi
ternyata latar belakangnya itu tadi..
Jadi referensi bahwa Kyai Ahmad Dahlan
membolehkan perempuan bekerja sebagai dokter, sebetulnya kemungkinan ngga bisa jadi
justifikasi bahwa beliau membolehkan perempuan bekerja apa saja..
Terus kenapa saya masih kerja jadi karyawan? Jawabannya ada di bab yang lain..
No comments:
Post a Comment