Tuesday, July 23, 2013

Ceramah Ramadan 1434 Hari 1 - Ramadhan bersama Rasulullah

Ceramah Ramadhan hari pertama disampaikan oleh Ustadz Salim A. Fillah, dengan topik Ramadhan bersama Rasulullah.

Ceramah diawali dengan penjelasan tentang kesehatan badan, ruh, dan jiwa. Kesehatan badan ada pada sedikitnya makan, kesehatan ruh ada pada sedikitnya maksiat dan dosa, serta kesehatan jiwa ada pada sedikitnya bicara.

Puasa dan ramadhan, adalah amal untuk mensedikitkan, baik makan, bicara, maupun maksiat dan dosa, yang berdampak positif pada kesehatan badan, jiwa, dan ruh, sehingga akan menjadikan produktivitas yang tinggi.

Sedikit makan bermanfaat bagi kondisi ruhiyah. Pada saat puasa kemesraan dengan Allah akan lebih maksimal.

Dalam sejarah pensyariatan puasa, awalnya yang diwajibkan adalah puasa ayyamul bidh, sama dengan puasa yang dikerjakan umat terdahulu. Ayyamul bidh ini lah yang dimaksud dengan ayyamum ma’dudat di Al Baqarah ayat 184. Karena di awal, syiar adalah menyerupai umat terdahulu, dengan harapan mereka akan mau masuk Islam. Selain puasa, kiblat pun menghadap ke Masjidil Aqsha, baju disamakan modelnya, bahkan sisiran rambut.

Berkaitan dengan kiblat, sedemikian cintanya Rasulullah pada ka’bah di Mekkah, ketika kiblat masih mengarah ke Masjidil Aqsha dan Rasulullah berada di Mekkah, Rasulullah sering shalat dari sebelah selatan ka’bah, agar ketika menghadap ke Masjidil Aqsha, juga menghadap ke ka’bah. Namun hal ini tidak dapat lagi dilakukan ketika Rasulullah ketika sudah di Madinah, karena ka’bah ada di selatan, sedangkan Masjidil Aqsha di utara (mohon maaf kalau utara-selatannya kebalik2 J)

Namun kemudian Allah perintahkan untuk menegakkan syiar yang berbeda, Allah perintahkan untuk menyelisihi umat terdahulu. Kiblat pun dipindahkan ke Mekkah dan diwajibkan untuk berpuasa Ramadhan.

Syariat puasa sebelumnya, puasa dimulai sejak bangun dan diakhiri ketika waktu isya. Maka ada kalanya terjadi puasa yang tersambung sampai tiga hari. Yaitu ketika seseorang puasa di hari pertama, dan tertidur setelah maghrib, lalu terbangun setelah isya. Terbangunnya itu dianggap sebagai awal puasa hari kedua. Jika hal ini terjadi lagi di hari kedua, maka puasa tersambung lagi sampai hari ketiga.

Maka ketika di ayat 185 puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan selama 30 hari, para sahabat “galau” membayangkan kemungkinan tersambung sampai 30 hari.

Mereka pun bertanya, “Di mana Allah? Apakah Allah jauh atau dekat? Ketika aku bicara dengan Allah, apakah aku harus berbisik atau berteriak? Mengapa membuat syariat yang sedemikian berat?”

Maka di ayat 186 dijelaskan bahwa Allah dekat. Bahkan secara bahasa, ayat diawali dengan “Dan apabila hamba-Ku bertanya..” maka seharusnya lanjutannya adalah “faqul, katakanlah (wahai Muhammad)..” namun dalam ayat ini langsung dikatakan “fa inni qarib, maka katakan bahwa aku dekat”, menandakan Allah benar-benar dekat, bahkan Rasulullah sebagai perantara pun ditiadakan dalam ayat ini.

Kemesraan dengan Allah ditentukan oleh makanan. Begitu pentingnya makanan dan dampaknya terhadap dikabulkannya doa kita, dapat dilihat pada dua kisah berikut.

Ada kisah tentang Saad bin Abi Waqash, ketika Rasulullah berkata, “Semoga ada yang menjaga.” Saad pun mengajukan diri sebagai penjaga. Dan selain menjaga malam, beliau memberikan tambahan untuk Rasulullah, yaitu menyediakan bejana untuk Rasulullah berwudhu untuk qiyamul lail.

Ketika malam tiba dan Rasulullah akan melakukan qiyamul lail, Saad pun memberikan bejana yang sudah disiapkannya. Rasulullah sangat gembira dan menepuk pundak Saad, dan berkata, “Mintalah sesuatu, akan aku doakan kepada Allah.”

Kita paling mentok akan minta surga. Saad punya permintaan yang luar biasa. Beliau menjawab, “Doakanlah agar semua doaku mustajab.” Rasulullah pun tersenyum dan menjawab, “Bantulah dengan memperbaiki makananmu.”

Ada seorang lelaki musafir yang sedang berpuasa, dan dalam kondisi terdzalimi, dan ia menengadahkan tangan dan berkata “ya rabb, ya rabb.” Keempat kondisi tersebut adalah kondisi mustajabah, yang membuat doa menjadi mustajab. Khusus untuk kondisi keempat, Allah malu jika tidak memberikan apa yang diminta seorang hamba yang menengadahkan tangan dan berkata “ya rabb, ya rabb.”

Namun doa orang tersebut tidak diterima. Bagaimana doanya bisa diterima, sedangkan makanan dan pakaiannya haram.

Makanan haram mencegah kita dari kemesraan dgn Allah. Makanan tersebut tumbuh dalam tubuh, mudah bergetar dengan frekuensi maksiat.

Maka selama bulan Ramadhan tugas kita adalah menyedikitkan makan. Karena ketika yang halal pun kita tidak suka, maka seharusnya, apa lagi yang haram dan yang syubhat.
Ketika puasa kita sedemikian takuuuut untuk batal. Apakah setakut itu kita dengan barang yang haram dan syubhat?

Kita pun harus berhati-hati soal rezeki. Rezeki sudah tertulis, sudah dijamin, bahkan tertulis 2 kali. Tidak akan tertukar, tidak akan salah. Rezeki bukan soal kita memiliki apa, tetapi soal bagaimana cara kita menerimanya, dan bagaimana cara kita menggunakannya.

Walaupun kita adalah pegawai kantor yang menerima gaji dengan jumlah yang tertentu, sering kali kita menjadi tidak lagi bertawakkal kepada Allah. Kita sering keliru dan mentawakkalkan rezeki kepada angka-angka gaji itu. Padahal rezeki akan datang dari arah yang tidak terduga-duga. Dan kita tidak perlu mengorbankan ibadah untuk mengejar rezeki.

Para sahabat sangat bersemangat menjalankan ibadah.

Seorang sahabat pernah berkata, “Yang aku khawatirkan adalah siang yang panas tanpa kesejukan puasa dan malam dingin tanpa kehangatan tahajjud.”

Sahabat tidak mengejar lailatul qadar karena iming-iming berlipatgandanya pahala. Namun lebih karena memang bersemangat menjalankan ibadah.

Imam Ghazali pernah menjelaskan tentang shalat khusyu. Menurut Imam Ghazali, tanda shalat khusyu adalah jika tercegah keji munkar sampai shalat berikutnya.

Seseorang akan mati dengan yang biasa dilakukan selama hidupnya. Amal yang dicintai Allah walaupun sedikit adalah yang sering dan terbiasa dilakukan. Dengan terbiasa, mudah untuk melatih ikhlas, dan kita akan immun terhadap komentar dan pujian. Dan di akhir hidup kita, kita akan mati ketika mengamalkan kebiasaan tersebut.

Berkaitan dengan profesi menulis, Ustadz menjelaskan motivasi menulis, yaitu kita harus bisa menjawab dahulu 3 pertanyaan berikut, yaitu
Mengapa menulis?
Mengapa harus ditulis?
Mengapa saya yang harus menulis?


Jika kita pernah makan yang haram maka ada 3 hal yang dapat dilakukan yaitu taubat nasuha, melakukan amal baik untuk menjadi kompensasi, dan melakukan puasa. Puasa dapat membakar hal yang haram, sehingga tubuh kita bersih dari yang haram.

No comments: