Thursday, September 17, 2015

Apa Hakikat Qurban?

Catatan ini dari Kajian yang disampaikan oleh Ust. Ahmad Bisyri, MA, tentang beberapa pertanyaan seputar qurban, yang saya bagi-bagi menjadi beberapa topik.

Dari iklan dan sosialisasi yang disampaikan oleh penyelenggara qurban, sebagian masyarakat berpandangan bahwa hakikat qurban adalah berbagi.

Bila merujuk ke Al Hajj 36, Allah berfirman :
Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syi'ar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri. Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah Kami tundukkan (unta-unta itu) untukmu, agar kamu bersyukur.

Maka dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa hewan-hewan yang Allah ciptakan adalah media ibadah. Hakikat ibadahnya sebagaimana yang disampaikan selanjutnya dalam ayat tersebut, yaitu dengan menyebutkan keagungan Allah pada saat penyembelihan.

Setelah itu dijelaskan bahwa pequrban dapat memakan hewan qurbannya.
Dan baru setelah itu penjelasan tentang pembagian kepada orang lain. Dalam ayat tersebut dikatakan “orang lain”, bukan “orang miskin”.

Selanjutnya dalam ayat tersebut disampaikan bahwa pembagian kepada yang tidak meminta ataupun tidak meminta, artinya baik kepada orang yang mampu (kaya) ataupun yang miskin.

Syariat qurban dalam pembagian tidak sama dengan syariat zakat.

Bila hakikat qurban adalah membagi daging, maka kita tidak perlu membeli hewan hidup. Cukup membeli daging, atau bahkan kornet, sosis, ataupun bakso, dan kemudian membagikannya.

Dalam hadits disebutkan bahwa “Tidak ada pekerjaan yang paling dicintai Allah dari hamba-Nya pada hari Nahar (Idul Adha dan tasyrik) selain menumpahkan darah (menyembelih hewan qurban)”.

Maka tidak perlu transfer untuk ke pelosok, tidak perlu ada alasan bahwa bahwa di kota besar sudah banyak daging dan yang lebih afdhal adalah mengirimkan ke pelosok.

Hakikat berqurban adalah melakukan penyembelihan, dan yang menyembelih adalah pequrban-nya.

Rasulullah di Madinah selama 13 tahun, dan syariat qurban diturunkan pada tahun ke-3 di Madinah. Maka selama 10 tahun Rasulullah berqurban dan melakukan sendiri penyembelihan hewan qurban beliau.

Ada orang yang mengatakan bahwa tidak tega atau takut untuk melakukan penyembelihan.
Bila tidak tega, mari kita kembali kepada syariat awal qurban yaitu diturunkan kepada Nabi Ibrahim, yang diperintahkan untuk menyembelih anaknya sendiri, yaitu Ismail. Pada saat itu beliau tetap melaksanakan perintah Allah itu. Bila dibandingkan dengan kondisi Nabi Ibrahim tersebut, maka menyembelih hewan qurban seharusnya jauh lebih mudah.

Maka rasa tidak tega itu sebenarnya gangguan syaitan. Karena qurban adalah ibadah, maka memang syaitan ikut mengganggu.

Perlu dipelajari lebih lanjut, apa yang menyebabkan tidak tega? Apakah dipandang bahwa pequrban melakukan penyiksaan, pembantaian, atau perbuatan keji pada hewan qurban?

Allah mewajibkan manusia untuk berbuat ihsan. Ihsan bukan berarti tidak menyembelih hewan qurban ataupun tidak membunuh musuh yang menyerang Islam. Tetapi menyembelih dan membunuh dengan ihsan.

Ihsan dalam menyembelih antara lain menajamkan mata pisau.

Dalam sebuah penelitian yang membandingkan rasa sakit yang dialami oleh hewan yang sedang disembelih, satu hewan diberikan obat bius sebelum disembelih, yang satu lagi disembelih tanpa dibius, ternyata yang dibius terlebih dahulu malah yang lebih merasa sakit.

Ajaran dari Rasulullah kita harus ikuti dan yakini kebenarannya, namun bila ada hasil penelitian akan lebih menambah keyakinan.

Peran panitia qurban adalah memfasilitasi, dengan memanggil satu per satu pequrban sesuai dengan kambing yang sudah dipesan, dan mempersilakan pequrban menyembelih sendiri qurbannya.

Ustadz juga seharusnya tidak mewakili menyembelihkan, tetapi jelaskan bahwa seharusnya pequrban menyembelih sendiri hewan qurbannya.

Dan yang diperintahkan untuk menyembelih qurban adalah laki-laki (kepala keluarga), bukan perempuan. Maka seharusnya secara psikologis laki-laki tidak takut. 

Berbagi daging qurban pada hakikatnya adalah sedekah biasa.

Menyembelih qurban lah yang berbeda pahalanya jika dilaksanakan pada Idul Adha, dengan hitungan sebanyak bulu pada hewan qurban. 

No comments: