Saya tidak datang dari awal, dan kisah ini sangat detil, mudah-mudahan tidak banyak kesalahan dalam pencatatan yang saya buat.
Kisah sampai ketika Sa’ad bin Muadz sedang berbicara kepada Usaid bin Hudhair, membicarakan Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah yang akan mengajak kaum Bani Dzofr untuk menjadi muslim.
Sa’ad bin Muadz menyampaikan kepada Usaid bin Hudhair bahwa Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah akan membodohi kaum yang lemah di antara kaumnya.
Dari kalimat tersebut tampak hasutan dari Sa’ad bin Mu’adz yang langsung memposisikan dan membangun persepsi bahwa Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah akan membodohi orang-orang yang lemah di antara kaumnya. Dalam pernyataan tersebut sebenarnya terkandung kekhawatiran bahwa kalau kaumnya mengerti tentang Islam, mereka akan meninggalkan sesembahan mereka selama ini.
Sa’ad bin Mu’adz menyarankan pada Usaid bin Hudhair untuk menahan Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah agar tidak masuk kebun mereka.
Sa’ad bin Mu’adz tidak melakukannya sendiri, karena ia masih memiliki kekerabatan dengan As'ad bin Zurarah, yaitu anak dari bibinya. Sa’ad bin Mu’adz berkata ia berharap tidak memiliki ayah, agar tidak kehilangan argumentasi dengan As’ad bin Zurarah.
Dari kejadian ini, ada hikmah yang dapat dipelajari dari strategi yang dilakukan Mush’ab bin Umair yaitu dakwah dilakukan dari seseorang yang dikenal kepada orang lain yang dikenal. Dakwah mengenal kekerabatan.
Rasulullah dalam berdakwah di Mekkah senantiasa mengajak Abu Bakar Ash Shiddiq, karena beliau menguasai dan hafal silsilah penduduk Mekkah. Orang yang memahami silsilah adalah orang yang diutamakan di masa itu.
Saat ini dakwah dilakukan di tempat umum, di masjid-masjid, di kantor-kantor, maka sebenarnya ada elemen dakwah yang hilang yaitu dakwah dalam keluarga. Pengajian keluarga seharusnya menjadi sarana dakwah yang sangat efektif. Cara ini yang digunakan Rasulullah sebelum hijrah.
Islam secara logis dan manfaat dapat diterima. Apabila disampaikan oleh seseorang yang dikenal, apa lagi memiliki posisi yang dihormati, maka Islam akan lebih mudah diterima. Bila seorang kepala suku masuk Islam, maka seluruh anggota sukunya akan masuk Islam.
Menjadi evaluasi bagi kita yang sudah mengikuti banyak pengajian, untuk mempercepat, memperluas dan meneruskan dakwah ke keluarga kita masing-masing. Agar dakwah tidak terbatas pada da’I dan mad’u yang tidak saling mengenal.
Kembali ke kisah tadi, Usaid bin Hudhair lalu mengambil tombaknya, menunjukkan keseriusannya, dan mendatangi Mush’ab bin Umair dan As’ad bin Zurarah.
Melihat kejadian tersebut, As’ad bin Zurarah berkata kepada Mush’ab bin Umair, “Saya lihat dari jauh kepala suku datang, sebaiknya engkau mengatakan apa adanya.”
Ini adalah kebijaksanaan dari As’ad bin Zurarah, yang mengetahui pentingnya posisi Usaid bin Hudhair, maka posisi yang paling baik untuk menghadapinya adalah mengatakan apa adanya.
Terhadap saran tersebut, Mush’ab bin Umair menjawab, “Bila ia bisa diajak duduk, maka saya akan mengajaknya bicara.”
Hal ini menunjukkan hikmah menghadapi orang marah, yaitu mengajak duduk, agar amarahnya mereda, baru kemudian diajak bicara.
Kondisi Usaid bin Hudhair saat itu marah karena hasutan dari Sa’ad bin Mu’adz, sehingga padanya ada pemikiran negatif terhadap Mush’ab bin Umair.
Maka ketika Usaid bin Hudhair tiba di depan Mush’ab bin Umair, ia berhenti dan berkata to the point berupa pendakwaan, “Bukankah kalian datang akan membodohi orang-orang lemah di antara kaum kami?”
Pendakwaan ini sama persis dengan apa yang disampaikan Sa’ad bin Mu’adz pada Usaid bin Hudhair.
Usaid bin Hudhair lalu melanjutkan, “Menjauhlah, kami tidak memiliki keperluan apa pun pada kalian.”
Tanggapan Mush’ab bin Umair menunjukkan hikmah bagaimana menghadapi orang yang marah, yaitu Mush’ab bin Umair diam, tidak menyela, dan membiarkan Usaid bin Hudhair selesai berbicara.
Kemudian Mush’ab bin Umair menjawab, “Mengapa engkau tidak duduk dan mendengarkan?”
Ini adalah hikmah dalam menghadapi kemarahan, tidak membalas dengan kemarahan. Hal ini di luar ekspektasi dari Usaid bin Hudhair, yang saat itu sedang marah, yang mengharapkan balasan yang juga berupa kemarahan, agar dapat dilanjutkan dengan perkelahian.
Mush’ab bin Umair melanjutkan, “Kalau engkau suka dengan yang aku sampaikan, maka engkau dapat menerimanya. Kalau engkau benci, paling tidak engkau sudah menahan diri dari hal yang akan engkau sesali.”
Kita ketahui bahwa selanjutnya Usaid bin Hudhair adalah salah satu penghulu Madinah, salah satu dari 12 orang yang mengikuti Baiatul Aqabah kedua. Namun saat itu Mush’ab bin Umair tentunya belum mengetahui hal tersebut.
Namun kemampuan Mush’ab bin Umair sebagai pilihan Rasulullah dan dengan pertolongan Allah diuji dalam kejadian ini.
Usaid bin Hudhair lalu menjawab, “Orang ini sudah melakukan sesuatu yang adil.”
Dalam hal ini logika chaos berhasil ditundukkan.
Usaid bin Hudhair menancapkan tombaknya, dan ini adalah kemenangan pertama bagi Mush’ab bin Umair.
Hikmah dari kejadian ini, bila menghadapi seseorang yang sedang marah, jangan merespon dengan yang semisal.
Dari kisah-kisah detil saini banyak hikmah untuk dakwah di masa sekarang. Baik dakwah kepada orang yang belum mengenal Islam ataupun yang muslim tetapi masih jahil, dalam arti masih belum memahami Islam secara baik.
Bila kisah hanya disampaikan sebagai fakta sejarah, maka hikmah-hikmah ini tidak tertangkap.
Selanjutnya Usaid bin Hudhair duduk.
Mush’ab bin Umair pun melakukan dakwah person to person pada Usaid bin Hudhair, menjelaskan Islam, dan membacakan Al Qur’an.
Dan kemudian Allah yahdi mayyasyaa’, memberikan petunjuk bagi yang Allah kehendaki. Mush’ab bin Umair sebagai fasilitator saja, bersama dengan As’ad bin Zurarah.
Selanjutkan disebutkan bahwa, “Kami melihat, demi Allah, Usaid menjadi ramah, sebagai orang yang baru mendengar ayat Allah.”
Selama ini kebanyakan orang sudah mendengar tentang Islam, tetapi dari orang-orang bukan Islam, dan menyatakan bahwa Muhammad adalah orang gila atau penyihir.
Hikmah dari hal ini, bila kita mendengar suatu berita, hendaklah kita mencari tahu kebenarannya.
Selanjutnya disampaikan bahwa : “Dari Usaid bin Hudhair terpancar mata berbinar dan wajah yang memerah.”
Lalu Usaid bin Hudhair berkata, “Aku belum pernah bertemu dengan perkataan seindah ini. Bagaimana bila seseorang dari kalian mau masuk ke dalam ad-diin ini?”
Perkataan Usaid bin Hudhair ini menunjukkan kecerdasan dan hidayah dari Allah. Usaid bin Hudhair dapat melihat bahwa yang dijelaskan oleh Mush’ab bin Umair adalah sebuah sistem.
Dalam dakwah sering kali ada rasa ragu-ragu, biasanya itu adalah dari hasutan syaitan.
Mush’ab bin Umair lalu menyampaikan kepada Usaid bin Hudhair agar mandi, bersuci, membersihkan pakaian, melakukan syahadat dengan benar, lalu melakukan shalat.
Seorang ustadz di Papua, Abdullah Gharamatan juga melakukan hal yang mirip dengan ini. Dalam dakwah ke pedalaman Papua, bekal yang dibawa adalah sabun dan sampo, karena masyarakat suku pedalaman ini tidak pernah mandi.
Lalu beliau mengajak mereka mandi di sungai atau di danau, mengajarkan untuk membersihkan diri. Lalu keesokan harinya ditanya apakah mereka menyukainya, apakah bisa tidur dengan nyenyak? Biasanya sambutannya positif, dan kemudian beliau melanjutkan untuk mengajarkan untuk wudhu, shalat, dan seterusnya.
Hikmah dari membersihkan pakaian adalah membersihkan diri dari nafkah yang kotor, rezeki yang tidak halal. Baju dilepas dan dicuci. Sehingga suci hati dan diri, termasuk pakaian yang bersih. Muslim harus mengurus dirinya sendiri.
Selanjutnya Usaid bin Hudair berkata, yang menunjukkan bahwa setelah menikmati indahnya Islam, ia tidak menikmatinya hanya untuk diri sendiri.
Usaid bin Hudhair berkata, “Di belakang ku ada seseorang yang jika dia bisa mengikuti kalian berdua,
maka tidak ada satu pun dari sukunya yg tertinggal.”
Seperti inilah seharusnya mental kita semua sebagai da’i. Berinisiatif sendiri untuk menjadi da’i. Ia berubah dari seseorang yang mendakwahkan kebatilan menjadi pendakwah kebenarn.
Seseorang jangan merasa puas dengan pengalaman.
Usaid bin Hudhair langsung menjadi da’i, berdakwah ke Sa'ad bin Muadz.
Seharusnya begitu pula dengan kita. Mengapa kita tidak menyampaikan apa yang sudah kita terima? Sampaikanlah walaupun satu ayat, seharusnya menjadi prinsip yang kita implementasikan. Sering kali kita beralasan bahwa ilmu belum lengkap, perlu untuk dicek atau diresmikan dulu oleh Ustadz tertentu. Tidak demikian dengan dakwah di masa Rasulullah.
Tentunya saat itu Usaid bin Hudhair baru sedikit sekali belajar Islam, dan wahyu pun masih terus turun. Namun Usaid bin Hudhair tetap langsung berperan sebagai da’i.
Usaid bin Hudhair pun mencabut tombaknya, mendatangi kembali Sa'ad bin Muadz, yang tidak menyangka bahwa Usaid bin Hudhair telah berbalik 180% dibandingkan ketika pergi tadi.
Dalam kisah selanjutnya, Sa’ad bin Muadz dijebak oleh Usaid bin Hudair untuk menuju kebaikan dan menjadi muslim, dan juga menjadi salah satu penghulu kaum Anshar.
2 comments:
yeah you are saying right, good effort!
Jazakallah khairan, sorry for very slow response
Post a Comment