Wednesday, June 3, 2015

Membina Keluarga (1)

Ceramah Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Muhsinin Fauzi, Lc.

Tugas pokok suami adalah mengantar keluarga ke surga.

Mengenai nafkah justru tidak dibahas, karena tanpa agama pun, kewajiban suami untuk mencari nafkah sudah jelas.
Aspek yang diutamakan dalam agama adalah pendidikan, sehingga tugas pokok suami adalah membawa keluarga menjadi salih dan salihah, dengan salah satu support system-nya adalah nafkah.

Umar bin Khattab pernah menyampaikan bahwa kewajiban ayah kepada anak adalah memberi nama yang baik, memilihkan ibu yang baik, dan mengajarkan Al Qur’an.

Dalam beberapa hadits dijelaskan tentang sunnah suami untuk mencari nafkah, tetapi tidak dibahas pada Cabang Keimanan.

Membahas keluarga, maka dibagi menjadi tiga tahap yaitu  pra nikah, pada saat pernikahan, serta pasca nikah.
Pasca nikah dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu kewajiban suami istri serta kewajiban orang tua anak.

Permasalahan rumah tangga dapat merembet dan dapat berkembang sampai menjadi fatal.

Untuk pembahasan pranikah, maka aspek pertama adalah masalah kualifikasi pasangan.
Dalam Islam, kualifikasi pasangan ada 4 yaitu nasab (keturunan), wajah, harta, dan agama. Harta yang dimaksud bukan harta orang tua, tetapi harta dari calon suami / istri itu sendiri.
Yang diutamakan dalam pemilihan pasangan adalah agama.

Agama akan membantu dalam mengatasi berbagai dinamika dalam berkeluarga.
Keberagamaan bukan hanya dalam hal symbol, tetapi yang terpenting adalah ketaatan menjalankan hukum serta etika dan karakter.

Bila dicoba dikombinasikan antara kesalihan (kualifikasi agama) dengan kualifikasi yang lain, maka akan memberikan hasil yang baik, dalam keadaan positif maupun negatif. Istri salihah, dikombinasikan dengan kualifikasi apa pun akan baik, istri tidak salihah, dikombinasikan dengan kualifikasi apa pun akan buruk.

Kesalihan adalah kesanggupan untuk bertindak benar dalam berbagai situasi. Bertindak benar ketika dalam kekurangan, bertindak benar ketika marah, bertindak benar ketika dalam kecukupan, dan lain-lain.

Contoh kombinasi istri salihah dengan kualifikasi lain yang positif :
Salihah cantik, menyenangkan suami dan tetap dapat menempatkan diri dengan baik.
Salihah kaya, dapat membantu suami dan tetap menghormati kedudukan suami.
Salihah nasab baik, membanggakan suami dan tetap menghormati suami.
Salihah pintar, dapat bertukar pikiran dengan suami dan tetap menghormati pendapat suami.

Contoh kombinasi istri salihah dengan kualifikasi lain yang negatif:
Salihah wajah biasa, suami tenang, dan istri tidak banyak menuntut.
Salihah kurang mampu, sabar, tidak banyak keinginan, sudah terbiasa dalam kekurangan.
Salihah kurang pintar, tunduk dengan apa yang diarahkan suami.

Sebaliknya, contoh kombinasi istri tidak salihah dengan kualifikasi lain yang positif :
Tidak salihah cantik, akan memperlakukan suami dengan semena-mena. Suami pun tidak dapat berbuat apa-apa karena takut kehilangan.
Maka khusus untuk kualifikasi cantik, bila ada seorang laki-laki yang merasa harus memiliki istri yang cantik, maka pastikan ia juga salihah.
Tidak salihah kaya, akan memperbudak suami karena merasa kekayaan adalah miliknya.
Tidak salihah pintar, akan “ngelunjak” karena merasa lebih pintar dari suami.

Contoh kombinasi istri tidak salihah dengan kualifikasi lain yang negatif :
Tidak salihah miskin atau tidak salihah bodoh, menyulitkan suami dari berbagai aspek.

Maka istri tidak salihah akan menyulitkan suami dikombinasikan dengan kualifikasi apa pun.

Ada contoh kasus seseorang yang memiliki karir yang baik, namun ternyata setelah dicek kesehatannya, tingkat kolesterolnya cukup tinggi. Orang tersebut berhari-hari tidak bisa tidur karena khawatir dengan kondisi kesehatannya itu. Ketika diajak bicara, ternyata sebabnya adalah karena ia kurang dekat dengan Allah. Hidup memang menjadi serba rumit dan ruwet bila seseorang tidak salih.

Perbandingan ta’aruf dengan pacaran.
Apa bila dianalogikan dengan memilih produk, cara pemilihan yang terbaik adalah ketika emosi tidak terlibat. Sehingga bila kita akan membeli sesuatu, jangan membawa anak kecil, karena anak kecil akan sangat emosional.

Pada pacaran emosi terlibat, padahal kualifikasi belum terlihat secara jelas.
Pada ta’aruf kualifikasi dipilih dulu, baru kemudian emosi terlibat, yaitu ketika cinta jatuh ketika menentukan suka atau tidak suka pada saat khitbah.

Kembali dianalogikan dengan memilih produk, kita perlu melihat brosur terlebih dahulu. Begitu pula dengan proses ta’aruf, yang dilakukan dengan identifikasi kualifikasi terlebih dahulu. Penentuan suka atau tidak suka dilakukan ketika khitbah.
Bila kualifikasi sudah cocok, tetapi ternyata ketika khitbah tidak suka, maka dapat lebih mudah untuk dibatalkan.
Namun jika sudah terlanjur suka yang dilalui dengan metode pacaran, ketika ada kualifikasi yang tidak cocok, biasanya akan sulit untuk menentukan sikap karena sangat mudah untuk memberikan pembenaran.

Kembali dianalogikan dengan pemilihan barang. Barang dengan kualifikasi baik biasanya disimpan dengan baik dan tidak boleh disentuh. Sedangkan barang dengan kualifikasi kurang baik biasanya diletakkan di tempat terbuka, dapat dicoba berkali-kali sehingga akhirnya rusak walaupun tidak dibeli.

Maka pacaran sebetulnya menurunkan grade, karena bila dianalogikan dengan barang, statusnya seperti barang yang bisa dicoba dahulu sebelum dibeli. Padahal barang yang mahal biasanya hanya bisa dilihat dari brosur saja, jangankan menyentuh barang aslinya, melihat barang aslinya saja tidak bisa.

Ada contoh kasus ketika ada seorang Ayah yang tidak membolehkan anak perempuannya untuk pacaran, dan menyatakan bila ada laki-laki yang mendekati anak perempuannya, akan segera dinikahkan. Demikianlah yang selalu disampaikan oleh anak perempuannya itu kepada setiap laki-laki yang  mendekatinya, dan biasanya tidak ada yang berani mendekati. Sampai akhirnya ada yang datang, dan ternyata berani mendatangi ayahnya dan setuju untuk menikahi, dan ternyata memang memiliki kualifikasi yang baik.

Hikmah dari contoh kasus ini, dari sisi anak perempuan, harus dijaga sungguh-sungguh, bila ada yang mendekati harus menikah. Dari sisi laki-laki biasanya memang hanya yang benar-benar mampu yang berani untuk segera menikahi.

Maka sebetulnya proses pra nikah dengan ta’aruf dan khitbah ini sangat mirip dengan proses jual beli barang. Tahap pertama adalah pengecekan kualifikasi dengan proses ta’aruf. Bila merasa cocok, dilanjutkan dengan proses khitbah yaitu melihat barang, bila cocok bisa dilanjutkan dengan akad nikah.

Proses pengecekan kualifikasi atau ta’aruf secara teknis saat ini dilakukan dengan tukar menukar data dan informasi dari orang-orang sekitar calon tersebut. Dahulu biasanya dilakukan dengan ayah yang benar-benar mengikuti seluruh kegiatan calon menantunya dan memberikan penilaian langsung dari pengamatan itu. 

Proses ini akan dipermudah bila dapat dibangun lingkungan yang baik. Seperti bila ada pasar atau mal dengan barang yang sudah bisa dipastikan baik dan bermerek, maka proses pemilihan dapat dilakukan dengan lebih mudah, karena kualitasnya sudah dapat dipastikan baik. Di masa sahabat dan salafus salih, proses mencari pasangan sangat mudah. Karena lingkungan saat itu terjaga dengan sangat baik dan dapat dikatakan bahwa semua muslim memiliki  kualitas keislaman yang baik.

Saat ini lingkungan belum terbangun dengan baik, maka proses pencarian menjadi lama. Kita harus bekerja ekstra keras untuk memastikan kualifikasi. Karena ada kalanya yang terlihat salih dan salihah, bisa jadi memang benar-benar salih dan salihah, bisa juga setengah bahkan seperempat salih dan salihah.

Ada yang terlihat salih dengan sangat menjaga shalat, tetapi tidak menghargai pasangan. Ada yang berjuang sungguh-sungguh untuk dakwah, tetapi menelantarkan anak. Ada yang sangat menjaga pelaksanaan sunnah, tetapi tidak menghormati mertua.

Maka saat ini ta’aruf menjadi satu-satunya jalan untuk proses pra nikah. Dan tugas kita memastikan bahwa kita semua dan keluarga menjalankan proses ta’aruf ini.

Karena kegagalan menjalankan proses pra nikah ini, akan menghasilkan kualifikasi pasangan yang kurang baik, dan secara umum mereka yang tidak bertindak benar kepada Tuhannya, akan bertindak tidak benar juga pada pasangannya.

Saat ini terdapat fenomena ada pasangan di mana suami terlihat biasa, namun istrinya terlihat salihah. Hal ini dapat terjadi karena dua hal, yaitu memang dari awal istrinya salihah, atau tadinya sama-sama biasa, namun istri taubat terlebih dahulu. Dan hal kedua ini akhir-akhir ini sangat dimungkinkan karena banyak istri yang dilarang untuk kerja oleh suaminya karena suaminya takut istrinya diganggu orang lain di kantor, kemudian istri mengisi waktu dengan mengantar anak ke sekolah, yang ternyata diisi dengan pengajian.

Di sisi lain, suami juga senang dengan istri salihah, karena biasanya semahal-mahal biaya istri salihah tidak semahal biaya istri tidak salihah. Misalnya istri salihah lebih senang ke pengajian daripada ke mal, dan sebagainya.

Proses setelah ta’aruf adalah khitbah, yang bila dianalogikan dengan jual beli barang, adalah proses melihat barang yang akan dibeli. Kedua calon pasangan sama-sama melihat.

Mereka yang pro pacaran biasanya akan berkata : Bagaimana bisa kenal bila tanpa pacaran? Bukankah kalau sekedar tukar data saja bisa bohong? Lalu bagaimana kalau tidak cinta?

Jawabannya adalah : Islam tidak mungkin tidak manusiawi.
Memang ada mereka yang ekstrim, bahkan sampai mengharamkan cinta. Padahal ini mengabaikan sisi kemanusiaan. Mereka memandang bahwa pernikahan adalah bagian dari perjuangan dakwah, sehingga tidak diperlukan cinta. Padahal kasih sayang, manja, cinta adalah cinta basyari yang diperlukan oleh manusia. Ada hadits yang mengatakan bahwa : Nikahilah wanita yang banyak anaknya dan besar kasih sayang / cintanya. Rasulullah pun menyampaikan citanya kepada Khadijah.

Justru sebaiknya adalah setelah proses khitbah, saat itulah cinta dijatuhkan.
Kesalahan dari mereka yang  mengharamkan cinta pada pasangan, adalah karena ayat idelogi digunakan untuk muamalah. Sehingga beragama menjadi terlalu keras. Padahal agama seharusnya lembut dan nyaman dalam kebenaran.

Setelah khitbah dan kedua pasangan menyukai pasangan masing-masing, segeralah menikah setelah ada uangnya. Sebagaimana pada jual beli barang, jika telah cocok, maka bayarkan uangnya.
Mahar dapat dipandang sebagai DP, sedangkan sisa pembayarannya adalah seluruh hidup yang ditanggung nantinya oleh suami. Dan akan ada uang mut’ah bila nanti terjadi perpisahan.

Dalam penyampaian data tidak boleh ada kebohongan, harus dicari parameter atau kriteria yang mewakili seluruh data. Misalnya untuk  mobil, bila mesinnya baik, maka dapat disimpulkan bahwa mobilnya baik. Tidak perlu membongkar keseluruhan mobil, yang artinya sama saja merusak mobilnya.

Bila ada hal yang di luar normal, harus disampaikan.

Sebetulnya sifat seseorang dapat dipelajari dari wajah dan telapak tangannya, sehingga proses khitbah sebetulnya sudah cukup untuk mengenali sifat dan karakter calon pasangan. Karena wajah dan telapak tangan adalah representasi dari seseorang. Dari wajah dapat terlihat kecantikan, sifat, karakter, kemauan, bohong atau tidaknya, mata yang jujur atau tidak, sifat lembut dan tunduk atau tidak. Dari bahasa tubuh juga dapat diketahui karakter seseorang, misalnya dari cara memasuki ruangan dan cara duduk. Buku tentang ilmu mempelajari sifat manusia dari wajah dan telapak tangan ini ditulis oleh Fakhrur Rozi dalam bahasa Arab dan belum diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.


Maka ta’aruf dan khitbah adalah cara yang sangat efektif dan tidak merugikan salah satu pihak. Dari proses ini akan didapatkan pasangan yang sesuai kualifikasinya, karena bila kualifikasi kurang tepat, di masa pernikahan akan terjadi proses penataan yang terus menerus, tidak kunjung selesai. 

No comments: