Wednesday, May 27, 2015

Tafsir Surat Al A’raf tentang Penyihir Fir’aun

Ceramah disampaikan oleh Ustadz Muhaimin.

Surat Al A’raf ayat 113 sampai dengan 126 menggambarkan perubahan kondisi spiritual para penyihir Fir’aun yang berubah total dalam waktu yang singkat.

Kisah ini merupakan lanjutkan dari kisah Nabi Musa pada surat As-syu’ara ketika Nabi Musa berdialog dengan Fir’aun, ketika Fir’aun meminta Nabi Musa menunjukkan kehebatannya sebagai Nabi. Nabi Musa menunjukkan tangannya yang bersinar seperti matahari, kemudian tongkatnya yang bisa berubah menjadi ular. Fir’aun menganggap Nabi Musa sebagai penyihir dan meminta untuk melawan penyihir kerajaan. Selain itu terdapat dialog tentang ketuhanan antara Fir’aun dan Nabi Musa.

Pada awalnya para penyihir hadir untuk bertanding melawan Nabi Musa dan mereka mengharapkan hadiah serta kedudukan. Namun setelah melihat mujizat Nabi Musa, yaitu tongkatnya berubah menjadi ular dan memakan ular penyihir, para penyihir mengetahui secara pasti bahwa hal itu bukan sihir, dan maka Nabi Musa adalah benar seorang Nabi.

Para penyihir pun secara spontan berubah menjadi beriman kepada Nabi Musa.

Digambarkan bahwa di suatu masa nanti seseorang dapat beriman di pagi hari, dan menjadi kafir di sore harinya. Karena memang hati sangat mudah berbolak-balik, mudah untuk mencintai, mudah juga untuk membenci. Maka ada doa untuk menetapkan hati, yaa muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘aladdiinik.

Melihat kejadian ini, Fir’aun sangat marah. Selain kejadian ini, sebenarnya kemarahan Fir’aun juga disebabkan oleh rentetan kekalahan yang dialaminya dengan Nabi Musa.

Kekalahan pertama adalah sebagaimana pada surat Asy Syu’ara, yaitu ketika Nabi Musa tidak mengakui Fir’aun sebagai tuhan.
Kekalahan kedua, juga dalam surat Asy Syuara, ketika kalah pada dialog tentang ketuhanan dengan Nabi Musa.
Kekalahan ketiga, adalah ketika penyihir kerajaan kalah dengan Nabi Musa, ditambah dengan pengakuan para penyihir itu bahwa mereka beriman kepada Nabi Musa.

Fir’aun sangat marah dan menganggap kejadian tersebut sebagai tipu daya dari para penyihir itu, dan ia mengancam mereka dengan hukuman potong silang yaitu kaki kanan dan tangan kiri atau kaki kiri dan tangan kanan, yang dilanjutkan dengan penyaliban.

Sedikit tentang penjelasan arti kata “tsumma”.
Pada kisah ini digambarkan bahwa Fir’aun mengancam penyihir dengan hukuman potong silang, “tsumma” penyaliban.
“Tsumma” artinya berurutan, yang satu setelah yang lain, dengan terdapat jarak waktu.
Contoh kalimat yang lain, Eko “wa” Aki masuk ke mushalla. Penggunaan kata “wa” artinya bersamaan.
Kalimat kedua, Eko masuk, “fa” Aki masuk ke mushalla. “Fa” artinya berurutan dalam waktu yang sebentar.
Kalimat ketiga, Eko masuk, “tsumma” Aki. “Tsumma” artinya berurutan dengan jangka waktu cukup panjang.

Kembali ke penyiksaan Fir’aun kepada para penyihir, maka maknanya adalah setelah Fir’aun menyiksa mereka dengan potong silang beberapa lama, mereka pun disalib.

Pada ayat ke 125 para penyihir mengatakan bahwa mereka akan kembali ke Allah.

Hikmah dari ayat ini adalah bahwa setiap orang memiliki momen untuk kembali kepada Allah. Bagi para penyihir ini, adalah ketika mereka melihat mujizat Nabi Musa, yang mereka ketahui dengan pasti bahwa hal itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Artinya mujizat itu datang dari Tuhan, dan artinya Nabi Musa adalah benar seorang nabi.

Hikmah yang lain adalah bukti kebenaran dapat datang begitu saja tanpa diminta.

Pada ayat selanjutnya digambarkan para penyihir meminta kepada Allah “berikan kesabaran dan wafatkan kami dalam keadaan Islam atau berserah diri”.

Pada dasarnya, kita tidak boleh meminta untuk mati. Bila kita merasa menderita akan suatu penyakit, maka mintalah kesembuhan, dan bila kematian adalah lebih baik, maka wafatkan.

Dalam Islam, muslim bukan hanya umat Nabi Muhammad. Umat Nabi Musa pun disebut muslim, umat seluruh Nabi disebut muslim.
Pembedaan antara Islam, Kristen, dan  Yahudi adalah pada sistem kemasyarakatan.

Manusia tidak dibiarkan mengatakan dirinya beriman lalu tidak diuji. Dalam hidup, semua adalah ujian. Yang terpenting adalah mana amalan yang terbaik.

Bagi kita umat Nabi Muhammad, amalan terbaik adalah mujizat Nabi Muhammad yaitu Al Qur’an. 

Persiapan Ramadhan -2


Monday, May 25, 2015

Menggapai Taqwa

Ceramah Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Ahmad Romli Zubair, Lc.

Taqwa artinya melakukan perintah dalam keadaan lapang ataupun sempit, serta berupaya meninggalkan yang dilarang.

Taqwa adalah tanda kemuliaan sebagaimana pada surat Al Hujurat ayat 13 dikatakan bahwa inna akramakum indallahi atqaakum, sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu.

Umar bin Khattab pernah bertanya kepada sahabat, “Apa arti taqwa?” Sahabat bertanya kembali, “Apakah engkau pernah melalui jalan yang penuh dengan duri, apa yang kaulakukan?” Umar bin Khattab menjawab, “Aku berjalan dengan berhati-hati”, Sahabat menjawab, “Seperti itulah taqwa.”

Hendaknya kita terus memperbaiki amal soleh, karena hati yang dalam bahasa Arab disebut qalbun yang bersifat mudah berbolak-balik. Kita perlu terus memperbaiki niat, karena niat ikhlas adalah syarat diterimanya amal. 

Untuk menggapai taqwa, ada 4 hal yang dapat dilakukan.


Pertama, Al Mu’ahadah, yaitu mengingat perjanjian dengan Allah, yang kita ucapkan dalam doa iftitah, dalam Al Fatihah, dan janji pada Allah ketika kita berusia 4 bulan dalam kandungan, “Bala syahidna”.

Salah satu doa yang penting adalah agar segala amal kita diterima :
Allahumma inni as’aluka ilman nafian wa rizqan halalan wa toyyibab wa amalan mutaqabalan

Kedua, Al Muhasabah, yaitu menghitung amal yang sudah kita lakukan tiap malam. Apakah hari itu kita melakukan ghibah, apakah kita shalat berjamaah, apakah sudah bersedekah.

Hendaknya kita menghisab diri kita sendiri sebelum dihisab oleh Allah di hari akhir nanti.

Dalam surat Al Hasyr ayat 18 dikatakan Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat);

Banyak orang yang lahirnya terlihat seperti ahlul jannah, tetapi ternyata seorang ahli neraka. Dan juga sebaliknya. 

Ada kisah seorang Majusi penyembah api yang disebut oleh Rasulullah sebagai ahlul jannah. Sahabat pun mendatangi orang Majusi tersebut dan bertanya apa yang menyebabkan dia menjadi seorang ahlul jannah. Dia pun berkata bahwa ada seorang perempuan tua yang setiap hari meminta api kepadanya untuk memasak, dan selalu ia berikan. Sahabat itu pun berkata, bahwa ia adalah ahlul jannah karena amalnya itu. Maka orang Majusi itu pun mengucapkan syahadat.

Maka kita jangan menghakimi orang lain, karena kita tidak mengetahui apa yang akan menjadi akhir bagi orang tersebut.

Dalam surat Al Hasyr dikatakan bahwa 1 hari di padang Mahsyar panjangnya 50 ribu tahun. 

Ketiga, Al Muraqabah, yaitu merasa diawasi Allah SWT. 
Sebagaimana pada hadits tentang islam, iman, dan ihsan antara lain pada link ini : 

Ihsan adalah beribadah seolah-olah engkau melihat Allah, dan walaupun engkau tak dapat melihat Allah, sesungguhnya Allah melihatmu.

Banyaklah datang ke majelis ta’lim. Karena andaikata ada seorang ahli maksiat yang datang ke sebuah majelis ta’lim dengan tidak sengaja, tidak berniat untuk belajar, hanya kebetulan mampir, ia pun akan diampuni dosanya. Apa lagi orang yang memang berniat untuk mencari ilmu. 

Keempat, Al Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh di jalan Allah.



Bila kita mengetahui besarnya pahala shalat berjamaah, dalam keadaan sakit pun kita akan berangkat untuk shalat berjamaah. Nikmat iman akan menghapuskan rasa sakit, rasa lelah, dan rasa penat.

Ketika Shalahuddin al Ayyubi memilih pasukan untuk menaklukkan Masjidil Aqsha, dipilih mereka yang di malam sebelumnya melakukan tilawah dan qiyamul lail.

Kelima, Al Mu’aqabah, yaitu menghukum diri ketika lalai.

Kisah Umar bin Khattab ketika beliau melihat kebun, sampai jamaah shalat asar selesai. Beliau sangat menyesal dan menjual separuh kebun tersebut.

Misalnya kita jangan sampai meninggalkan shalat sunnah sebelum subuh, dan menetapkan hukuman bagi diri kita bila kita meninggalkannya.  

Thursday, May 21, 2015

Hakikat Dzikir

 Ceramah Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Ahmad Bisry, Lc.

Dalam mengerjakan sesuatu yang diniatkan sebagai ibadah kepada Allah tidak cukup hanya dengan niat, tetapi cara dan prosedur harus sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Seringkali kita merasa telah melakukan sesuatu ibadah, dan berharap akan ganjaran dari ibadah tersebut, namun karena Allah dan Rasul-Nya memiliki ketentuan yang tidak kita penuhi, maka ganjaran itu tidak dapat kita peroleh.

Termasuk juga untuk dzikir.

Beberapa fenomena di masyarakat yang sebenarnya kurang tepat tentang dzikir :
1.   Dzikir bersifat terbatas, untuk lafazh-lafazh yang tertentu dan sudah dikenal seperti tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.
2.   Dzikir bersifat seremonial, seperti Jakarta Berdzikir, Indonesia Berdzikir, dan ketika acara selesai, dzikir pun selesai.
3.   Dzikir dilakukan di masjid, mushalla, dan majelis ta’lim, di luar itu tidak ada dzikir.
4.   Dzikir dilakukan setelah shalat, berupa wiridan, tahlilan, arwahan, dan di luar itu tidak ada dzikir.

Bagaimana sebenarnya hakikat dzikir menurut Al Qur’an dan  Hadits?

Secara makna bahasa, dzikir berasal dari kata bahasa Arab dzikrun, dzakara, yadzkuru, yang berarti ingat atau menyebut.
Lawannya adalah lupa atau diam atau tidak menyebut, atau dalam bahasa Arab ghaflah, dan pelakunya ghafilun, ghafilin.
Ingat dan menyebut sangat saling berkait, karena manusia bila ingat akan menyebut, dan bila menyebut akan ingat.

Pemahaman secara syariat, didasarkan pada banyak teks dalam Al Qur’an yang menyebut dzikir.
Dzikir adalah sebuah kondisi pada seseorang yang selalu mengingat akan Allah.
Bukan hanya mengingat Allah, dzat Allah atau nama Allah, tetapi segala hal berkaitan dengan Allah.

Orang yang berdzikir disebut sebagai adz dzakirun, bila perempuan adz dzakirat, bila dalam kalimat tertentu adz dzakirin.

Kondisi dzikir seseorang dapat dikatakan sebagai on atau off.
Bisa saja seseorang tidak menyebut tetapi dalam kondisi on, dan bisa saja seseorang menyebut tetapi dalam kondisi off.  

Aplikasi mengingat Allah :
1.       Melaksanakan perintah Allah
2.       Menjauhi larangan Allah
3.       Menghalalkan yang dihalalkan Allah
4.       Mengharamkan yg diharamkan Allah
5.       Memuji yang dipuji Allah
6.       Mencela yang dicela Allah
Maka dzikir sesungguhnya dilakukan dalam seluruh kondisi yang sedang kita hadapi.

Perintah Dzikir dalam Al Qur'an : 

Al Maidah 11 : Yaa ayuhalladziina aamanudzkuruu ni’matallahi alaikum..
Yaitu perintah untuk mengingat nikmat Allah yang sudah kita terima. Implementasinya adalah dengan mensyukuri nikmat Allah, jangan kita mengatakan sesuatu tercapai karena kehebatan dan usaha diri kita.

Al Ahzab 41 : Yaa ayyuhalladziina aamanudzkurullaha dzikran katsira..
Sering dimaknai dengan dzikir kepada Allah dengan lafazh tertentu, dengan jumlah yang banyak misalnya 1000x, 10.000x.
Padahal maknanya tidak terbatas, dan dalam segala kondisi.

Fathir 3: Yaabayyhannas uzmdzkuru nimatallahi alaikum, apakah ada selain Allah yang mau memberikan rezeki dari atas dan dari bawah?

Ada seseorang pernah bercerita pada Ustadz, tentang ibunya yang dahulu hidup dalam kesulitan, berjualan es dalam plastik, sampai akhirnya beliau sukses, dengan kekayaan 50 milyar, mobil 700 unit, serta 5 gedung yang disewakan.
Beliau berpesan kepada anak-anaknya, agar jika wafat nanti, hartanya dibagi rata untuk semua anak, tidak perlu dibedakan antara anak laki-laki dan perempuan. Anaknya yang perempuan ini, mengatakan bahwa hal itu tidak dibenarkan dalam Islam, seharusnya laki-laki mendapatkan 2 kali dari perempuan. Ibunya lalu berkata, “Memangnya siapa yang sudah capek dan sudah mencari uangnya?” Anak perempuannya tidak berkata apa-apa namun dalam hatinya berkata, “Memangnya siapa yang memberi?”

Al Baqarah 198 : Fadzkurullaha indal masy’aril haram..
Yang dimaksud adalah mabit di muzdalifah pada saat haji.

Al Baqarah 239 : Fadzkurullah..
Ayat awal menerangkan tentang tata cara shalat pada saat perang. Perintah dzikir pada ayat ini maksudnya adalah menyertakan Allah dalam perang yang dilaksanakan.

Al Hajj 38 : Fadzkurusmallah..
Yaitu menyebut nama Allah dalam penyembelihan hewan, yang dicontohkan oleh Rasulullah dengan menyebut Bismillahi Allahu Akbar.

Ayat lain menyebut Fadzkurullah, yang dimaksud adalah mabit di Mina.
Di Mina banyak orang bertemu dari berbagai bangsa, sehingga terlihat sebagai peluang bisnis, dan banyak orang yang berjualan dan berbelanja. Padahal sebuah kerugian bila ke Mina hanya untuk berdagang atau hanya untuk berbelanja.

Pada ayat yang lain : Wadzkuru ni’matallahi ‘alaikum wama anzala alaikum minal kitabi.
Yang dimaksud adalah mengingat nikmat Allah dan mengingat / kembali kepada kitab Allah dan sunnah Rasulullah.

Bila kita melakukan waris tidak sesuai dengan hukum Allah, maka saat itu kita tidak berdzikir kepada Allah. 

Bila suami shalat malam lalu membangunkan istrinya untuk shalat malam, maka kutiba minadz dzakiriina wadz dzakiraat, termasuk orang yang berdzikir (laki-laki dan perempuan). Dan juga sebaliknya, bila istri shalat malam lalu membangunkan suaminya untuk shalat malam.

Ali Imron 103: Wadzkuru ni’matallahubalaikum.. dan menjaga persatuan dan persaudaraan muslim.
 

Friday, May 15, 2015

Doa : Keturunan yang Soleh


Doa : Arahkan Hati untuk Taat


Kitab Al Adabul Mufrad 14-16

Kajian dzuhur disampaikan oleh Ustadz Ahmad Ridwan, Lc.

Kitab Al Adabul Mufrad berisi Akhlak dan Adab seorang muslim, kali ini sampai pada urutan ke 14.


Bagian ke 14 tentang Berbakti kepada Orang Tua.

Hadits Rasulullah kurang lebih sebagai berikut :
Pada suatu hari seorang sahabat Rasulullah menaiki tunggangan bersama Abu Hurairah, lalu sampai di Al Atiq (mudah-mudahan tidak salah dengar), di mana tempat itu adalah sebuah pasar kambing. Abu Hurairah memasuki tempat tersebut dan berteriak mengucapkan salam kepada ibunya, karena di sana adalah wilayah tempat ia tinggal. Ibunya menjawab salam tersebut, lalu Abu Hurairah menjawab kembali dengan  “Semoga Allah merahmatimu sebagaimana engkau merawatku ketika kecil”, dan ibunya menjawab kembali dengan, “Semoga Allah meridhaimu karena engkau telah berbakti.”

Hal ini menggambarkan interaksi Abu Hurairah dengan ibunya.
Padahal ibunya ini di awal adalah seorang kafir, yang berjanji tidak akan berteduh dan tidak akan makan dan minum sampai Abu Hurairah keluar dari Islam.

Lalu Abu Hurairah meminta kepada Rasulullah agar mendoakan kepada Allah agar memberikan hidayah bagi ibu Abu Hurairah.

Abu Hurairah pernah dipanggil oleh ibunya, dan beliau menjawab “Labbaik wa sa’daik”. Ini adalah jawaban terbaik terhadap sebuah panggilan, seperti jawaban atas panggilan haji dari Allah.
Namun kemudian Abu Hurairah merasa bahwa ia telah bersuara lebih tinggi dari ibunya, maka ia pun ber-istighfar. Maka Abu Hurairah memenuhi panggilan ibunya, dan setelah selesai ia pergi memerdekakan 2 orang budak sebagai pengganti dosa karena mengangkat suara lebih tinggi.

Dalam surat Luqman, Luqman berkata bahwa seburuk-buruk suara adalah suara keledai. Dan suara yang lebih tinggi dari suara orang tua adalah lebih buruk dari itu.

Seorang Ulama Hadits, Zubhi, mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah menunda haji karena berbakti  pada orang tua.

Abu  Hurairah nama sebenarnya adalah Abi Abdu Umar, yang sebelum muslim bernama Abi Syams, yang setelah muslim diubah oleh Rasulullah menjadi Abdullah.
Abu Hurairah artinya laki-laki yang menyukai anak kucing. Dikisahkan suatu hari Abu Hurairah membawa seekor anak kucing di dalam tangan gamisnya ketika sedang menggembalakan kambing.

Abu Hurairah masuk Islam di tahun 6-7H, dan 4 tahun bertemu Rasulullah.
Beliau adalah perawi hadits terbanyak, karena senantiasa mengikuti Rasulullah, kecuali pada waktu perang.
Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang jarang ikut perang.

Abu Hurairah termasuk kategori ahlus suffah, yang tinggal di masjid.
Awalnya masjid tidak beratap, kecuali hanya di bagian tempat imam dan beberapa shaf depan. Ketika kiblat berpindah, maka bagian depan ini menjadi bagian belakang masjid, dan di sinilah Abu Hurairah tinggal.

Beliau sangat zuhud, tidak memiliki banyak uang, dan mengandalkan hidupnya melalui doa kepada Allah. Di periode Muawiyah bin Abu Sufyan beliau ditunjuk menjadi gubernur.

Bila Abu Hurairah sedemikian berbaktinya kepada orang tuanya padahal orang tuanya sebelumnya musyrik, maka kita lebih-lebih lagi, karena orang tua kitalah yang mengajarkan Islam kepada kita.

Kisah lain adalah tentang Muhammad Ibnul Munkadir dan adiknya, Umar Ibnul Munkadir.
Muhammad Ibnul Munkadir berkata, “Aku bermalam di rumah ibuku dan semalam suntuk memijat kaki ibuku. Sedangkan Umar, sepanjang malam melakukan shalat tahajjud. Dan aku tidak mau pahalaku ditukar dengan pahala Umar, karena sesuai Al Isra 23, setelah mentauhidkan Allah, selanjutnya adalah berbuat baik kepada kedua orang tua.

Kisah lain adalah Ibu Abdullah bin Mas’ud, yang di suatu malam meminta kepada Abdullah bin Mas’ud untuk mengambilkan air. Karena cukup lama, akhirnya ibu beliau tertidur. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Aku lalu berdiri di samping ibuku. Jika aku lelah, aku duduk. Bila aku mengantuk ketika aku duduk, aku kembali berdiri. Sampa tiba menjelang waktu subuh, ibuku bangun, lalu mengambil air yang aku bawa dan meminumnya.”

Kisah lain adalah Kihmiz ibn Yazid, seorang ulama yang sering menggelar kajian di rumahnya. Sampai suatu hari ibunya berkata bahwa beliau tidak menyukai teman-teman beliau yang sering datang menghadiri kajian. Maka ketika teman-temannya datang, mengucapkan salam, Kihmiz menjawab salam dan langsung berkata “Irjiu, pergilah”. Teman-temannya bertanya, “Mengapa?” Kihmiz menjawab, “Ibuku tidak suka dengan teman-temanku.” Mereka pun pergi.

Kisah lain adalah Abdullah bin Abbas, ketika ada seseorang yang membunuh wanita yang menolak pinangannya. Kepada orang tersebut, Abdullah bin Abbas bertanya, “Apakah ibumu masih hidup?” Orang tersebut menjawab, “Tidak”. Sahabat yang lain bertanya, “Mengapa engkau menanyakan hal itu wahai Abdullah bin Abbas?” Abdullah bin Abbas menjawab, “Sebaba aku tak tahu perkara lain yang lebih baik daripada bakti anak kepada orang tua.”


Bagian ke 15 tentang Durhaka kepada Orang Tua

Dari Abdurrahman bin Abi Baqrah, Rasulullah bersabda :
Maukah aku kabarkan dosa paling besar (diucapkan Rasulullah 3 kali), yaitu syirik kepada Allah, durhaka kepada orang tua (lalu Rasulullah berdiri dari yang sebelumnya duduk), dan ketahuilah, kesaksian dusta. Rasulullah mengulang-ulang terus menerus sampai kami berharap agar beliau diam.

Rasulullah mengulang-ulang karena mengingatkan atas dosa yang paling besar tersebut, yang seringkali dianggap remeh. 

Melihat contoh-contoh kisah bakti para sahabat kepada orang tuanya, bila dibandingkan dengan masa kini, misalnya pada contoh Kihmiz bin Yazid, mungkin bila kita mengalami hal yang sama, kita akan bertanya, “Memangnya kenapa Bu?” Dan kemudian ketika teman-teman kita datang, kita malah pergi dengan mereka.

Perkataan dusta seringkali dilakukan pada humor. Ketika kita berdusta agar orang-orang tertawa dengan humor yang kita sampaikan.

Padahal Rasulullah bersabda : “Aku jamin surga bagi mereka yang meninggalkan perdebatan walaupun benar, mereka yang meninggalkan canda yang berdusta.”

Salah satu perawi hadits tentang durhaka kepada orang tua di atas (maaf namanya tidak tertangkap) adalah seorang hafizh hadits, yang hafal minimal 100.000 hadits, lengkap dengan sanadnya. Di masa sekarang sepertinya sudah tidak ada lagi hafizh hadits seperti ini.

Di zaman yang maju ini, kecanggihan berbagai peralatan dan gadget menyebabkan hati kita menjadi keras. Bila ada yang sering berkata kasar dan memiliki hati yang keras, cobalah untuk mengevaluasi lagi bagaimana interaksi dengan gadget. Perbaiki interaksi dengan anak dan orang tua. Perbanyak sentuhan pada anak, sentuhan pada orang tua, di tangan, badan, dan kakinya. Di sanalah ada rahmah antara anak dan orang tua.

Pelajaran dari Abu Hurairah, kita jangan sampai mengangkat suara kita kepada orang tua. Bila orang tua kita pendengarannya sudah melemah, tetap rendahkan suara kita, gunakan bahasa isyarat untuk membantu, atau berbisik kepada orang tua.


Bagian ke 16 – Banyak Bertanya & “Katanya”

Pada hadits ini, Al Mughirah diminta oleh sahabat, “Tuliskan apa yang kau dengar dari Rasulullah”, Al Mughirah lalu mendikte, “Aku mendengar Rasulullah berkata, janganlah kalian banyak “sual” (meminta atau bertanya) dan Rasulullah melarang “qila waqal” (konon, katanya).

Berkaitan dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khawarij menganggap kafir karena beliau menentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Padahal bagi ahlus sunnah, beliau adalah salah satu sahabat yang diridhai. Bahkan dalam salah satu hadits, Rasulullah berkata, semoga Allah mengampuni orang yang menyerang Konstantinopel, yang dimaksud adalah Muawiyah bin Abi Sufyan yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya, Yazid bin Muawiyah.

Al Mughirah bin Syurbah adalah sahabat Rasulullah yang memiliki budak Abu Lu’lu’ yang kemudian menikam Umar bin Khattab.

Dalam hadits tersebut Rasulullah melarang anak banyak meminta pada orang tua, termasuk juga meminta kepada orang lain. Pada hadits lain dikatakan bahwa orang yang sering meminta pada orang lain, di akhirat nanti wajahnya tidak berdaging.

Perumpamaan lain untuk keburukan di akhirat misalnya, orang yang tidak adil kepada istri-istrinya, di akhirat bahunya akan miring sebelah. Yang lain lagi, orang yang mendahului imam, di akhirat kepalanya akan menjadi kepala keledai.

Hendaklah kita tidak bertanya, yang dengan pertanyaan itu, orang akan mencibir kepada kita.
Atau seperti Bani Israil ketika mendapat perintah untuk menyembelih sapi.

Di akhirat nanti, umurnya digunakan untuk apa, ilmunya digunakan ke mana, dan khusus untuk harta, diperoleh dari mana dan digunakan ke mana.

Berkaitan dengan “konon dan katanya” hendaklah kita menghindarkan mendengarkan berita yang belum jelas kepastiannya, seperti pada infotainment.


Hadits untuk Makanan yang Jatuh


Monday, May 11, 2015

Hadits Wasiat Rasulullah kepada Abu Hurairah

Ceramah dzuhur disampaikan oleh Ustadz Abdul Muhit

Ceramah ini tentang sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Rasulullah mewasiatkan 3 hal kepada Abu Hurairah :
“Rasulullah SAW mewasiatkan kepadaku 3 perkara: puasa 3 hari setiap bulan, 2 rakaat shalat dhuha, & shalat witir sebelum tidur” (HR. Bukhari Muslim)

Abu Hurairah memiliki nama asli Abdurrahman bin Sakhr, yang masuk Islam pada perang Khaibar. Setelah masuk Islam, beliau senantiasa menyertai Rasulullah. Beliau juga didoakan oleh Rasulullah. Beliau meriwayatkan hadits paling banyak yaitu 5300 hadits. Beliau wafat pada tahun 57H di Madinah.

Hadits diawali dengan perkataan Abu Hurairah, “berkata kekasihku”, yang dimaksud adalah Rasulullah.
Di hadits lain, Rasulullah pernah berkata bahwa “bila aku memiliki kekasih, kekasihku adalah …(maaf tidak berhasil dicatat, kurang jelas terdengar)”.
Hal ini tidak bertentangan, karena yang dimaksud Rasulullah pada hadits tersebut adalah anggapan Rasulullah tentang siapa yang menjadi kekasihnya, sedangkan pada perkataan Abu Hurairah, adalah anggapan Abu Hurairah bahwa Rasulullah adalah kekasihnya.

Wasiat pertama adalah shaum 3 hari setiap bulan.

Apakah harus ayyamul bidh (shaum pada tanggal 13, 14, 15 setiap bulan hijriyah), atau boleh tanggal lain?
Boleh melaksanakan di awal, di pertengahan, atau di akhir bulan hijriyah. Pelaksanaannya boleh berurutan ataupun tidak. Namun yang utama adalah ayyamul bidh.

Mana yang lebih utama shaum Senin Kamis atau 3 hari tiap bulan? Dari sisi jumlah, maka lebih baik shaum Senin Kamis, karena ada 8 hari dalam sebulan.

Wasiat kedua adalah shalat dhuha.

Minimal 2 rakaat, maksimal 8 atau tidak terbatas.

Satu hadits mengatakah bahwa setelah fathu makkah (penaklukan kota Makkah), seorang sahabat melihat Rasulullah mandi, dan selesai mandi beliau shalat 8 rakaat, yaitu shalat Dhuha (hadits dari Ummu Hani (mudah-mudahan tidak salah dengar)).

Hadits lain mengatakan, Aisyah RA melihat Rasululah shalat dhuha 4 rakaat dan kemudian menambahkan dengan jumlah yang masya Allah (sangat banyak) (HR Muslim).

Shalat dhuha disunnahkan untuk dikerjakan setiap hari.
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Pada setiap persendian kalian harus dikeluarkan sedekahnya setiap pagi; Setiap tasbih (membaca subhanallah) adalah sedekah, setiap tahmid (membaca Alhamdulillah) adalah sedekah, setiap tahlil (membaca Lailaha illallah) adalah sedekah, setiap takbir (membaca Allahu Akbar) adalah sedekah, amar bil ma’ruf adalah sedekah, nahi ‘anil munkar adalah sedekah. Semua itu dapat terpenuhi dengan (shalat) dua rakaat yang dilakukan di waktu Dhuha.” (HR. Muslim, no. 1181)

Shalat dhuha sudah dapat dilakukan 15 menit setelah matahari terbit.
Namun, disarankan sebagaimana pada hadits yaitu :
”Shalat para Awwabin adalah ketika anak onta mulai kepanasan.” (HR. Muslim 748).
Maka ini adalah sekitar jam 9 atau 10 pagi.
Sehingga bila sedang tidak ada pekerjaan atau tugas di kantor, maka upayakan untuk mengakhirkan shalat dhuha sampai jam 9 atau 10 pagi.
Namun jika ada tugas di jam tersebut, karena secara fiqih prioritas, tugas yang merupakan kewajiban harus didahulukan dibandingkan dengan dhuha yang bersifat sunnah, maka boleh mengerjakan shalat dhuha di waktu yang lebih awal.

Wasiat ketiga adalah shalat witir sebelum tidur.

Rasulullah senantiasa melakukan shalat witir walaupun sedang safar (dalam perjalanan).
Bila ada kemungkinan tidak bisa bangun di akhir malam, maka lakukan shalat witir sebelum tidur.
Dalam hadits disebutkan bila khawatir tidak dapat bangun di akhir malam, hendaklah shalat witir di awal malam. Bila yakin dapat bangun di akhir malam, maka shalatlah witir di akhir malam. Sesungguhnya shalat di akhir malam masyhudah, atau disaksikan malaikat yang bergantian turun memberikan kebaikan.

Rasulullah menjadikan witir penutup shalat malam.
Bila sebelum tidur sudah melakukan shalat witir, maka sesudah shalat malam tidak perlu mengulang shalat witir.

Aisyah mengatakan bahwa Rasulullah pernah melaksanakan witir di seluruh waktu, di awal malam, di  pertengahan malam, dan di akhir malam.

Hendaklah witir dilaksanakan dalam keluarga.
Dalam sebuah hadits dari Aisyah dikisahkan Rasullah shalat di malam hari, dengan Aisyah tidur membujur di depan Rasulullah. Ketika tinggal shalat witir, Rasulullah membangunkan Aisyah dan berkata, “Bangunlah dan laksanakan witir.” Lalu Aisyah melaksanakan shalat witir.

Bagi mereka yang membiasakan shalat di masjid, hendaklah melakukan shalat sunnah di rumah, misalnya shalat rawatib, dan shalat sunnah lainnya.
Hadits nya menyatakan, “Shollu ayyuhannas fii buyuutikum”, Wahai manusia, shalatlah kalian di rumah-rumah kalian. Maka ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan.

Janganlah menjadikan rumah sebagai kuburan, yaitu tidak pernah didirikan shalat. Dan agar di rumah dijadikan kebaikan.

Shalat hendaknya berpindah tempat. Amr bin Atho’ pernah shalat sunnah setelah shalat Jum’at di masjid. Muawiyah lalu memanggil dan meminta agar hal tersebut jangan diulangi lagi, dan hendaklah bila selesai shalat Jum’at lalu keluar dan shalat sunnah di rumah.






Tuesday, May 5, 2015

Memahami Hukum Wajib

Ceramah Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Syaiful Bahri, Lc.

Wajib adalah hal yang dituntut secara tegas oleh Allah untuk dilakukan oleh manusia. Maka hal yang bersifat Wajib harus dilakukan, pelakunya mendapat pahala, dan yang tidak melakukan menjadi berdosa.

Pembagian Wajib berdasarkan Waktu :

Pertama, Muwassa’ yang berasal dari kata Waasi’ yang artinya luas.
Muwassa’ artinya waktunya terbentang luas. Rentang waktu yang Allah berikan lebih luas daripada waktu untuk melaksanakan ibadah tersebut. Sehingga yang dalam waktu yang Allah berikan, seseorang dapat mengerjakan ibadah lain yang sejenis.

Misalnya shalat, bersifat muwassa’.
Shalat dzuhur dapat dikerjakan sejak adzan dzuhur sampai dengan sekitar jam 3.
Di dalam waktu shalat dzuhur, seseorang dapat melakukan shalat lain misalnya shalat gerhana, shalat syukrul wudhu, shalat istisqa, dll.

Contoh lain adalah Qadha Puasa Ramadhan bersifat muwassa’, dapat dilakukan sejak syawal sampai sya’ban tahun berikutnya.

Kedua, Mudhayyaf, yang berasal dari kata Dhayyifun, yang artinya sempit.
Mudhayyaf artinya rentang waktunya sempit. Rentang waktu yang diberikan dan waktu untuk menjalankan ibadahnya sama panjangnya. Sehingga dalam waktu tersebut tidak bisa dilakukan ibadah lain, hanya bisa melakukan ibadah itu saja.

Misalnya Puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan seseorang hanya bisa melaksanakan puasa Ramadhan, tidak bisa melaksanakan puasa lainnya.

Dampak dari pembagian hukum wajib berdasarkan waktu adalah pada pentingnya niat secara spesifik.

Contoh kasus :
Bila seseorang pada bulan Ramadhan berpuasa tanpa menyebutkan niat secara spesifik, sahkah puasanya?
Puasanya sah, karena Puasa Ramadhan bersifat Mudhayyaf, di bulan Ramadhan hanya bisa dilakukan Puasa Ramadhan, maka dengan niat yang tidak spesifik, akan dianggap sebagai Puasa Ramadhan.

Ketiga, Dzusyibhain, yaitu bersifat Muwassa’ tetapi juga Mudhayyaf.

Contohnya Ibadah Haji.

Muwassa’ karena Wajib dari Allah untuk waktu yang panjang sejak Syawal sampai Dzulhijjah, sekitar  3 bulanan.
Namun inti Ibadah Haji ada di tanggal 8-13 Dzulhijjah.

Efek Hukum Fiqih dari adanya Perbedaan Wajib dari Sisi Waktu

Pertama, Wajibkah seseorang untuk menentukan niat tertentu untuk suatu ibadah, atau cukup berniat secara umum?

Untuk Shalat, karena Shalat bersifat Muwassa’, maka melaksanakan wajib berniat dan menentukan niatnya, karena dalam waktu tersebut dapat dilakukan ibadah shalat lainnya.
Dan jika sudah terlanjur shalat padahal belum menetapkan niat secara spesifik, maka shalat harus diulang.

Bila bersifat Mudhayyaf, maka niat dapat dilakukan secara umum.

Untuk Puasa Senin Kamis, Daud, Ayyamul Bidh, walaupun sunnah tetapi bersifat Muwassa’, maka niat harus spesifik.

Dengan pembedaan ibadah menjadi bersifat Muwassa’ maupun Mudhayyaf, menyebabkan suatu ibadah dapat diberikan 2 pahala.

Misalnya untuk Shalat yang bersifat Muwassa’, bila seseorang melakukan shalat di awal waktu, maka ia mendapatkan pahala shalat dzuhur dan pahala shalat di awal waktu.
Bila ia tidak memiliki udzur syar’i namun menunda shalat dzuhur hingga jam 3 sore, maka dipertanyakan kelalaiannya, baginya dosa atas kelalaian tersebut.

Puasa Ramadhan bersifat Mudhayyaf, bagi yang melaksanakan mendapatkan 2 pahala yaitu pahala puasa Ramadhan dan fadhilah kemuliaan bulan Ramadhan.

Bila pada bulan Ramadhan seseorang berniat untuk puasa nadzar, apakah puasanya sah?
Puasanya tidak sah, karena puasa yang dibolehkan dalam bulan Ramadhan hanya puasa Ramadhan. Dan niat puasa nadzar-nya tidak bisa diubah menjadi puasa Ramadhan.

Kedua, bila seseorang meninggalkan kewajiban tanpa udzur kemudian wafat sebelum melaksanakan kewajiban tersebut, apakah ia berdosa?

Misalnya seseorang berniat shalat asar di rumah, namun di perjalanan ke rumah ia mengalami kecelakaan lalu wafat.
Dari segi waktu, karena shalat bersifat Muwassa’, maka ia memang diperkenankan untuk menunda shalat karena waktunya memang masih ada, dan ia memang sudah berniat untuk shalat. Sehingga ia tidak berdosa karena tidak shalat.
Namun dosa baginya karena kelalaian menunda shalat yang sebenarnya bisa dilakukan di awal waktu.

Misalnya seseorang belum meng-qadha puasa Ramadhan, lalu sebelum meng-qadha ia wafat. Apakah berdosa? Apakah wajib dibadalkan?

Meng-qadha puasa bersifat Muwassa’, sehingga ia tidak berdosa bila menundanya, selama ia memang berniat untuk melakukannya. Bila ia wafat, maka ia berhutang kepada Allah. Dosanya bukan karena tidak meng-qadha, melainkan karena kelalaiannya menunda ibadah yang bisa ia lakukan segera. 

Apakah perlu dibadalkan?
Sebagian ulama berpendapat bahwa karena waktunya panjang, dan ia sebenarnya sudah berniat, maka ia tidak berdosa karena tidak melaksanakan, sehingga tidak  perlu dibayarkan.
Ada hadits yang menyatakan bahwa bila seseorang mati dan punya hutang puasa hendaklah walinya membayarkan.
Yang dimaksud dalam hadits ini adalah hutang nadzar.
Sebab puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah, bila tidak dilaksanakan hutangnya kepada  Allah.
Sedangkan puasa nadzar diwajibkan oleh orang itu sendiri, hutang inilah yang harus dibadalkan walinya.

Shalat tidak dibadalkan karena bersifat Muwassa’, luas waktunya.

Bagaimana dengan membadalkan haji?
Ibadah haji bersifat kedua-duanya yaitu Muwassa juga Mudhayyaf.

Bila pada suatu waktu seseorang sudah memiliki kecukupan harta dan ilmu, maka pada waktu tersebut sudah jatuh baginya kewajiban haji. Bila hingga wafat ia belum sempat menunaikan ibadah haji, maka dibadalkan oleh keluarganya dengan mengambil dari harta yang ditinggalkannya.


Bila seseorang seumur hidupnya tidak mampu, maka tidak jatuh baginya kewajiban untuk berhaji, maka tidak perlu dibadalkan. 

Waktu untuk Membaca Al Qur'an