Friday, February 18, 2011

Ketika Musim Madu Tiba (Bagian 2 dari 4 Tulisan)

Kita masuk ke pembahasan tentang masalah adil.

Ada ayat dalam Al Qur’an yaitu pada surat An Nisa 129 yang menyatakan bahwa ”Sesungguhnya kamu tidak akan sanggup berlaku adil di antara istri-istri kamu walaupun kamu sangat ingin berlaku demikian”.

Sebagian orang memaknai bahwa ayat ini ”bertentangan” dengan ayat 21 tadi, sehingga mereka menganggap bahwa Al Qur’an sendiri menentang poligami.

Namun, dari yang saya dengar tentang tafsir atas kedua ayat itu, terminologi adil dalam dua ayat tersebut sedikit berbeda.
Adil pada ayat 4, merujuk kepada adil secara fisik. Dalam hal ini adalah masalah pembagian harta dan waktu. Sehingga dalam hal ini, adil sangat bisa dihitung, dikuantifikasi, ditetapkan. Walaupun lebih jauh lagi, untuk masalah harta, bisa ada perbedaan pendapat apakah harus sama persis atau proporsional. Tetapi hal ini juga bisa disepakati.

Sedangkan adil pada ayat 129, merujuk kepada adil dalam hati. Dalam hal ini memang sangat sulit untuk dilakukan, karena kecenderungan hati adalah hal yang sering kali sulit untuk dikendalikan.

Kedua, yaitu adanya janji surga bagi perempuan yang bersedia dimadu.

Saya masih mencoba mencari, apakah ada landasan yang sahih untuk pernyataan ini.

Namun, jika hal ini benar, maka ini adalah kesempatan emas yang sangat sayang untuk disia-siakan. Bagaimana tidak. Dengan berbagai amal yang sudah kita lakukan, kita sama sekali tidak tahu pasti, apakah Allah meridhoinya, dan akan memasukkan kita ke surga-Nya.

”Hanya” dengan merelakan suami kita menikah lagi, kita diberikan surga. Surga abadi, sampai akhir zaman. Apalah artinya dimadu ”sebentar” di dunia, dibandingkan dengan indahnya surga yang abadi. Dan bisa jadi, kehidupan dimadu itu tidak separah yang kita bayangkan.

Ketiga, berkaitan dengan prinsip kepemilikan.

Harus kita yakini bahwa segala sesuatu yang Allah berikan pada kita adalah sekedar titipan. Bukan benar-benar milik kita. Apa yang menjadi milik kita di satu waktu adalah baju yang kita pakai, makanan yang telah kita makan, dan tempat kita bernaung saat itu. (Saya harus cek lagi, landasan dari pernyataan ini).

Kapan pun kita harus siap jika ”milik” kita itu diambil oleh Allah. Kalau diambil saja siap, harusnya sekedar ”dibagi” ataupun ”dipinjam”, kita juga siap. Kalau untuk barang kita siap, harusnya untuk makhluk ”suami” pun kita siap.

Sementara sampai di sini dulu, bersambung ke tulisan berikutnya.

No comments: