Ceramah Dzuhur disampaikan oleh Ustadz
Syaiful Bahri, Lc.
Wajib adalah
hal yang dituntut secara tegas oleh Allah untuk dilakukan oleh manusia. Maka
hal yang bersifat Wajib harus dilakukan, pelakunya mendapat pahala, dan yang
tidak melakukan menjadi berdosa.
Pembagian Wajib berdasarkan
Waktu :
Pertama, Muwassa’
yang berasal dari kata Waasi’ yang artinya luas.
Muwassa’ artinya waktunya
terbentang luas. Rentang waktu yang Allah berikan
lebih luas daripada waktu untuk melaksanakan ibadah tersebut. Sehingga yang
dalam waktu yang Allah berikan, seseorang dapat mengerjakan ibadah lain yang
sejenis.
Misalnya
shalat, bersifat muwassa’.
Shalat
dzuhur dapat dikerjakan sejak adzan dzuhur sampai dengan sekitar jam 3.
Di
dalam waktu shalat dzuhur, seseorang dapat melakukan shalat lain misalnya
shalat gerhana, shalat syukrul wudhu, shalat istisqa, dll.
Contoh lain adalah Qadha Puasa Ramadhan bersifat muwassa’, dapat dilakukan sejak syawal sampai sya’ban tahun berikutnya.
Contoh lain adalah Qadha Puasa Ramadhan bersifat muwassa’, dapat dilakukan sejak syawal sampai sya’ban tahun berikutnya.
Kedua, Mudhayyaf,
yang berasal dari kata Dhayyifun, yang artinya sempit.
Mudhayyaf
artinya rentang waktunya sempit. Rentang waktu yang diberikan dan waktu untuk
menjalankan ibadahnya sama panjangnya. Sehingga dalam waktu tersebut tidak bisa
dilakukan ibadah lain, hanya bisa melakukan ibadah itu saja.
Misalnya Puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan seseorang hanya bisa melaksanakan puasa Ramadhan, tidak bisa melaksanakan puasa lainnya.
Misalnya Puasa Ramadhan. Di bulan Ramadhan seseorang hanya bisa melaksanakan puasa Ramadhan, tidak bisa melaksanakan puasa lainnya.
Dampak
dari pembagian hukum wajib berdasarkan waktu adalah pada pentingnya niat secara
spesifik.
Contoh
kasus :
Bila
seseorang pada bulan Ramadhan berpuasa tanpa menyebutkan niat secara spesifik,
sahkah puasanya?
Puasanya
sah, karena Puasa Ramadhan bersifat Mudhayyaf, di bulan Ramadhan hanya bisa
dilakukan Puasa Ramadhan, maka dengan niat yang tidak spesifik, akan dianggap
sebagai Puasa Ramadhan.
Ketiga, Dzusyibhain, yaitu bersifat Muwassa’ tetapi juga Mudhayyaf.
Ketiga, Dzusyibhain, yaitu bersifat Muwassa’ tetapi juga Mudhayyaf.
Contohnya Ibadah Haji.
Muwassa’ karena Wajib dari Allah untuk waktu yang panjang sejak Syawal sampai Dzulhijjah, sekitar 3 bulanan.
Namun inti Ibadah Haji ada di tanggal 8-13 Dzulhijjah.
Efek Hukum Fiqih dari adanya Perbedaan Wajib dari Sisi Waktu
Pertama, Wajibkah seseorang untuk menentukan niat tertentu untuk suatu ibadah, atau cukup berniat secara umum?
Untuk Shalat, karena Shalat bersifat Muwassa’, maka melaksanakan wajib berniat dan menentukan niatnya, karena dalam waktu tersebut dapat dilakukan ibadah shalat lainnya.
Dan
jika sudah terlanjur shalat padahal belum menetapkan niat secara spesifik, maka
shalat harus diulang.
Bila
bersifat Mudhayyaf, maka niat dapat dilakukan secara umum.
Untuk
Puasa Senin Kamis, Daud, Ayyamul Bidh, walaupun sunnah tetapi bersifat
Muwassa’, maka niat harus spesifik.
Dengan pembedaan ibadah menjadi bersifat Muwassa’ maupun Mudhayyaf, menyebabkan suatu ibadah dapat diberikan 2 pahala.
Dengan pembedaan ibadah menjadi bersifat Muwassa’ maupun Mudhayyaf, menyebabkan suatu ibadah dapat diberikan 2 pahala.
Misalnya
untuk Shalat yang bersifat Muwassa’, bila seseorang melakukan shalat di awal
waktu, maka ia mendapatkan pahala shalat dzuhur dan pahala shalat di awal
waktu.
Bila
ia tidak memiliki udzur syar’i namun menunda shalat dzuhur hingga jam 3 sore,
maka dipertanyakan kelalaiannya, baginya dosa atas kelalaian tersebut.
Puasa Ramadhan bersifat Mudhayyaf, bagi yang melaksanakan mendapatkan 2 pahala yaitu pahala puasa Ramadhan dan fadhilah kemuliaan bulan Ramadhan.
Puasa Ramadhan bersifat Mudhayyaf, bagi yang melaksanakan mendapatkan 2 pahala yaitu pahala puasa Ramadhan dan fadhilah kemuliaan bulan Ramadhan.
Bila
pada bulan Ramadhan seseorang berniat untuk puasa nadzar, apakah puasanya sah?
Puasanya tidak sah, karena puasa yang dibolehkan dalam bulan Ramadhan hanya puasa Ramadhan. Dan niat puasa nadzar-nya tidak bisa diubah menjadi puasa Ramadhan.
Puasanya tidak sah, karena puasa yang dibolehkan dalam bulan Ramadhan hanya puasa Ramadhan. Dan niat puasa nadzar-nya tidak bisa diubah menjadi puasa Ramadhan.
Kedua, bila seseorang
meninggalkan kewajiban tanpa udzur kemudian wafat sebelum melaksanakan
kewajiban tersebut, apakah ia berdosa?
Misalnya seseorang berniat shalat asar di rumah, namun di perjalanan ke rumah ia mengalami kecelakaan lalu wafat.
Dari
segi waktu, karena shalat bersifat Muwassa’, maka ia memang diperkenankan untuk
menunda shalat karena waktunya memang masih ada, dan ia memang sudah berniat
untuk shalat. Sehingga ia tidak berdosa karena tidak shalat.
Namun
dosa baginya karena kelalaian menunda shalat yang sebenarnya bisa dilakukan di
awal waktu.
Misalnya
seseorang belum meng-qadha puasa Ramadhan, lalu sebelum meng-qadha ia wafat.
Apakah berdosa? Apakah wajib dibadalkan?
Meng-qadha puasa bersifat Muwassa’, sehingga ia tidak berdosa bila menundanya, selama ia memang berniat untuk melakukannya. Bila ia wafat, maka ia berhutang kepada Allah. Dosanya bukan karena tidak meng-qadha, melainkan karena kelalaiannya menunda ibadah yang bisa ia lakukan segera.
Apakah perlu dibadalkan?
Meng-qadha puasa bersifat Muwassa’, sehingga ia tidak berdosa bila menundanya, selama ia memang berniat untuk melakukannya. Bila ia wafat, maka ia berhutang kepada Allah. Dosanya bukan karena tidak meng-qadha, melainkan karena kelalaiannya menunda ibadah yang bisa ia lakukan segera.
Apakah perlu dibadalkan?
Sebagian
ulama berpendapat bahwa karena waktunya panjang, dan ia sebenarnya sudah
berniat, maka ia tidak berdosa karena tidak melaksanakan, sehingga tidak perlu dibayarkan.
Ada
hadits yang menyatakan bahwa bila seseorang mati dan punya hutang puasa
hendaklah walinya membayarkan.
Yang
dimaksud dalam hadits ini adalah hutang nadzar.
Sebab
puasa Ramadhan diwajibkan oleh Allah, bila tidak dilaksanakan hutangnya
kepada Allah.
Sedangkan
puasa nadzar diwajibkan oleh orang itu sendiri, hutang inilah yang harus
dibadalkan walinya.
Shalat tidak dibadalkan karena bersifat Muwassa’, luas waktunya.
Bagaimana dengan membadalkan haji?
Ibadah haji bersifat kedua-duanya yaitu Muwassa juga Mudhayyaf.
Shalat tidak dibadalkan karena bersifat Muwassa’, luas waktunya.
Bagaimana dengan membadalkan haji?
Ibadah haji bersifat kedua-duanya yaitu Muwassa juga Mudhayyaf.
Bila
pada suatu waktu seseorang sudah memiliki kecukupan harta dan ilmu, maka pada
waktu tersebut sudah jatuh baginya kewajiban haji. Bila hingga wafat ia belum
sempat menunaikan ibadah haji, maka dibadalkan oleh keluarganya dengan
mengambil dari harta yang ditinggalkannya.
Bila
seseorang seumur hidupnya tidak mampu, maka tidak jatuh baginya kewajiban untuk
berhaji, maka tidak perlu dibadalkan.
No comments:
Post a Comment