Thursday, March 14, 2013

Sejarah Hidup Imam Syafi’i

Beliau dilahirkan di Gaza pada tahun 150 H dan wafat di Mesir pada tahun 204 H. Beliau hidup selama 54 tahun namun karyanya tetap bergaung sampai sekarang. Betapa banyak manusia yang memiliki usia yang lebih panjang namun ketika wafat hanya dikenang dalam dua baris di batu nisan.

Tentang Imam Syafi’i, Rasulullah telah menyampaikan bisyarah (berita tentang masa depan) yang menyatakan bahwa akan datang ulama dari kaum Quraisy yang dakwahnya mencapai negeri yang jauh.

Imam Syafi’i bernama Muhammad bin Idris Asy Syafi’i. Asy Syafi’i adalah nama kabilah.
Beliau dilahirkan pada tahun yang sama dengan wafatnya Imam Abu Hanifah.
Ayahnya, Idris, nasabnya bertemu dengan Rasulullah pada Abdul Manaf, ayah dari Abdul Muthalib. Maka Imam Syafi’i masih merupakan kerabat Rasulullah.

Berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang sangat berkecukupan, Imam Syafi’i sangat miskin. Ayahnya wafat ketika beliau berusia 2 tahun, dan untuk tetap menjaga kemurnian sebagai suku Quraisy, Ibu beliau membawanya kembali pulang ke Makkah. Sebagai kerabat Rasulullah (dzawil qurba), keluarga beliau berhak atas 1/5 harta ghanimah, namun ternyata jumlahnya sangat terbatas.

Walaupun dalam keterbatasan, di Mekkah Imam Syafi’i mulai menuntut ilmu. Berbeda dengan kondisi di Kuffah yang ada bea siswa dari Abu Hanifah bagi murid yang tidak mampu, di Mekkah tidak ada bea siswa. Ibu Imam Syafi’i yang seorang hafizhah Al Qur’an mengajarkan langsung hafalan Al Qur’an kepada Imam Syafi’i. Namun untuk ilmu lain, Imam Syafi’i dititipkan ke guru. Karena tidak cukup biaya, maka pada awalnya Imam Syafi’i terkesan tidak diperhatikan oleh gurunya.

Namun Imam Syafi’i dapat membuat kesulitan tersebut menjadi peluang. Ketika guru belum datang, atau sesudah guru pulang, atau bahkan di waktu belajar, Imam Syafi’i membantu mengajar teman-temannya. Gurunya yang merasa puas dengan bantuan Imam Syafi’i yang semula tidak memperhatikan Imam Syafi’i, berubah menjadi mengistimewakan beliau.

Ketika usia Imam Syafi’i belum mencapai 10 tahun, beliau sudah hafal Al Qur’an. Suara beliau sangat merdu ketika melantunkan Al Qur’an, sehingga saat itu tersebar pendapat bahwa jika ingin menangis mendengarkan bacaan Al Qur’an, dengarkanlah Muhammad bin Idris.

Setelah beliau mempelajari Al Qur’an secara mendalam, beliau mempelajari hadits. Berbeda dengan Al Qur’an yang mudah dihafal, hadits jumlahnya sangat banyak, maka diperlukan catatan untuk mempelajarinya. Di masa itu, harga kertas sangat mahal, sehingga Imam Syafi’i mencatat menggunakan tulang hewan, atau kertas-kertas sisa dari kantor-kantor, atau kertas  apa pun yang masih memiliki ruang untuk ditulis. Dan karena keterbatasan itu, beliau memperkuat dengan hafalan.

Beliau memang memiliki kelebihan mudah menghafal. Suatu waktu, beliau yang tidak memahami bahasa Persia, melihat dua orang Persia berselisih. Ketika perselisihan tersebut dibawa ke pengadilan, beliau dipanggil menjadi saksi, dan dapat mengulang seluruh dialog kedua orang Persia tersebut walaupun beliau tidak memahami dan hanya mendengarnya sekali.

Suatu ketika datanglah seorang ulama dari Mesir, Imam Al Lais. Di masa itu jika seorang ulama datang ke Mekkah atau Madinah, maka kedatangannya akan dimanfaatkan untuk belajar oleh masyarakat. Begitu  pula sebaliknya, masyarakat muslim yang berhaji juga menyempatkan untuk belajar kepada ulama di Mekkah dan Madinah.

Dalam pelajarannya, Imam Al Lais menekankan pentingnya mempelajari bahasa Arab dari sumbernya yang masih murni, yaitu suku Hudzair. Hal ini karena Al Qur’an dan Hadits disampaikan oleh Rasulullah dalam bahasa Arab yang murni, maka untuk dapat memahaminya dengan benar, dibutuhkan pemahaman atas bahasa Arab murni.

Maka beliau pun berangkat ke suku Hudzair dan tinggal bersama mereka selama 10 tahun. Beberapa orang sempat mempertanyakan, mengapa beliau memilih untuk pergi tinggal bersama suku Hudzair padahal sudah memiliki banyak ilmu dan sudah bisa mengajar. Beliau menjawab bahwa beliau belajar bahasa Arab untuk berkhidmah kepada Al Qur’an dan Hadits.

Ketika kembali dari suku Hudzair, beliau menjadi referensi dalam hal bahasa Arab. Beliau pun melanjutkan belajar lagi, walaupun sudah diperintahkan oleh Imam Muslim untuk mengajar. Beliau berkeinginan untuk belajar kepada Imam Malik.