Tuesday, June 29, 2010

Mudik Lebaran, Haruskah?

Dua bulan lagi Lebaran tiba.

Dan di sekitar hari Lebaran itu, kita akan mengalami lagi peristiwa nasional yang menghebohkan seluruh negeri : mudik.

Seluruh jalur transportasi akan dilipatgandakan kapasitasnya di masa mudik ini. Berbagai departemen dan perusahaan juga harus melaukan antisipasi untuk mudik. Dan tentunya mendapatkan keuntungan dari para pemudik tersebut.

Bagi mereka yang selama ini tinggal di perantauan, maka merekalah yang sibuk bersiap-siap mudik. Jika perjalanan menggunakan transportasi umum, maka perlu dilakukan pemesanan tiket jauh-jauh hari. Jika menggunakan kendaraan sendiri, maka perlu pemeriksaan kendaraan agar selamat di perjalanan. Untuk para handai taulan perlu persiapan oleh-oleh. Dan untuk semua itu, perlu biaya.

Bagi mereka yang sehari-hari sudah berada di kampung halamannya, maka mereka tidak ikut sibuk. Tapi, biasanya tetap terkena imbas, karena pembantulah yang pulang kampung. Dan daripada repot, biasanya disewalah pembantu pengganti. Biaya juga.

Kapan persiapan itu dilakukan? Tentunya menjelang bulan Syawal, di bulan Ramadhan, bahkan mungkin sejak bulan Sya'ban. Persiapan intensif, seperti belanja oleh-oleh, biasanya dilakukan di minggu-minggu terakhir Ramadhan.

Dan kapan biasa mudik mulai dilakukan? Karena mudik adalah untuk bersilaturrahim di hari Lebaran, maka berangkat biasanya di hari-hari terakhir bulan Ramadhan.

Sebenarnya bagaimana cara mengisi Ramadhan dan Lebaran yang dicontohkan Rasulullah SAW?

Pada beberapa kisah beliau digambarkan, bahwa bahkan sejak bulan Rajab, Rasulullah sudah mulai mengintensifkan ibadah termasuk puasa sunnah. Di bulan Sya'ban, Rasulullah begitu seringnya berpuasa, sampai hampir-hampir seperti pada bulan Ramadhan.

Dan di bulan Ramadhan, seluruh kegiatan dipusatkan pada ibadah. Terutama di 10 hari terakhir, di mana Rasulullah melakukan I'tikaf di masjid.

Bagaimana jika dibandingkan dengan kita yang sibuk mempersiapkan dan melakukan mudik? Rasanya akan menjadi sulit mencontoh Ramadhan Rasulullah.

Bagaimana kita dapat fokus beribadah jika harus disibukkan dengan membuat kue dan menyusun daftar oleh-oleh? Bagaimana kita bisa beritikaf, menghabiskan waktu bersama Al Qur'an di masjid-masjid Allah, jika kita sedang berada di perjalanan yang sangat macet?

Mungkin perlu dievaluasi lagi apakah memang kita harus mudik di hari Lebaran.

Kan silaturrahim? Silaturrahim dapat dilakukan kapan saja. Rasanya sama sekali tidak ada hubungannya antara Idul Fitri dan silaturrahim.

Kan di hari Lebaran semua keluarga bisa bertemu secara bersamaan? Sebenarnya ini juga bisa diatur. Cari saja jadwal pertemuan keluarga besar secara bersamaan. Semua cuti di jadwal tersebut. Biaya lebih murah, perjalanan lebih tenang karena tidak macet. Dan di bulan Ramadhan kita bisa fokus dengan ibadah.

*sekedar pemikiran yang semoga menginspirasi :-)

Mamaku Luar Biasa

Mamaku sangat-sangat luar biasa.

Waktu aku kecil, di tahun 80-an, kebanyakan ibu teman-temanku menjadi ibu rumah tangga. Mama berbeda, Mama bekerja sebagai pegawai negeri. Namun, setiap hari Mama tetap sempat menyiapkan sarapan pagi, melepas kami berangkat ke sekolah dan sudah kembali ke rumah jam 3 sore.

Dan satu lagi bedanya Mama. Di kala ibu-ibu temanku umumnya lulusan SD, atau paling-paling SMP, Mama lulusan perguruan tinggi terkenal di Bandung. Di sana Mama berjumpa dengan Papa sampai akhirnya menikah.

Aku adalah anak sulung dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan. Aku dan adik-adikku berselisih umur sekitar 1,5 sampai 2 tahun, sehingga kami bersaudara hampir sebaya.

Entah berawal dari mana, aku termasuk anak yang sulit diatur. Jika diperintah sesuatu, aku malah tidak mau. Dan semakin aku dipaksa atau ditekan, semakin aku berkeras untuk melawan. Sikap buruk ini sangat mewarnai interaksiku dengan Mama.

Ada satu kejadian kecil yang masih kuingat sampai sekarang. Waktu itu hari sudah sore, kami bertiga sedang duduk di teras belakang bersama Mama. Aku dan adik-adikku sedang makan es krim, yang kami ambil masing-masing dari kulkas.
Mama minta padaku, "Tia, ambilkan Mama es krim dong."
Aku serta merta menjawab, "Tidak mau."
Mamaku mulai kesal, "Kan tinggal ke kulkas saja, ambilkan Tia!"
Aku semakin bersikukuh, "Tidak mau!"
Aku tidak ingat lagi apa reaksi Mama saat itu. Tetapi setiap kali kuingat kejadian itu, rasanya aku sangat sedih dan menyesal.

Mama visioner. Dia tahu yang terbaik untuk anak-anaknya. Dan jika dia yakin sesuatu baik, dia akan konsisten menjalankannya.

Salah satu program Mama adalah berenang. Kami bertiga sebenarnya cukup suka juga berenang, tapi karena harus berjalan kaki kira-kira selama 30 menit perjalanan, rasanya enggan juga untuk berangkat.

Biasanya kode Mama jika akan mengajak kami berenang adalah, "Hari cerah!"
Artinya kami harus segera bersiap-siap untuk berenang. Aaarrgh!

Mama sendiri yang mengajari kami berenang. Sampai akhirnya kami bisa berenang sampai sekarang.

Hebatnya lagi, Mama seperti punya indra keenam.
Di suatu sore aku dan adik-adik lapar, membayangkan betapa nikmatnya mi ayam yang kadang-kadang Mama bawakan dari kantor. Kala itu belum ada HP, jadi harapan-harapan tidak bisa langsung dikomunikasikan. Namun ajaibnya Mama, sore itu Mama bawa pulang mi ayam! Benar-benar melebihi teknologi komunikasi manapun.

Kembali ke sikapku yang suka melawan, bukannya Mama memarahi aku jika melawan, malah Mama melakukan hal yang amat sangat sebaliknya.

Mama memilih untuk tidak pernah menyuruhku.

Apapun itu. Pergi ke warung, membantu mencuci piring, membantu memasak, mencuci baju.

Mama lakukan semua sendiri, atau menunggu inisiatifku sendiri.

Pernah suatu saat aku sempat berbicara dengan Mama tentang hal ini. Apa penjelasan Mama?

"Daripada Mama suruh kamu, lalu kamu malah melawan Mama, kamu jadi berdosa. Lebih baik Mama tidak usah suruh kamu, Mama kerjakan sendiri saja"

Astaghfirullahal azhim. Subhanallah.

Kasih sayang Mama benar-benar sepanjang hayat, bahkan sampai lebih jauh dari itu, sampai akhirat.

Selamat ulang tahun Mama, semoga Allah membalas semua kebaikan Mama dengan pahala yang berlimpah-limpah, dan semoga di akhirat nanti Allah berikan untuk Mama sebuah istana yang indah megah di surga-Nya. Aamiin.

Perawatan Syaraf Gigi, Apa Tuh?

Pernah sakit gigi sampai tidak tertahankan? Rasanya di dunia ini tidak ada lagi yang bermakna kecuali sembuhnya gigi kita? Yang senut-senutnya luar biasa?

Kalau pernah, mungkin gigi berlubang sudah sangat dalam, sehingga sampai ke syaraf di dalam gigi. Untuk menanganinya, gigi Anda perlu dirawat syaraf atau disebut juga perawatan saluran akar.

Bagaimana tanda-tandanya?
Tanda-tanda gigi yang perlu dirawat syaraf adalah yang seperti gigi berlubang pada umumnya, yaitu terasa ngilu jika terkena panas atau dingin, terasa ngilu jika terkena tekanan, terasa berbau kurang sedap. Namun, dengan intensitas yang lebih tinggi. Dan bila kondisi kesehatan badan sedang menurun, biasanya sakit gigi pun kambuh.

Lalu bagaimana memastikannya?
Untuk memutuskan bahwa gigi perlu dirawat syaraf atau tidak, dokter akan melakukan rontgen pada gigi. Di klinik gigi yang cukup baik, biasanya rontgen dapat dilakukan langsung di kursi perawatan gigi. Untuk memperjelas analisis pada gigi tertentu, yang di-rontgen hanya satu dua gigi, bukan keseluruhan gigi (panoramic). Klinik modern biasanya menggunakan rontgen digital, yang hasilnya dapat dilihat di layar rontgen di ruangan itu juga. Sedikit ketidaknyamanan biasanya terjadi pada saat persiapan rontgen digital, karena disk dan alat penyangga yang dimasukkan ke mulut berukuran cukup besar.

Apa sebenarnya yang terjadi pada gigi tersebut?
Pada gigi yang perlu dirawat syaraf, biasanya terdapat lubang yang sangat dalam, sehingga sampai menyentuh syaraf di dalam gigi. Yang lebih rentan adalah lubang yang berawal dari sisi gigi, karena posisinya lebih dekat dengan syaraf gigi. Sedangkan untuk lubang dari arah atas gigi, biasanya relatif lebih jauh untuk mencapai syaraf gigi. Karena lubang gigi telah mencapai syaraf, maka biasanya sakit yang ditimbulkan sangat hebat.

Apa ada gigi yang memerlukan perawatan syaraf, tapi tidak terasa sakit?
Anehnya, ada. Pada mereka yang kurang sensitif, atau mengabaikan rasa sakit, ada kalanya gigi berlubang sampai ke akar, bahkan gigi sampai hampir separuh hilang, bahkan gigi tinggal akar, tidak terasa sakit yang mengganggu.

Apa dampaknya jika dibiarkan?
Karena lubang gigi sudah menyentuh syaraf, maka bakteri yang ada di lubang gigi beresiko untuk masuk ke syaraf dan pembuluh darah. Dari pembuluh darah, bakteri bisa menyebar ke organ-organ yang penting seperti otak dan jantung, yang dapat berakibat fatal.

Apa tujuan perawatan syaraf gigi?
Perawatan syaraf gigi bertujuan untuk mematikan syaraf-syaraf yang ada di dalam saluran akar gigi, dan membersihkan dan menutup saluran akar tersebut, agar tidak lagi terjadi kontak dengan lingkungan di luar gigi dan bakteri.

Bagaimana proses perawatannya?
Perawatan syaraf gigi biasanya memakan waktu sampai 5 kunjungan.
Proses pertama, adalah seperti proses pada gigi berlubang pada umumnya, yaitu membersihkan gigi dari bakteri serta lapisan-lapisan gigi yang sudah keropos atau lunak sampai ditemukan lapisan gigi yang masih sehat.
Pada kedatangan pertama, biasanya kondisi gigi sedang sakit, maka setelah dibersihkan dan diberi obat, akan diberikan tambalan sementara, dan pasien diminta untuk pulang dan kembali sekitar satu minggu kemudian.
Namun pada kondisi tertentu ketika rasa sakit sudah tidak mungkin dibiarkan, perawatan akan dilakukan dengan menggunakan suntikan bius lokal.
Pada kedatangan kedua, syaraf mulai dibersihkan. Dokter akan memasukkan alat pembersih seperti bor kecil sepanjang akar gigi, untuk membersihkan saluran akar dengan melakukan gerakan memutar. Pembersihan akar tidak dilakukan dengan mesin, melainkan manual dengan tangan dokter. Selesai pembersihan tahap pertama, pasien kembali ditambal sementara dan pulang.
Hal ini akan diulangi pada kedatangan ketiga.
Pada kedatangan keempat, akan dilakukan pembersihan terakhir yang dilanjutkan dengan pengisian saluran akar. Pada tahap ini, pasien kembali ditambal sementara dan pulang.
Pada kedatangan kelima, hasil pengisian saluran akan di-rontgen, untuk memastikan pengisian terjadi secara sempurna. Jika pengisian sudah baik, pasien akan ditambal permanen, dan selesailah sudah perawatan saluran akar.

Apa yang dirasakan pasien ketika perawatan?
Secara umum mirip dengan perawatan gigi berlubang pada umumnya. Yang membuat lebih tidak nyaman antara lain adalah perlunya dilakukan rontgen sebanyak dua kali, yang jika menggunakan rontgen digital, dengan ukuran disk dan penyangga yang cukup besar, cukup tidak nyaman di mulut. Berikutnya, karena prosesnya manual, dengan alat-alat yang cukup panjang untuk menjangkau akar, dan biasanya posisi gigi jauh di belakang, pada beberapa orang akan menimbulkan rasa kurang nyaman. Dan yang juga penting adalah perlunya konsistensi kedatangan ke dokter, karena perawatan ini harus dilakukan sesuai tahapannya.

Kenapa gigi tidak dicabut saja?
Dokter biasanya menghindari pencabutan gigi, karena pencabutan gigi akan menimbulkan ketidakseimbangan baik antara gigi yang sejajar, maupun dengan gigi atas atau bawahnya. Maka sedapat mungkin akan diusahakan agar gigi tidak perlu dicabut.

Apakah biayanya mahal?
Relatif terhadap biaya penambalan, maka per kedatangan, biayanya kurang lebih sama. Namun karena terdiri atas 5 kali kedatangan, ditambah dengan 2 kali rontgen, maka biayanya memang cukup mahal.

Bagaimana menghindarinya?
Pencegahan utama adalah rajin menyikat gigi setelah makan dan sebelum tidur. Untuk setelah makan sebaiknya sikat gigi sekitar 30 menit setelah makan. Karena pada waktu sebelumnya, gigi masih mengandung enzim pencernaan, yang akan bereaksi dengan pasta gigi justru membuat gigi mudah berlubang.
Berikutnya adalah rutin ke dokter gigi, setiap 6 bulan, agar permasalahan yang ada dapat segera ditangani sebelum terlalu parah.

Ditulis oleh seorang awam berdasarkan penjelasan dokter dan pengalaman sebagai pasien perawatan syaraf gigi

Tuesday, June 8, 2010

Selamat Tinggal PD Bengkak

Salah satu tragedi yang kadang terjadi pada ibu menyusui adalah payudara yang membengkak karena terhambatnya saluran ASI. Tahap yang paling ringan hanya bengkak saja dan sakit di payudara. Tahap berikutnya ditambah dengan demam. Yang lebih parah adalah mastitis, di mana pembengkakan sudah menjadi infeksi dan metode penyembuhannya adalah melalui operasi, seraaaaam!

Bengkak payudara ini sebenarnya bisa dicegah yaitu dengan rutin melakukan pijat payudara dan memastikan payudara untuk selalu dikosongkan.

Pada saya, ini pernah terjadi dua kali. Yang kedua yang agak parah, meskipun tidak sampai mastitis.

Kita mulai kisahnya yaa..

Saat itu anak saya berusia sekitar 8 bulan, sudah lewat masanya ASI eksklusif. Saya yang working mom, masih rutin memerah di kantor 3 kali dalam sehari, dan menyusui langsung selama di rumah.

Pemijatan payudara pun saya lakukan secara rutin setiap sebelum mandi.

Hari itu saya pulang dari kantor sedikit terlambat. Ketika saya pulang, anak saya sudah mulai mengantuk, yang artinya saya harus segera menyusuinya.

Maka saya mandi dengan terburu-buru dan terpaksa melewatkan ritual pemijatan payudara. Kesalahan pertama.

Sambil sedikit kelelahan karena pulang terlambat itu, saya pun menyusui anak saya sampai akhirnya kami berdua tertidur. Saat itu jam 20an.

Di usia 8 bulan itu, saya menyusui dengan payudara bergiliran. Jadi jika pada suatu waktu anak saya menyusu di payudara kiri, maka di session berikutnya, menyusu di payudara kanan. Pengecekannya biasanya cara paling mudah saja, yaitu diingat-ingat dan sambil dirasakan mana yang lebih kempes, berarti sebelumnya sudah disusui.

Jam 23an, anak saya bangun untuk menyusu lagi. Saya yang sedang kelelahan, melewatkan lagi satu prosedur, yaitu pengecekan kekempesan payudara. Saya susukan lagi payudara yang sama dengan yang jam 20 tadi. Kesalahan kedua.

Jam 02 pagi, malapetaka itu pun datang. Badan saya tiba-tiba demam tinggi sampai menggigil. Saya sempat agak panik, wah sakit apa ya saya, apakah menular ke bayi saya?

Saking menggigilnya, saya sampai keluar dari kamar kami yang ber-AC, dan tidur berselimut di sofa, di udara Jakarta jam 2 pagi yang sebenarnya sama sekali tidak dingin.

Sambil demam itu saya baru merasakan ada yang aneh dengan payudara saya. Sepertinya agak sakit.

Saya coba pijat-pijat, wah tidak mempan.

Baru saya ingat-ingat lagi perjalanan dari sore sampai malam tadi. Yaitu dua kesalahan yang saya lakukan. Melewatkan ritual pemijatan dan menyusui dua kali berturut-turut dengan payudara yang sama.

Penyesalan tinggal penyesalan. Siksaan karena payudara bengkak harus dihadapi. ASI sulit dikeluarkan, badan demam, payudara sakit. Lengkap.

Untung ada AFB tempat saya mencari masukan soal ASI. Dari berbagai masukan mengenai payudara bengkak ini, ternyata ini langkah-langkahnya.

Payudara harus tetap disusukan, sambil dipijar-pijat di daerah yang nyeri.
Lakukan kompres panas dingin bergantian.
Intensifkan pemijatan.

Akhirnya, 5 hari berjuang, bengkak pun berangsur-angsur mengempis dan akhirnya hilang.

Sejak saat itu saya tidak mau lagi melewatkan kegiatan wajib untuk pemijatan payudara. Dan jangan sampai lupa pergiliran payudara untuk disusukan.

Oya ada satu masukan dari member AFB yang sangat bagus. Untuk mencegah kita lupa payudara mana yang baru saja disusukan, beri tanda pada branya, misalnya dengan pita, atau peniti kecil.

Bye bye payudara bengkak :-)

*Akan menjadi salah satu tulisan pada buku AIMI

Ujian Keikhlasan

Melakukan perbuatan baik sebenarnya hal yang mudah. Karena fitrah manusia sebenarnya adalah berbuat baik. Setelah berbuat baik, hati akan terasa tenang. Sedangkan setelah berbuat buruk, hati akan terasa gelisah.

Seperti pada hadis yang menyatakan bahwa tanda-tanda perbuatan dosa adalah jika hatimu tidak tenang karenanya.

Maka jika hati kita gelisah, waktunya untuk menelaah lebih jauh, mungkin ada dosa yang secara tidak sadar telah kita lakukan.

Kembali ke perbuatan baik.

Berbuat baik itu mudah. Karena sesuai fitrah, maka hati pun akan senang ketika melakukan perbuatan baik. Maka kita termotivasi untuk melakukan perbuatan baik.

Bagaimana jika dinaikkan tingkatnya. Berbuat baik secara kontinyu, rutin. Mulai sulit. Sulitnya adalah melawan rasa bosan. Melawan rasa "nggak ngaruh juga kayaknya".

Yang lebih sulit lagi, berbuat kebaikan, rutin, kontinyu, dan tetap ikhlas.

Apa lagi jika kebaikan itu berhubungan dengan orang lain. Dalam arti kita berbaik hati pada orang lain. Orang lain memperoleh manfaat dari kebaikan hati kita.

Yang menjadi masalah adalah jika timbal balik dari orang tersebut tidak sesuai dengan harapan. Ketika kita mulai berpikir "mbok yao", "tau dirilah", "coba untuk mengerti", "pahami posisimu".

Maka kita sudah berada pada tataran ujian keikhlasan. Kita sudah mulai memikirkan balas budi. Memberi dan harapan menerima.

Padahal ikhlas adalah memberi karena Allah. Hanya karena Allah. Lupakan kita telah memberi. Maka dengan sendirinya kita tidak akan perlu timbal balik.

Lebih jauh lagi, sesungguhnya Allah lah pemegang dan pembolak-balik hati. Bahwa Allah telah memberikan kesempatan untuk berbuat baik, bahwa Allah telah menggerakkan hati kita untuk berbuat baik. Adalah hal yang sungguh-sungguh harus disyukuri. Adalah semata-mata anugrah Allah juga.

Karena itu sebenarnya kita tidak perlu mengakui suatu perbuatan sebagai "hasil karya" kita, maka timbal balik apa pun seharusnya tidak mempengaruhi hati kita. Kita harus bisa tetap melihatnya secara jernih, datar, netral.

Ada kesempatan kebaikan, lakukan. Lupakan.

Apakah saya jadi dimanfaatkan? Tidak perlu dipersoalkan.

Mungkin dengan begitu kita akan lebih ringan untuk tetap ikhlas dalam berbuat baik secara rutin dan kontinyu.

Mengalah (Semoga) Bukan Kalah

Salah satu hadis yang menurut saya penting adalah hadis berikut :
"Barangsiapa yang berada dalam perdebatan, dan mempunyai kesempatan untuk memenangkan perdebatan itu tetapi dia meninggalkannya, maka sesungguhnya dia adalah orang yang beruntung".

Kita seringkali sulit untuk menerima kekalahan dalam suatu pertikaian. Apa lagi jika kita merasa berada pada posisi yang benar.

Ada juga sih yang sebenarnya sudah salah, tapi juga tidak mau mengaku. Yang ini kebangetan sebenarnya. Tapi ini juga sering terjadi.

Bagaimana sih sebenarnya benar dan salah itu?

Karena masing-masing orang memiliki serangkaian fakta dan persepsi yang berbeda, maka memang seringkali benar salah jadi berbeda menurut setiap orang.

Justru dari situlah pertikaian biasanya terjadi. Satu pihak merasa bahwa dia benar dan yang lain salah. Juga sebaliknya.

Butuh kekuatan yang sangat besar untuk bisa mencoba menerima, mengakui, merelakan, bahwa yang kita anggap salah itu menjadi benar. Bahwa kita yang salah, dan dia yang benar. Berubah dari sebelumnya bahwa dia yang salah dan kita yang benar.

Namun kalau itu sudah kita lakukan, maka dampaknya sungguh luar biasa.

Bukan sekedar selesainya persoalan dan menangnya pihak lain, tapi beban dalam hati seperti diangkat secara serta-merta.

Hal ini tentu berlaku dalam hal benar salah yang bersifat relatif, dalam hukum-hukum yang dibuat manusia, dalam kesepakatan-kesepakatan dan hubungan manusia sehari-hari.

Apakah dengan mengalah itu kita menjadi orang yang tertindas? Tidak punya kekuasaan? Terperdaya? Mungkin juga.

Tapi toh bukan itu juga yang kita cari dalam hidup. Yang kita cari adalah memberikan manfaat kepada sebanyak mungkin pihak. Jika mengalah memberi manfaat, tidak ada salahnya untuk dicoba.

Mungkin seperti kalah, tapi hakikatnya kita menang. Paling tidak atas diri kita sendiri.

Friday, June 4, 2010

Bersalahkah Ibu Bekerja?

Beberapa ibu bekerja memiliki perasaan bersalah bahwa dia telah meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga untuk pergi bekerja.

Akibatnya, dia pergi dengan separuh hati dan pikiran masih di rumah. Dan berharap dapat segera kembali pulang.

Bila ada tugas tambahan yang menyebabkan dia harus pulang lebih lambat, dia kerjakan dengan secepat mungkin, agar kalaupun terjadi kelambatan pulang, tidak terlalu signifikan.

Bila ada acara "ekstra kurikuler" di luar jam kerja, setelah jam kerja, maka bisa dipastikan bahwa dia tidak akan ikut, demi mencapai tujuan rutin hariannya untuk dapat pulang tepat waktu.

Padahal..

Dia bekerja pun bukan untuk dia sendiri.
Penghasilan yang dia peroleh digunakan untuk anak-anaknya, keluarganya.
Dia bukan meninggalkan keluarga lalu menelantarkannya.
Dia tetap memastikan bahwa seluruh operasional keluarga berjalan dengan baik.
Dia telah delegasikan tugas-tugas penanganan keluarga kepada orang-orang yang terpercaya.

Dengan bekerja dia bisa mengamalkan ilmunya.
Mengamalkan ilmu sebagai tanda bakti kepada orang tuanya yang telah menyekolahkannya.
Dengan memiliki penghasilan, dia juga bisa membantu keluarga besarnya yang membutuhkan.

Mengamalkan ilmu, berbakti pada orang tua, membantu keluarga, membantu keluarga besar, pada dasarnya adalah amal soleh.

Dengan melihat dari sisi ini, maka semestinya tidak perlu ada rasa bersalah pada ibu yang pergi bekerja.

Tidak perlu ada rasa keterburuan jika ada tugas tambahan. Bekerja dengan tenang tentu akan memberikan hasil yang lebih baik.

Acara "ekstra kurikuler" pun ada baiknya sekali-sekali diikuti. Karena dalam pertemuan informal, interaksi dengan rekan kantor akan lebih cair dan memudahkan dalam pelaksanaan tugas yang memerlukan koordinasi.

Kalau pun ada acara "ekstra kurikuler" yang tidak diikuti, alasannya bukan sekedar untuk pulang lebih cepat, tetapi lebih kepada kesesuaian jenis acara dengan hati nurani.

Sekedar renungan seorang ibu bekerja yang sampai sekarang masih terus mempertimbangkan hakikat tugasnya di dunia :-)

Thursday, June 3, 2010

Manajemen Ekspektasi

Sedih dan gembira itu sebenarnya reaksi atas selisih antara ekspektasi dan realisasi. Jika realisasi di bawah ekspektasi, maka kita akan sedih. Jika realisasi di atas ekspektasi, maka kita akan gembira.

Faktanya, realisasi tidak dapat dikendalikan. Realisasi terjadi di luar kontrol kita, sesuai dengan hukum sebab akibat yang terjadi berkaitan dengan realisasi tersebut.

Bagaimana dengan ekspektasi?
Seringkali kita anggap ekspektasi juga tidak bisa kita kendalikan. Ekspektasi kita anggap terjadi begitu saja, pada saat kita melakukan suatu aksi.

Apa benar demikian?
Semestinya, idealnya, tidak. Semestinya kita bisa mengendalikan ekspektasi.

Kapan ekspektasi dikendalikan?
Bisa segera setelah kita melakukan aksi. Bisa ketika kita menerima realisasi.

Jika dilakukan segera setelah kita melakukan aksi, maka kita akan lebih siap menerima realisasi paling minimal sekalipun. Maka kita tidak akan perlu bersedih.

Jika dilakukan pada saat kita menerima realisasi, maka sesaat kita sempat bersedih. Tetapi setelah dilakukan setting ulang ekspektasi, kita bisa tidak lagi bersedih. Menjadi netral. Bahkan bisa menjadi gembira.

Lalu di mana kita meletakkan syukur dan sabar?
Dengan manajemen ekspektasi ini, syukur dan sabar bisa lebih mudah kita tempatkan.
Jika manajemen ekspektasi sudah dilakukan segera setelah kita melakukan aksi, sehingga kita siap dengan realisasi seminimal apapun, maka kita pada posisi akan selalu bersyukur dengan kondisi apapun yang kita terima pada realisasi.
Jika manajemen ekspektasi dilakukan setelah kita menerima realisasi, maka di sini peran sabar. Dengan kesabaran kita dapat melakukan setting ulang ekspektasi, mencoba menghitung ulang perbandingannya dengan realisasi, dan terus mengulang loop ini sampai hasilnya positif. Setelah positif, maka kita bisa bersyukur.

Di mana letak ikhlas?
Dengan konstelasi ini, maka letak ikhlas adalah ketika kita berusaha melakukan manajemen ekspektasi. Bahwa ekspektasi kita bukan pada hasil dari aksi. Bahwa aksi itulah yang justru menjadi point bagi kita. Bahwa hanya Dia yang kita jadikan sasaran.

Sambutan anak, penerimaan suami, rekognisi atasan, jika itu yang dijadikan indikator, maka bersiaplah untuk bersedih. Karena itu di luar kontrol kita.

Dengan ikhlas, dengan manajemen ekspektasi yang minimal kepada hasil dari aksi, dengan memusatkan daya kepada pengejawantahan proses dan perwujudan aksi, maka hasil menjadi tidak lagi terlalu berarti. Maka sedih tidak akan terjadi. Maka syukur akan selalu menghiasi hati.

Yang belum masuk adalah, di mana letak harapan, pemikiran positif, yang bagaimanapun adalah doa?Yang justru bisa men-drive realisasi?Ini masih harus dirumuskan. Mungkin pada tulisan berikutnya. Mudah-mudahan.

Ditulis dengan cepat ketika pulang malam dari kantor di tengah kemacetan Jakarta, 2 Juni 2010