Monday, August 8, 2016

Ibu atau Karyawan?

Semua orang bisa berpendapat berbeda, dan melihat pendapat yang berbeda selalu ada yang memberikan komentar.. Seperti kisah seorang ayah dan anaknya serta keledai, yang akhirnya berganti-ganti formasi karena mendengarkan komentar orang lain..

Perlu dilihat juga siapa yang berkomentar. Kalau kapasitasnya kira-kira sebenarnya tidak layak, barangkali sebetulnya tidak perlu ditanggapi..

Tapi kalau yang komentar Ustadz atau Ustadzah, barangkali perlu tarik nafas dulu, dan menanggapi dengan kepala dingin, sambil introspeksi..

Secara rasional bener juga sih, lebih lama di kantor, 3 jam di rumah ketemu anak, 8 jam di kantor, artinya 2 kali lipat lebih di kantor, barangkali memang kita lebih layak disebut sebagai karyawan daripada ibu..

Tapi lebih jauh lagi, di kantor juga ngga full memikirkan kantor yah? Sebentar inget anak, apa lagi kalau sedang sakit, ada ujian.. Harus memastikan mbak-mbak dan supir melakukan a-z sesuai jadwal dan kualitas tertentu.. Harus sekali-sekali datang ke sekolah kalau ada parent teacher meeting.. Belum lagi kalau udah waktunya pengambilan raport dan wisuda, dan anaknya lebih dari 2, dengan jadwal yang berbeda-beda, ada yang di luar kota pula, dalam 2 minggu bisa berapa kali izin dan cuti..
Apakah juga layak disebut sebagai karyawan?

Akhirnya, bukan layak disebut ibu, istri, karyawan, dll dsb yang kita cari, apa lagi  sebutan itu hanya datang dari sesama manusia.. Tapi yang penting apakah Allah ridha dengan semua lelah juggling jungkir balik kita ini? Layakkah kita buat Dia? Akhirnya, itu aja yang penting..

Selanjutnya menanggapi soal kerja sebagai dokter.. Katanya sih memang yang paling baik itu perempuan bekerja sebagai sesuatu yang bermanfaat untuk masyarakat.. Kalau ngga salah ada 2 yang “sangat bisa diterima” dalam Islam, yaitu jadi guru dan dokter.. 

Ini juga yang dulu almarhum Kyai nya almarhum Bapak saya sampaikan waktu saya lulus kuliah, “perempuan itu jadi guru atau dokter, jangan di kantor-kantor yang pake benges segala itu”. Dulu saya pikir, tradisional banget ya, pekerjaan kok pilihannya cuma guru sama dokter. Tapi ternyata latar belakangnya itu tadi.. 

Jadi referensi bahwa Kyai Ahmad Dahlan membolehkan perempuan bekerja sebagai dokter, sebetulnya kemungkinan ngga bisa jadi justifikasi bahwa beliau membolehkan perempuan bekerja apa saja..

Terus kenapa saya masih kerja jadi karyawan? Jawabannya ada di bab yang lain.. 

No comments: