Umar juga memberikan kebebasan, selama berada dalam koridor
yang telah ditetapkan. Umar sangat menghargai pendapat semua orang. Suatu
ketika Umar memberikan peraturan yang membatasi besar mahar, agar tidak terlalu
mahal. Seorang Ibu berkata padanya, “Apakah kau akan membatasi sesuatu yang
Allah tidak batasi?” Umar menghargai pendapat Ibu tersebut, kemudian dilakukan
pembahasan tentang hal itu, yang ternyata pendapat Ibu tersebut memang benar.
Peraturan itu pun dibatalkan oleh Umar.
Kebebasan juga diberikan bagi pemeluk agama lain. Karena
prinsip Islam adalah “laa iqraha fiddiin”, tidak ada paksaan dalam beragama,
karena sudah jelas perbedaan antara petunjuk dan kesesatan. Ketika Islam
menguasai suatu wilayah baru, diberikan kebebasan, tidak ada pemaksaan untuk
masuk Islam. Dalam perang, tidak boleh menghancurkan tempat ibadah, tidak boleh
membunuh anak kecil dan orang tua. Yang
diperangi hanyalah yang memerangi.
Pada perang saat ini, justru korban terbanyak adalah
masyarakat sipil, dengan trauma yang berkepanjangan.
Ustadz Muqadam baru saja kembali dari Gaza, Palestina.
Beliau menceritakan betapa sulitnya kondisi kehidupan masyarakat di sana.
Listrik hanya ada 30%, hanya mengalir 8jam dalam sehari. Beliau mengunjungi
sebuah rumah sakit bantuan dari Eropa, di dalamnya ada ratusn korban perang,
dan mereka bukan tentara. Seorang pimpinan lembaga kewanitaan, Ir. Ibtisam,
menceritakan tentang akibat bom fosfor, yang menghanguskan korban, tetapi juga
berdampak bagi mereka yang menyelamatkan, seperti ibu tersebut yang kemudian
menderita kanker dan 5 bulan sekali harus ke Turki untuk mengecek kankernya.
Di zaman Islam dahulu, peperangan hanya berlangsung singkat,
dengan pihak yang berperang saja, dan rakyat sipil tetap dapat menjalani kehidupan
seperti biasa. Setelah perang berakhir, keesokan harinya biasanya masyarakat
menyatakan dirinya masuk Islam.
Kaum kafir dzimmi dilindungi Allah dan Rasul, berkedudukan
sama bahkan dengan pemimpin Islam. Dalam suatu kisah, Ali bin Abi Thalib sedang
berperang, dan baju besinya terjatuh, lalu diambil oleh seorang Yahudi. Ali bin
Abi Thalib meminta baju tersebut kepadanya, dan menuduhnya mengambil baju itu.
Orang Yahudi ini tidak menerima tuduhan itu, dan melaporkan Ali kepada Hakim
Syuraih. Hakim Syuraih bertanya kepada
Ali, “Apakah engkau memiliki saksi bahwa ia yang mengambil?” Ali menjawab,
“Tidak ada.” Maka hakim pun memutuskan bahwa Ali kalah. Selesai persidangan,
orang Yahudi tersebut berkata, “Sungguh agama yang adil, saya mengakui bahwa
memang saya yang mengambil, dan saya masuk Islam.”
Tulisan lain yang berkaitan :
Tulisan lain yang berkaitan :
No comments:
Post a Comment