Tuesday, August 23, 2011

Evaluasi Ramadhan dan Idul Fitri Kita

Jika ada yang pernah menjalani Ramadhan dan Idul Fitri di negeri muslim selain Indonesia, misalnya Mesir dan Saudi Arabia, maka akan terasa beberapa perbedaan dengan Ramadhan dan Idul Fitri di Indonesia, dan bisa menjadi bahan evaluasi dan perbandingan mana yang lebih baik dan lebih benar untuk dijalankan.
Dari informasi teman-teman yang pernah menjalani -karena saya sendiri belum pernah, hehehe- ada beberapa hal yang bisa menjadi bahan evaluasi untuk kita.

Pertama, saat berbuka.

Karena di Saudi Arabia dan di Mesir memang orang sudah terbiasa shalat berjamaah di masjid, maka kegiatan berbuka puasa pun berfokus di masjid. Berbuka dilakukan dengan singkat, karena langsung dilanjutkan dengan shalat maghrib berjama’ah. Setelah itu bisa makan secukupnya, untuk kemudian kembali ke masjid dan melakukan shalat Isya dan tarawih.

Di Indonesia, orang biasanya berbuka di rumah masing-masing, dengan menu yang sudah cukup beragam, sehingga seringkali menghabiskan waktu cukup lama dan tidak sempat lagi shalat berjamaah di masjid. Tetapi untuk shalat Isya dan tarawih, biasanya masih bisa disempatkan. Alhamdulillah :-)

Yang perlu diperhatikan adalah tradisi buka bersama. Yang biasanya melibatkan undangan sekian banyak orang, dengan kolega bisnis, atau dengan teman-teman lama sekaligus reuni. Lokasinya bisa di rumah, tapi lebih sering di restoran, di kantor, atau di hotel. Dengan model seperti ini, biasanya setelah berbuka langsung dilanjutkan dengan makan besar, sehingga shalat maghrib biasanya dilakukan “seadanya” di mushalla restoran atau hotel, dan setelah itu tidak sempat lagi untuk shalat Isya dan tarawih berjamaah di masjid. Sepertinya ini perlu dievaluasi kembali.

Kedua, di 10 malam terakhir.

Di Saudi Arabia dan Mesir, di 10 malam terakhir masjid akan sangat-sangat penuh, bahkan di Masjidil Haram kabarnya melebihi jumlah jamaah ketika haji, dan di Mesir jamaah sampai membludak ke luar masjid. Ini karena umat Islam sangat memahami tingginya nilai 10 malam terakhir tersebut, dengan adanya lailatul qadr di dalamnya, sehingga mereka mendedikasikan waktu untuk mendekatkan diri pada Allah di masjid-masijd dengan I’tikaf.

Di Indonesia, beberapa tahun terakhir ini memang sudah cukup banyak masjid yang menyelenggarakan I’tikaf di 10 malam terakhir Ramadhan. Sebuah perbaikan yang mudah-mudahan dapat terus dilanjutkan.

Namun, masih ada sebagian orang yang di 10 hari terakhir disibukkan dengan persiapan Idul Fitri. Persiapan mudik, membuat kue lebaran, mencari baju baru untuk lebaran. Maka sebagian besar masjid di 10 malam terakhir ini akan menjadi sangat sepi, bahkan peserta shalat Isya dan tarawih pun tidak sampai 1 shaf.

Beberapa orang sudah mulai mudik, dengan berbagai kesibukannya. Persiapan perbekalan, pemesanan tiket jauh hari sebelumnya, penuhnya terminal transportasi, kemacetan luar biasa. Biasanya justifikasinya adalah “nanti semua kelelahan akan sirna jika kita berjumpa keluarga”. Memang ada benarnya. Mungkin pertanyaannya adalah, apakah itu adalah kelelahan yang benar-benar diperlukan? Adakah urgensinya bagi Ramadhan kita? Ataukah justru kontradiktif?

Ketiga, saat Idul Fitri.

Merujuk ke kisah Idul Fitri Rasulullah, maka pada malam Idul Fitri, Rasulullah masih ber-I’tikaf. Pagi hari Rasulullah mengenakan baju terbaik, pergi menuju masjid, melakukan shalat Idul Fitri, kemudian kembali ke rumah melalui jalan yang lain. Di sepanjang jalan Rasulullah menyapa orang yang beliau temui. Di hari ke-2 Syawal sudah dimulai dengan puasa Syawal selama seminggu.

Pada dasarnya malam terakhir itu adalah malam perpisahan dengan Ramadhan, yang seharusnya sangat kita sedihkan. Di sebuah masjid di kota Gresik di masa kecil saya dulu, satu malam sebelum malam Idul Fitri, setelah tarawih dilakukan “perpisahan” dengan Ramadhan, yang suasananya sangat khidmat, pilu, dengan penuh harap Ramadhan lalu telah melakukan amalan terbaik serta berharap berjumpa kembali dengan Ramadhan tahun depan.

Di Indonesia, malam Idul Fitri identik dengan malam takbiran, dengan berbagai keramaian dan kegembiraan. Ramadhan seperti dianggap sebuah ujian yang telah sukses dilalui, dan Idul Fitri adalah saatnya meraih kemenangan. Memang ada benarnya, tetapi, harus dipastikan dahulu, apakah benar kita termasuk orang-orang yang meraih kemenangan? Sehingga sebelum masuk ke zona kegembiraan, seharusnya ada tahap evaluasi mendalam terlebih dahulu.

Waktu Idul Fitri pun identik dengan aneka makanan lezat dan banyak, baik masakan maupun kue lebaran. Hal ini ditambah lagi dengan tradisi halal bihalal dan saling mengunjungi ke sanak keluarga, yang artinya semakin banyak lagi perjamuan makan. Dan hal ini berlanjut sampai ke hari ke 2 Syawal, bahkan sampai seminggu setelah lebaran.

Kembali ke kota Gresik di masa kecil saya dulu, hari Idul Fitri hanya ada makanan biasa, dan di hari ke-2 orang sudah berpuasa Syawal. “Hari Raya Ketupat” baru dilakukan setelah puasa Syawal. Sepertinya lebih baik, walaupun sebetulnya tidak perlu ada Hari Raya Ketupat :-)

Saat shalat Idul Fitri dan berkunjung ke sanak keluarga biasanya dilengkapi dengan baju baru. Mudah-mudahan tidak ada nuansa “pamer” di dalamnya. Dan pertemuan keluarga juga perlu diwaspadai agar tidak ada ghibah, pamer, apa lagi saling menyakiti dengan anggota keluarga.

Seperti apakah Ramadhan dan Idul Fitri kita? Semoga semakin baik setiap tahunnya, sesuai tuntunan Rasulullah dan Allah SWT. Aamiin..

No comments: