Ceramah
diawali dengan penjelasan tentang kesehatan badan, ruh, dan jiwa. Kesehatan
badan ada pada sedikitnya makan, kesehatan ruh ada pada sedikitnya maksiat dan
dosa, serta kesehatan jiwa ada pada sedikitnya bicara.
Puasa
dan ramadhan, adalah amal untuk mensedikitkan, baik makan, bicara, maupun
maksiat dan dosa, yang berdampak positif pada kesehatan badan, jiwa, dan ruh,
sehingga akan menjadikan produktivitas yang tinggi.
Sedikit
makan bermanfaat bagi kondisi ruhiyah. Pada saat puasa kemesraan dengan Allah
akan lebih maksimal.
Dalam
sejarah pensyariatan puasa, awalnya yang diwajibkan adalah puasa ayyamul bidh,
sama dengan puasa yang dikerjakan umat terdahulu. Ayyamul bidh ini lah yang
dimaksud dengan ayyamum ma’dudat di Al Baqarah ayat 184. Karena di awal, syiar
adalah menyerupai umat terdahulu, dengan harapan mereka akan mau masuk Islam.
Selain puasa, kiblat pun menghadap ke Masjidil Aqsha, baju disamakan modelnya,
bahkan sisiran rambut.
Berkaitan
dengan kiblat, sedemikian cintanya Rasulullah pada ka’bah di Mekkah, ketika
kiblat masih mengarah ke Masjidil Aqsha dan Rasulullah berada di Mekkah,
Rasulullah sering shalat dari sebelah selatan ka’bah, agar ketika menghadap ke
Masjidil Aqsha, juga menghadap ke ka’bah. Namun hal ini tidak dapat lagi
dilakukan ketika Rasulullah ketika sudah di Madinah, karena ka’bah ada di
selatan, sedangkan Masjidil Aqsha di utara (mohon maaf kalau utara-selatannya
kebalik2 J)
Namun
kemudian Allah perintahkan untuk menegakkan syiar yang berbeda, Allah
perintahkan untuk menyelisihi umat terdahulu. Kiblat pun dipindahkan ke Mekkah
dan diwajibkan untuk berpuasa Ramadhan.
Syariat
puasa sebelumnya, puasa dimulai sejak bangun dan diakhiri ketika waktu isya.
Maka ada kalanya terjadi puasa yang tersambung sampai tiga hari. Yaitu ketika
seseorang puasa di hari pertama, dan tertidur setelah maghrib, lalu terbangun
setelah isya. Terbangunnya itu dianggap sebagai awal puasa hari kedua. Jika hal
ini terjadi lagi di hari kedua, maka puasa tersambung lagi sampai hari ketiga.
Maka
ketika di ayat 185 puasa diwajibkan pada bulan Ramadhan selama 30 hari, para
sahabat “galau” membayangkan kemungkinan tersambung sampai 30 hari.
Mereka
pun bertanya, “Di mana Allah? Apakah Allah jauh atau dekat? Ketika aku bicara
dengan Allah, apakah aku harus berbisik atau berteriak? Mengapa membuat syariat
yang sedemikian berat?”
Maka
di ayat 186 dijelaskan bahwa Allah dekat. Bahkan secara bahasa, ayat diawali
dengan “Dan apabila hamba-Ku bertanya..” maka seharusnya lanjutannya adalah
“faqul, katakanlah (wahai Muhammad)..” namun dalam ayat ini langsung dikatakan
“fa inni qarib, maka katakan bahwa aku dekat”, menandakan Allah benar-benar
dekat, bahkan Rasulullah sebagai perantara pun ditiadakan dalam ayat ini.
Kemesraan
dengan Allah ditentukan oleh makanan. Begitu pentingnya makanan dan dampaknya
terhadap dikabulkannya doa kita, dapat dilihat pada dua kisah berikut.
Ada
kisah tentang Saad bin Abi Waqash, ketika Rasulullah berkata, “Semoga ada yang
menjaga.” Saad pun mengajukan diri sebagai penjaga. Dan selain menjaga malam,
beliau memberikan tambahan untuk Rasulullah, yaitu menyediakan bejana untuk
Rasulullah berwudhu untuk qiyamul lail.
Ketika
malam tiba dan Rasulullah akan melakukan qiyamul lail, Saad pun memberikan
bejana yang sudah disiapkannya. Rasulullah sangat gembira dan menepuk pundak
Saad, dan berkata, “Mintalah sesuatu, akan aku doakan kepada Allah.”
Kita
paling mentok akan minta surga. Saad punya permintaan yang luar biasa. Beliau
menjawab, “Doakanlah agar semua doaku mustajab.” Rasulullah pun tersenyum dan
menjawab, “Bantulah dengan memperbaiki makananmu.”
Ada
seorang lelaki musafir yang sedang berpuasa, dan dalam kondisi terdzalimi, dan
ia menengadahkan tangan dan berkata “ya rabb, ya rabb.” Keempat kondisi
tersebut adalah kondisi mustajabah, yang membuat doa menjadi mustajab. Khusus
untuk kondisi keempat, Allah malu jika tidak memberikan apa yang diminta
seorang hamba yang menengadahkan tangan dan berkata “ya rabb, ya rabb.”
Namun
doa orang tersebut tidak diterima. Bagaimana doanya bisa diterima, sedangkan
makanan dan pakaiannya haram.
Makanan
haram mencegah kita dari kemesraan dgn Allah. Makanan tersebut tumbuh dalam tubuh,
mudah bergetar dengan frekuensi maksiat.
Maka
selama bulan Ramadhan tugas kita adalah menyedikitkan makan. Karena ketika yang
halal pun kita tidak suka, maka seharusnya, apa lagi yang haram dan yang
syubhat.
Ketika
puasa kita sedemikian takuuuut untuk batal. Apakah setakut itu kita dengan
barang yang haram dan syubhat?
Kita
pun harus berhati-hati soal rezeki. Rezeki sudah tertulis, sudah dijamin,
bahkan tertulis 2 kali. Tidak akan tertukar, tidak akan salah. Rezeki bukan
soal kita memiliki apa, tetapi soal bagaimana cara kita menerimanya, dan
bagaimana cara kita menggunakannya.
Walaupun
kita adalah pegawai kantor yang menerima gaji dengan jumlah yang tertentu,
sering kali kita menjadi tidak lagi bertawakkal kepada Allah. Kita sering
keliru dan mentawakkalkan rezeki kepada angka-angka gaji itu. Padahal rezeki
akan datang dari arah yang tidak terduga-duga. Dan kita tidak perlu mengorbankan
ibadah untuk mengejar rezeki.
Para
sahabat sangat bersemangat menjalankan ibadah.
Seorang
sahabat pernah berkata, “Yang aku khawatirkan adalah siang yang panas tanpa
kesejukan puasa dan malam dingin tanpa kehangatan tahajjud.”
Sahabat
tidak mengejar lailatul qadar karena iming-iming berlipatgandanya pahala. Namun
lebih karena memang bersemangat menjalankan ibadah.
Imam
Ghazali pernah menjelaskan tentang shalat khusyu. Menurut Imam Ghazali, tanda shalat
khusyu adalah jika tercegah keji munkar sampai shalat berikutnya.
Seseorang
akan mati dengan yang biasa dilakukan selama hidupnya. Amal yang dicintai Allah
walaupun sedikit adalah yang sering dan terbiasa dilakukan. Dengan terbiasa, mudah
untuk melatih ikhlas, dan kita akan immun terhadap komentar dan pujian. Dan di
akhir hidup kita, kita akan mati ketika mengamalkan kebiasaan tersebut.
Berkaitan
dengan profesi menulis, Ustadz menjelaskan motivasi menulis, yaitu kita harus
bisa menjawab dahulu 3 pertanyaan berikut, yaitu
Mengapa
menulis?
Mengapa
harus ditulis?
Mengapa
saya yang harus menulis?
Jika
kita pernah makan yang haram maka ada 3 hal yang dapat dilakukan yaitu taubat
nasuha, melakukan amal baik untuk menjadi kompensasi, dan melakukan puasa.
Puasa dapat membakar hal yang haram, sehingga tubuh kita bersih dari yang
haram.
No comments:
Post a Comment