Tuesday, January 31, 2012

Mengoptimalkan Potensi Anak Menghafal Al Qur'an

Copy paste dari http://metodekibar.blogspot.com/2011/03/mengoptimalkan-potensi-anak-menghafal.html, semoga bermanfaat.

“Wahai Yahya, ambillah Al Kitab (Taurat) itu dengan sungguh-sungguh. Dan Kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak.” QS. Maryam: 12

Mengenalkan hafalan Al Qur’an pada anak adalah perbuatan yang paling utama dalam Islam. Karena dengan menghafal Al Qur’an dapat mengakrabkan anak pada keagungan kalamullah, membiasakan mereka membaca, mendengar dan berlatih untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Kebiasaan yang positif ini dapat menjaga fitrah anak, sekaligus membentengi diri dari segala pengaruh negatif di masa mendatang.

Sebagaimana pesan Rasulullah pada setiap orang tua, “Ajarkanlah anak-anak kalian tentang tiga hal; mencintai Nabinya, mencintai keluarganya, dan Al Qur’an.” (HR. Ahmad). Lebih jauh lagi, orang yang terbaik di sisi Rasulullah adalah orang yang senantiasa mempelajari dan mengajarkan Al Qur’an, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan dari Mush’ab bin Sa’ad bin Abi Waqqash, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari).

PERSIAPAN SEBELUM MENGHAFAL

Sebelum kita mengajak anak-anak kita menghafal Al Qur’an, terlebih dahulu yang harus kita lakukan adalah menanamkan rasa cinta dan senang terhadap Al Qur’an. Sebab, menghafal Al-Qur’an tanpa disertai rasa cinta tidak akan memberi manfaat, bahkan jika kita memaksa anak untuk menghafal Al Qur’an tanpa disertai rasa cinta terlebih dahulu, justru akan memberi dampak negatif bagi mereka: beban sekaligus membosankan.

Sedangkan menghafal Al Qur’an yang disertai perasaan cinta dan senang akan menumbuhkan perilaku dan sifat mulia. Menanamkan rasa cinta terhadap Al Qur’an, harus dimulai pertamakali dalam lingkup keluarga, yaitu dengan keteladanan orang tua atau guru. Karena itu, jika kita menginginkan anak mencintai Al Qur’an, maka jadikanlah keluarga kita sebagai suri teladan yang baik dalam berinteraksi dengan Al Qur’an. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara memperbanyak membacanya, mendengarkannya atau akrab dengannya.

Setelah rasa cinta terhadap Al Qur’an sudah tertanam dalam pribadi anak, selanjutnya yang harus dilakukan orag tua dan guru adalah menanamkan motivasi yang tepat tentang mengapa dan untuk apa mereka menghafal Al Qur’an. Menanamkan motivasi pada anak, dapat dilakukan melaui dialog, misalnya; “Siapakah diantara kalian yang ingin dicintai Allah?” “Betul...” “Kalau kalian ingin dicintai Allah, maka kalian juga harus mencintai Al Qur’an.” Selain dengan cara di atas, motivasi juga bisa dilakukan dengan cara bercerita, dst.

Kemudian, persiapan yang tidak kalah pentingnya adalah menghadirkan suasana yang menyenangkan, atau lebih tepatnya mengkondisikan suasana, ruangan, dan moot anak tetap stabil. Yang terakhir ini dapat dilakukan dengan cara memahami gaya belajar anak, atau memberi apresiasi yang positif, seperti pujian yang tidak berlebihan, hadiah yang bermanfaat, dst.

MEMAHAMI GAYA BELAJAR ANAK

Setiap anak memiliki gaya belajar yang berbeda dengan yang lain. Memahami bagaimana gaya belajar anak dapat memaksimalkan kemampuan belajarnya. Howard Gardner, seorang professor pendidikan dari Harvard University menyatakan bahwa otak merupakan organ yang sangat kompleks dengan kapasitas yang jauh lebih besar untuk belajar ketimbang yang saat ini dipakai manusia. Sebagian dari kita memiliki otak yang mampu menyerap banyak informasi sekaligus, namun ada juga yang hanya mampu menyerap dan memproses info sedikit demi sedikit. Ada yang mampu menyimpan dan mengeluarkan kembali informasi dalam otak dengan cepat sementara ada yang melakukan hal tersebut dengan lambat. Ada jenis pikiran yang lebih suka menggunakan hasil pemikiran sendiri daripada mengambil ide orang lain, ada yang sebaliknya. Jadi kita memiliki otak yang memiliki rangkaian tertentu, yang menonjol dalam suatu bidang dan lemah dalam bidang yang lain.

Dalam perkembangan psikologi saat ini, seringkali kecerdasan majemuk dikacaukan dengan gaya belajar. Hal ini dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang pengertian gaya belajar. Gaya belajar adalah cara yang diambil oleh masing-masing orang dalam menyerap informasi baru dan sulit, bagaimana mereka berkonsentrasi, memproses dan menampung informasi yang masuk ke otak.

Richard Bandler, John Grinder, dan Michael Grinder, dalam karya mereka Neuro Linguistic Programming (NLP) mengemukakan bukti kuat bahwa secara umum kita memiliki ciri belajar yang dominan yaitu: visual, auditori dan kinestetik. Kemudian Ken Dunn dan Rita Dunn mengemukakan factor pendukung gaya belajar meliputi: Lingkungan, Emosional, Sosiologis, Fisiologis, dan psikologis.

Barbara Prashnig dalam bukunya The Power of Learning Styles menulis bahwa gaya belajar dipengaruhi juga oleh kerja otak. Dominasi kerja otak kiri menghasilkan gaya pemrosesan analitis sedangkan dominasi kerja otak kanan menghasilkan gaya pemrosesan holistis.

Penelitian para ahli pendidikan menemukan bahwa 3/5 gaya belajar bersifat genetis, sisanya ketekunan dan pengalaman.

Dalam makalah ini, sedikit saya bahas tentang gaya belajar visual (penglihatan), auditori (pendengaran) dan kinestetik (physical), walaupun pada perkembangan selanjutnya terdapat gaya belajar nature (alamiah) dan conceptual.
Anak dengan gaya belajar visual cendrung lebih cepat menyerap informasi dengan melihat bagaimana guru menerangkan didepan kelas baik dengan alat bantu tulisan, data maupun gambar. Anak seperti ini dinamakan visual learner.

Anak dengan gaya belajar auditori cendrung lebih cepat menyerap pelajaran dan berkonsentrasi bila mendengarkan guru menjelaskan didepan kelas dan sekaligus menjawab pertanyaan- pertanyaan yang diajukan. Anak seperti ini dinamakan auditori learner.

Anak dengan gaya belajar kinestetik cendrung lebih cepat menyerap informasi bila ada alat bantu dan aneka alat peraga ataupun gerakan-gerakan. Anak seperti ini lebih cepat berkonsentrasi bila menggerakkan satu atau lebih bagian tubuhnya. Anak seperti ini dinamakan physical learner.

PROSES TERBENTUKNYA HAFALAN

Pada dasarnya, setiap anak memiliki kemampuan yang luar biasa dalam belajar, namun kemampuan tersebut tidak sepenuhnya dimaksimalkan oleh orang tua maupun guru. Banyak ahli menyimpulkan bahwa Anak belajar dengan baik, apabila dalam suasana yang menyenangkan. Karena pada saat yang menyenangkan, syaraf otak terbuka dan siap untuk menerima hal-hal baru. Sesungguhnya anak belajar dengan lebih optimal apabila menggunakan seluruh panca inderanya. Dan hasil belajar anak lebih optimal bila anak diberi kesempatan untuk melakukan secara berulang-ulang dan teratur. Konsep inilah yang seharusnya dipakai pada saat mengajarkan anak-anak hafalan Al Qur’an. Karena menghafal adalah sebuah proses mengulang-ulang sesuatu, baik dengan cara membaca atau mendengar. Bahkan pekerjaan apapun jika sering di ulang-ulang, pasti menjadi mudah, terlebih Ayat-ayat Al Qur’an jika selalu diulang-ulang, pasti akan hafal.

BEBERAPA METODE MENGHAFAL AL QUR’AN

Dewasa ini, metode menghafal Al Qur’an sudah banyak bermunculan, dari yang konvensional sampai kontemporer, dari yang mudah sampai yang susah, lokal maupun impor. Bahkan ada beberapa tempat yang masih menggunakan model konvensional (tradisional) dalam menghafal, meskipun audiensnya adalah anak-anak.
Padahal metode yang digunakan sangat menentukan bagaimana terbentuknya hafalan, sekaligus pemahaman dan pengamalannya. Berikut ini, beberapa model menghafal Al Qur’an yang tepat untuk usia TK, yakni penggabungan antara model visual, auditorial, dan kinestetik (gambar, cerita dan gerakan).

Akhirnya, tidak ada anak yang terlahir sempurna. Orang tua, guru dan lingkunganlah yang membentuk kepribadiannya. Karena itu, menanamkan kecintaan terhadap Al Qur’an sejak dini, akan membentuk kepribadian anak yang Qur’ani, menjaga dan memelihara kemurnian Al Qur’an, sesuai dengan harapan Allah yang tertuang dalam firman-Nya “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” QS. Al Hijr: 9.


Muhammad Sholihuddin, S.Q

Pengasuh Forum Halaqah Huffadzul Qur’an & Praktisi Kibar Institut Jogjakarta.
(mh.solih@gmail.com/ Hp: 081904126541)

Bahasa Arab Bahasa Islam

Copy paste dari www.muslimah.or.id

Bahasa Arab Bahasa Islam


Penulis: Ummu Ziyad
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Kemuliaan Bahasa Arab

Tahukah engkau saudariku, keutamaan bahasa arab sangatlah banyak. Sebagaimana perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menafsirkan surat Yusuf ayat 2, yang artinya,

“Sesungguhnya Kami telah jadikan Al-Qur’an dalam bahasa Arab supaya kalian memikirkan.”

Ia berkata, “Yang demikian itu (bahwa Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab) karena bahasa arab adalah bahasa yang paling fasih, jelas, luas dan maknanya lebih mengena lagi cocok untuk jiwa manusia. Oleh karena itu, kitab yang paling mulia (yaitu Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (yaitu malaikat Jibril), ditambah kitab inipun diturunkan pada dataran yang paling mulia di atas muka bumi (yaitu tanah Arab), serta awal turunnya pun pada bulan yang paling mulia (yaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sempurna dari segala sisi.” (Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Surat Yusuf)

Bahasa Penduduk Surga

Suatu saat terjadi percakapan di antara seorang ustadz dan seorang pria.

A: Ustadz, katanya bahasa surga itu bahasa arab ya?
B: Katanya begitu pak… tapi haditsnya dho’if.

Tahukah engkau saudariku, memang banyak kita dengar perkataan bahwa bahasa arab adalah bahasa yang digunakan di surga. Namun ternyata tidak ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tentang masalah ini sebagaimana dinyatakan Abu Shuhaib al-Karami yang mentahkiq kitab Mukhtashar Hadi al-Arwah karya Ibnu Qayyim Al-Jaujiyyah. Namun banyak atsar salaf yang menguatkan hal ini (bahasa penduduk surga adalah bahasa Arab). Wallahu a’lam bi shawab.

‘Afwan Jiddan (??)

Kalimat yang satu ini, rasanya sudah menjadi sebuah perkataan umum yang merebak dimana-mana. Secara kata perkata, memang terlihat benar, karena ‘afwan berarti maafkan aku, sedangkan jiddan artinya sungguh-sungguh/benar-benar.

Tahukah engkau saudariku, ternyata kalimat ‘afwan jiddan tidak dikenal dalam bahasa arab yang benar. Ini sama seperti seseorang yang belajar bahasa Inggris kemudian mengatakan, “My watch is dead”. Secara kata perkata memang benar, namun secara penggunaan bahasa asalnya, kalimat tersebut bukanlah kalimat yang benar.

Kata ‘afwan itu sendiri sebenarnya sudah merupakan sebuah permintaan maaf yang sangat. Jika dirinci, kata ‘afwan mempunyai kalimat lengkap Asta’fika yang artinya aku benar-benar minta maaf kepadamu. Nah, berarti maksud orang yang mengatakan ‘afwan jiddan bahwa ia minta maaf dengan sungguh-sungguh sebenarnya sudah diwakilkan dengan kata ‘afwan itu sendiri. Adapun kata dalam bahasa arab lainnya yang berarti maaf adalah aasif. Dan untuk kata ini (aasif) tidak terkandung makna permintaan maaf dengan sungguh-sungguh.

4 Nama Nabi

Tahukah engkau saudariku? Ternyata hanya ada 4 Nabi kita (yang disebutkan namanya dalam Al-Qur’an dan Sunnah) yang memiliki nama dari bangsa Arab murni, yaitu nabi kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, Shalih, Syu’aib dan Hud. Adapun nama-nama nabi lainnya merupakan nama ‘ajam (asing). Dan secara kaidah bahasa arab, antara nama asli Arab dan nama asing memberikan konsekuensi yang berbeda, yaitu untuk nama asing dalam penggunaannya tidak boleh diberi tanda tanwin. Masih penasaran? Ayo belajar bahasa arab…

Musyawarah Akbar (??)

Kadang aneh terlihat, ketika suatu spanduk dari organisasi Islam kemudian bertuliskan musyawarah akbar. Tahukah engkau saudariku, terdapat kesalahan penerapan kaedah bahasa arab dalam susunan tersebut.

Kata musyawarah (yang berasal dari bahasa arab) merupakan isim muannats (jenis kata feminin). Sedangkan kata akbar merupakan isim mudzakar (jenis kata maskulin). Dalam kaedah bahasa arab, tidak tepat jika memadankan dua kata (yang dinamakan na’at man’ut) dengan kata yang berlainan jenis. Maka yang benar adalah musyawarah kubro. Karena kata kubro merupakan isim muannats. Bingung? Ayo belajar bahasa arab…

Abu dan Ummu

Tahukah engkau saudariku, penggunaan Abu dan Ummu juga dipelajari dalam bahasa arab pada bab ‘Alam (nama). ‘Alam itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian. Salah satunya adalah kun-yah. Kun-yah adalah nama yang diawali dengan lafazh Abu dan Ummu, seperti Abu Bakr, Ummu Kultsum dan sebagainya. Biasanya, kata yang digunakan setelah kata Ummu atau Abu adalah nama anak pertama dari sang pemilik nama. Namun, tidak berarti bahwa orang yang belum menikah bahkan anak-anak sekalipun tidak dapat menggunakan nama kun-yah. Sebagaimana Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memanggil seorang anak kecil dengan nama kun-yah, dalam hadits yang diceritakan oleh Anas radhiallahu ‘anhu,

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Dan aku memiliki seorang saudara yang biasa dipanggil dengan sebutan Abu ‘Umair. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam datang, lalu memanggil: ‘Wahai Abu ‘Umair, apa yang sedang dilakukan oleh si Nughair kecil.’ Sementara anak itu sedang bermain dengannya.” (HR. Bukhari)

Pentingnya Belajar Bahasa Arab

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Bahasa arab itu termasuk bagian dari agama, sedangkan mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Quran dan As-Sunnah itu wajib. Tidaklah seseorang bisa memahami keduanya kecuali dengan bahasa arab. Dan tidaklah kewajiban itu sempurna kecuali dengannya (mempalajari bahasa arab), maka ia (mempelajari bahasa arab) menjadi wajib. Mempelajari bahasa arab, diantaranya ada yang fardhu ‘ain, dan adakalanya fardhu kifayah.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah 1/527 dikutip dari majalah Al-Furqon)

Tahukah engkau saudariku, dorongan untuk belajar bahasa arab bukan hanya khusus bagi orang-orang di luar negara Arab. Bahkan para salafush sholeh sangat mendorong manusia (bahkan untuk orang Arab itu sendiri) untuk mempelajari bahasa arab.

Umar bin Khaththab radhiallahu ‘anhu berkata, “Pelajarilah bahasa arab, sesungguhnya ia bagian dari agama kalian.” (Iqitdha)

‘Umar radhiallahu ‘anhu juga mengingatkan para sahabatnya yang bergaul bersama orang asing untuk tidak melalaikan bahasa arab. Ia menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Adapun setelah itu, pelajarilah Sunnah dan pelajarilah bahasa arab, i’rablah al-Qur’an karena dia (al-Qur’an) dari Arab.” (Iqtidho, Ibnu Taimiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari Hasan Al-Bashari, beliau pernah ditanya, “Apa pendapat Anda tentang suatu kaum yang belajar bahasa arab?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang yang baik, karena mereka mempelajari agama nabi mereka.” (Mafatihul Arrobiyah, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Dari as-Sya’bi, “Ilmu nahwu adalah bagaikan garam pada makanan, yang mana makanan pasti membutuhknanya.” (Hilyah Tholibul ‘Ilmi, dikutip dari majalah Al-Furqon)

Tertarik belajar arab lebih jauh? Alhamdulillah silakan ikuti terus pelajaran bahasa arab yang ada di www.badar.muslim.or.id

Maraji’:

Pentingnya Bahasa Arab. Makalah YPIA oleh Divisi Bahasa Arab YPIA
Majalah Al-Furqon edisi 1 tahun VII 1428/2008
Mukhtashar Hadi al-Arwah ila Bilad al-Afrah (terj) dengan tahkik Abu Shuhaib al-Karami, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Pustaka Arafah, cetakan 1, Oktober 2005
Mutammiah Ajurumiyyah (edisi terjemah). Syaikh Syamsudin Muhammad Araa’ini. Sinar Baru Algensindo cetakan 5
Mulakhos Qowa’idul Lughotil ‘Arobiyyah. Fu’ad Ni’mah. Dar Ats-Tsaqoofah Al-Islamiyyah. Beirut.
Iqthido Ash-Shirotil Mustaqim. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq dan Ta’liq oleh Dr. Nashir Abdul Karim Al-’Aql. Wizarot Asy Syu-un Al Islamiyah wal Awqof

***

Artikel www.muslimah.or.id

Bagaimana Cara Menjawab Ucapan “Jazakallahu khairan"...?

Copy paste dari broadcast message di BBM saya hari ini, semoga bermanfaat :-)

==

Semoga Fatwa Syekh Abdul Muhsin Al-Abbad berikut ini bisa merincinya.

Pertanyaan:
Apakah ada dalil bahwa ketika membalasnya (ucapan “Jazakallahu khairan”) dengan mengucapkan “wa iyyakum” (dan kepadamu juga)?

Beliau menjawab,
“Tidak. Sepantasnya, dia juga mengatakan. ‘jazakallahu khairan’ (semoga Allah membalasmu kebaikan pula).
Yaitu didoakan sebagaimana dia berdoa.

Meski perkataan seperti ‘wa iyyakum’ sebagai athaf (mengikuti) ucapan ‘jazakum’ –yaitu ucapan ‘wa iyyakum’– bermakna ‘sebagaimana kami mendapat kebaikan, juga kalian, namun jika dia mengatakan ‘jazakallahu khair’ dan menyebut doa tersebut secara nash, tidak diragukan lagi bahwa hal ini lebih utama dan lebih afdal”

[Transkrip dari kaset Durus Syarah Sunan At-Tirmidzi, oleh Al-’Allamah Abdul Muhsin Al-Abbad hafizhahullah, kitab Al-Birr wa Ash-Shilah, no. hadits 222]

www.muslimah.or.id

Semoga bermanfaat.

Thursday, January 26, 2012

Model Masyarakat Ideal

Saya mencoba merumuskan tatanan masyarakat yang ideal, walaupun tentunya masih dalam konsep awal, yang entah dari mana memulai mewujudkannya, kalaupun benar ini adalah model masyarakat yang ideal :-)

Prinsip utama adalah sesuai surat Al Qashash 77 :
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (Al Qashash : 77)”.

Dari sini ada 2 hal penting, yaitu pertama bahwa tujuan utama kehidupan adalah persiapan untuk akhirat. Dan yang kedua, bahwa kehidupan dunia, tingkatnya sekedar “janganlah kamu melupakan bahagianmu”.

Maka, jika diproporsikan, kegiatan seseorang dalam kehidupannya, seharusnya yang terutama adalah mempersiapkan akhirat. Baru yang berikutnya, dengan tingkat sekedarnya, untuk kehidupan dunia. Atau dapat juga dibuat model yang lain, yaitu kalaupun aktivitas untuk dunianya memiliki proporsi yang cukup besar, dia harus membingkainya dalam rangka persiapan untuk akhiratnya.

“Hidup sekedarnya untuk dunia” itu bukan berarti seseorang menjadi tidak produktif, tidak profesional, dan miskin papa. Rasulullah dan para sahabat adalah para pedagang yang sukses.

Dengan model ini, ketika sebuah industri membuat produk dan jasa, bukan semata-mata mengejar profit. Namun selalu mempertimbangkan manfaat produk tersebut bagi penggunanya, apakah mendukung persiapannya menuju akhirat. Di sini, masalah perusakan lingkungan juga tidak akan terjadi, karena itu sudah termasuk dalam pertimbangan pelaksanaan suatu proyek. Hehehe mungkin terjadi ngga ya?

Prinsip kedua berkaitan dengan cara seorang muslim dalam mencari dan menyebarkan ilmu. Sebagai salah satu cabang iman, seorang muslim wajib mencari ilmu, dan setelah itu wajib mengajarkan dan mengamalkannya.

Maka, untuk masalah ilmu, seseorang akan dengan suka rela membagi ilmunya. Guru seharusnya tidak dibayar. Guru itu sendiri yang merasa perlu untuk membagi ilmunya. Membagi ilmu adalah bagian dari aktivitasnya untuk mempersiapkan akhirat. Bagaimana dengan ilmu duniawi, misalnya kedokteran, ekonomi, perdagangan, seni? Apakah juga termasuk dalam persiapan akhirat? Selama ilmu tersebut mendukung persiapan akhirat, maka dapat dikatakan masih masuk dalam persiapan akhirat. Jika tidak, maka tidak perlu disebarkan :-) Lalu dari mana sumber pendapatan guru? Guru harus memiliki pekerjaan lain. Seperti Bu Mus di kisah Laskar Pelangi, yang mengajar juga menjahit. Dia mengajar tanpa dibayar, dari menjahit lah dia hidup.

Dengan model ini, semua orang memiliki akses ke ilmu pengetahuan. Semua orang berkesempatan untuk memiliki kemampuan. Setiap orang berkesempatan untuk memiliki kehidupan yang baik.

Ini tentunya sangat "debatable", karena saat ini, guru adalah sebuah profesi yang menjadi sumber pendapatan. Namun, jika ini diteruskan, maka suatu saat nanti (atau malah sudah terjadi sekarang), pendidikan bisa menjadi sesuatu yang sangat mahal dan hanya bisa diperoleh oleh kalangan terbatas. Maka sebagian besar masyarakat akan menjadi orang tak terdidik, yang akan menyebabkan masalah bagi masyarakat itu sendiri.

Prinsip ketiga, keterbukaan pasar. Bahwa di jaman Rasulullah, pasar bukanlah pasar tetap. Pada hari pasar, siapapun bisa datang dan berdagang.

Sementara itu dulu, kapan-kapan dilanjutkan lagi :-)

Friday, January 6, 2012

Perbedaan dan Perubahan Niat dalam Shalat

Pengajian dzuhur hari ini berjudul Perubahan Niat dalam Shalat, disampaikan oleh Ust. Abdul Muhit Murtadho.

Pembahasan dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu perbedaan niat shalat antara makmum dan imam, perubahan niat dalam shalat, serta beberapa penjelasan lain tentang shalat.


A. Perbedaan niat shalat antara makmum dan imam

Perbedaan niat shalat antara imam dan makmum, yang disebabkan karena perbedaan jenis dan jumlah rakaat shalat dibolehkan untuk sebagian besar kasus sbb :

1. Imam dan makmum berbeda shalat antara fardhu dan sunnah. Misalnya imam shalat sunnah sedangkan makmum shalat fardhu. Ataupun imam shalat fardhu, makmum shalat sunnah (maaf untuk pembahasan ini tadi saya tidak hadir sejak awal, sehingga pembahasan yang saya dengar kurang detil).

2. Imam dan makmum sama-sama melakukan shalat fardhu, jumlah rakaat imam sama banyak dengan jumlah rakaat makmum.
Misalnya makmum yang tertinggal shalat dzuhur (karena tertidur atau lupa) padahal jamaah sudah akan melakukan shalat ashar. Maka makmum dapat mengikuti imam tersebut, dengan makmum melakukan shalat dzuhur, sedangkan imam shalat ashar.

3. Imam dan makmum sama-sama melakukan shalat fardhu, jumlah rakaat imam lebih sedikit dengan jumlah rakaat makmum.
Misalnya makmum yang tertinggal shalat ashar (karena tertidur atau lupa) padahal jamaah sudah akan melakukan shalat maghrib. Maka makmum dapat melakukan shalat ashar, mengikuti dengan imam yang melakukan shalat maghrib. Selesai rakaat ketiga, makmum tersebut melanjutkan dengan rakaat keempat.

4. Orang yang muqim (tidak dalam perjalanan) berimam kepada orang yang safar (dalam perjalanan). Imam melakukan shalat qashar, sedangkan makmum melakukan shalat normal. Di akhir, makmum menambahkan kekurangan shalatnya.

5. Orang yang safar (dalam perjalanan) berimam kepada orang yang muqim (tidak dalam perjalanan). Maka makmum mengikuti shalat imam yang normal, lalu menambahkan dengan shalat qashar jamak jika akan menjamak.

Perbedaan niat hanya tidak dibolehkan pada satu kasus, yaitu, ketika imam dan makmum sama-sama shalat fardhu, jumlah rakaat imam lebih banyak daripada jumlah rakaat makmum. Misalnya makmum yang tertinggal shalat subuh (karena tertidur atau lupa) padahal jamaah sudah akan melakukan shalat dzuhur. Maka makmum tidak dapat shalat subuh dengan imam yang shalat dzuhur. Sebabnya adalah, makmum harus berhenti terlebih dahulu, dan melakukan salam terlebih dahulu, sehingga akan menyelisihi atau melakukan sesuatu yang tidak mengikuti imam. Padahal prinsip dasar berjamaah adalah makmum harus mengikuti imam.
Maka pada kasus ini, yang dapat dilakukan adalah :
- Makmum menunggu dulu sampai imam shalat 2 rakaat, baru makmum mengikuti 2 rakaat terakhir untuk shalat subuhnya, dengan bermakmum pada imam yang shalat dzuhur di 2 rakaat terakhir.
- Makmum shalat dzuhur berjamaah terlebih dahulu, baru setelah itu melakukan shalat subuh yang tertinggal, walaupun di sisi lain lebih utama jika shalat dilakukan secara berurutan.


B. Perubahan niat dalam shalat

Perubahan niat dalam shalat dibolehkan, dan terdapat beberapa jenis perubahan niat :

1. Berubah niat dari shalat berjamaah menjadi shalat sendiri (munfarid), misalnya ada urusan penting dan imam bacaannya terlalu panjang, sakit, atau ada hal yang darurat.
2. Berubah niat dari menjadi imam menjadi shalat sendiri, dalam hal shalat berdua, yang kemudia makmumnya meninggalkan shalat (ada hal darurat).
3. Berubah niat dari shalat sendiri menjadi imam, karena ada yang mengikuti.
Hal ini dijelaskan pada hadits dari Ibnu Abbas : “Aku shalat di rumah bibiku, dan mendapati Rasulullah shalat. Akupun mengikutinya dan berdiri di sebelah kirinya. Lalu Rasulullah memegang kepalaku dan membawaku ke sebelah kanan beliau”.
Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa seseorang dapat mengubah niat dari shalat sendiri menjadi imam, serta pada shalat berjamaah berdua, posisi makmum adalah di sebelah kanan imam.
4. Berubah niat dari menjadi makmum menjadi imam, yaitu pada kasus jika imam batal sehingga makmum yang di belakangnya ditunjuk untuk menggantikan. Seperti pada kasus ketika Umar bin Khattab ditusuk ketika sedang menjadi imam shalat, beliau menunjuk Abdurrahman bin Auf untuk menggantikan, jamaah shalat tetap dilanjutkan.
5. Berubah dari berimam kepada imam yang satu ke imam yang lain. Seperti pada kasus ketika Rasulullah berhalangan mengimami shalat jamaah, beliau menunjuk Abu Bakar Ash Shiddiq. Ketika shalat sedang berjalan dipimpin Abu Bakar Ash Shiddiq, Rasulullah ternyata dapat mengikuti shalat. Maka Rasulullah berdiri di samping kiri Abu Bakar Ash Shiddiq, dan semua jamaah berimam kepada Rasulullah.


C. Beberapa penjelasan lain tentang shalat

1. Shalat yang terlupa, maka shalat tersebut harus langsung dikerjakan segera ketika ingat. Dalam pelaksanaannya, tetap menggunakan prinsip tertib, yaitu sesuai urutan waktu. Jika yang terlupa adalah shalat subuh dan baru teringat di waktu dzuhur, maka kerjakan terlebih dahulu shalat subuh. Kecuali, jika ada jamaah yang akan melakukan shalat dzuhur, maka lebih utama untuk melakukan shalat dzuhur berjamaah terlebih dahulu.

2. Pada shalat yang di-qashar, niat tidak perlu dilakukan di awal. Sehingga, imam tidak perlu memberikan penjelasan kepada makmum bahwa shalat akan dilakukan secara qashar. Hal ini yang dilakukan oleh Rasulullah ketika haji wada. Waktu di Madinah, beliau shalat dzuhur 4 rakaat. Ketika sampai di Bier Ali, beliau melakukan shalat Ashar 2 rakaat, dengan jamaah sekitar 100 ribu orang yang kebanyakan tidak mengetahui akan dilakukan shalat qashar. Rasulullah langsung mengimami dengan shalat qashar tanpa penjelasan terlebih dahulu.

3. Adzan adalah tanggung jawab muadzin. Namun qamat adalah di bawah komando imam. Jika imam telah merasa siap, maka imam yang memberi tanda untuk qamat dilakukan. Kesalahan yang umum dilakukan di masyarakat kita adalah makmum “berinisiatif” melakukan qamat agar imam segera memulai shalatnya.

4. Menjamak shalat pada dasarnya dapat dilakukan kapan saja jika ada hal yang darurat. Rasulullah membolehkan menjamak shalat bagi mereka yang melakukan pekerjaan yang tidak dapat ditinggalkan. Dapat juga dilakukan jika terjadi hujan lebat, sakit, ataupun kemacetan yang di luar perkiraan.

5. Untuk shalat yang tidak dapat dijamak, maka harus dikerjakan walaupun kondisi kurang memungkinkan. Bahkan jika pakaian dirasa tidak suci, ada hadas besar maupun kecil, ataupun pakaian tidak menutup aurat, shalat tetap harus dilakukan semaksimal mungkin.

Demikian sharing hari ini, semoga bermanfaat :-)

Thursday, January 5, 2012

Tips Menghadapi Penyalur ART/BS

Dari pengalaman mencari ART / BS sejak anak saya yang paling besar masih bayi (sekarang dia sudah mau SMP, how time flies, eh kok curcol, hehe..), berikut beberapa point yang akhirnya menjadi prinsip saya :

1. Pastikan menggunakan yayasan yang sudah pernah ada teman kita menggunakannya

Agar dapat "dipastikan" bahwa yayasan cukup bertanggung jawab, maka sebaiknya gunakan yayasan yang pernah digunakan teman, saudara, atau teman milis yang sudah kita kenal.

2. Mengenai uang administrasi dan jaminan penggantian dalam jangka waktu tertentu

Memang ada yayasan yang benar-benar jujur dalam hal ini, namun kebanyakan, jika kita tidak cocok dengan BS / ART-nya, ketika minta ganti, agak sulit, atau dibilang stok tidak ada :-) Namun ketika kita menghubungi lagi setelah sekian lama, atau orang lain yang menghubungi, dikatakan stok ada :-)

Kesimpulannya : siap-siap relakan uang administrasi, anggap saja sebagai biaya rekrut per BS/ART.
Siap-siap BS dan ART terus berganti, yang penting tetap ada BS / ART.

3. Tentang kualifikasi BS / ART

Seringkali kita memiliki "sederetan" persyaratan untuk BS / ART.
Namun, ada waktu-waktu di mana "stok" BS / ART ini sedemikian terbatasnya. Akhirnya ada kalanya kita harus bertoleransi dengan berbagai kekurangan mereka. Turunkan sedikit kualifikasi, menjadi yang penting-penting saja. Tetap berpikir positif, bersyukur ada BS / ART, yang mudah-mudahan ada kelebihannya walaupun banyak kekurangannya. Tidak ada manusia yang sempurna, seperti juga kita tidak sempurna :-)
Namun lagi, ada kualifikasi yang harus dipenuhi : kejujuran dan kesabaran
Kalaupun berbagai kualifikasi akhirnya tidak dapat dipenuhi, maka yang terpenting harus ada adalah kejujuran dan kesabaran. Dengan modal 2 kualifikasi itu saja, BS/ART akan bisa diajak bekerja sama.

4. Bantuan Allah akan datang

Khususnya bagi ibu bekerja seperti saya, kadang kita merasa sangat terjepit, dalam waktu yang sudah sedemikian mepet, kita harus masuk kerja dalam waktu dekat, BS/ART belum juga ada. Yakinlah, bantuan Allah akan datang. Jika kita memang berniat bekerja untuk kebaikan, dan artinya meninggalkan anak untuk kebaikan, Allah akan bantu membereskan urusan-urusan kita. Berdoalah, mendekatlah pada Allah, Allah akan membantu kita.

Demikian tips kali ini, semoga bermanfaat, tetap semangaaat :-)