Sedih dan gembira itu sebenarnya reaksi atas selisih antara ekspektasi dan realisasi. Jika realisasi di bawah ekspektasi, maka kita akan sedih. Jika realisasi di atas ekspektasi, maka kita akan gembira.
Faktanya, realisasi tidak dapat dikendalikan. Realisasi terjadi di luar kontrol kita, sesuai dengan hukum sebab akibat yang terjadi berkaitan dengan realisasi tersebut.
Bagaimana dengan ekspektasi?
Seringkali kita anggap ekspektasi juga tidak bisa kita kendalikan. Ekspektasi kita anggap terjadi begitu saja, pada saat kita melakukan suatu aksi.
Apa benar demikian?
Semestinya, idealnya, tidak. Semestinya kita bisa mengendalikan ekspektasi.
Kapan ekspektasi dikendalikan?
Bisa segera setelah kita melakukan aksi. Bisa ketika kita menerima realisasi.
Jika dilakukan segera setelah kita melakukan aksi, maka kita akan lebih siap menerima realisasi paling minimal sekalipun. Maka kita tidak akan perlu bersedih.
Jika dilakukan pada saat kita menerima realisasi, maka sesaat kita sempat bersedih. Tetapi setelah dilakukan setting ulang ekspektasi, kita bisa tidak lagi bersedih. Menjadi netral. Bahkan bisa menjadi gembira.
Lalu di mana kita meletakkan syukur dan sabar?
Dengan manajemen ekspektasi ini, syukur dan sabar bisa lebih mudah kita tempatkan.
Jika manajemen ekspektasi sudah dilakukan segera setelah kita melakukan aksi, sehingga kita siap dengan realisasi seminimal apapun, maka kita pada posisi akan selalu bersyukur dengan kondisi apapun yang kita terima pada realisasi.
Jika manajemen ekspektasi dilakukan setelah kita menerima realisasi, maka di sini peran sabar. Dengan kesabaran kita dapat melakukan setting ulang ekspektasi, mencoba menghitung ulang perbandingannya dengan realisasi, dan terus mengulang loop ini sampai hasilnya positif. Setelah positif, maka kita bisa bersyukur.
Di mana letak ikhlas?
Dengan konstelasi ini, maka letak ikhlas adalah ketika kita berusaha melakukan manajemen ekspektasi. Bahwa ekspektasi kita bukan pada hasil dari aksi. Bahwa aksi itulah yang justru menjadi point bagi kita. Bahwa hanya Dia yang kita jadikan sasaran.
Sambutan anak, penerimaan suami, rekognisi atasan, jika itu yang dijadikan indikator, maka bersiaplah untuk bersedih. Karena itu di luar kontrol kita.
Dengan ikhlas, dengan manajemen ekspektasi yang minimal kepada hasil dari aksi, dengan memusatkan daya kepada pengejawantahan proses dan perwujudan aksi, maka hasil menjadi tidak lagi terlalu berarti. Maka sedih tidak akan terjadi. Maka syukur akan selalu menghiasi hati.
Yang belum masuk adalah, di mana letak harapan, pemikiran positif, yang bagaimanapun adalah doa?Yang justru bisa men-drive realisasi?Ini masih harus dirumuskan. Mungkin pada tulisan berikutnya. Mudah-mudahan.
Ditulis dengan cepat ketika pulang malam dari kantor di tengah kemacetan Jakarta, 2 Juni 2010
No comments:
Post a Comment