Ceramah Kamis diisi oleh Ust. Muhsinin Fauzi tentang Menuntut Ilmu. Mohon maaf saya datang terlambat, maka pembahasan langsung ke tengah-tengah.
Dalam Islam, ilmu dibagi dua, yaitu ilmu akhirat yang bersifat fardhu ain, yaitu wajib dikuasai oleh setiap muslim dan ilmu dunia untuk memenuhi kebutuhan di dunia yang bersifat fardhu kifayah.
Dengan kondisi saat ini, pandangan masing-masing orang berbeda-beda, tidak ada panduan dari Allah, maka terjadi kesalahan dalam memilih pemimpin. Karena orang akan memilih pemimpin yang sejenis dengan mereka masing-masing. Akhirnya lahirlah keputusan-keputusan yang tidak bersandar pada ilmu.
Salah satu cabang iman adalah taat kepada pemimpin Negara, yaitu waliyul amr. Memilih imam adalah kewajiban. Imam / khalifah adalah orang yang diamanahi Allah mengganti rasulullah, membawa muslimin selamat dunia akhirat. Bukan sekedar membawa kesejahteraan di dunia. Tugas waliyul amr adalah menjaga agama rakyat dan menjaga kemaslahatan masyarakat.
Jika tidak ada ada ilmu, yang terjadi adalah pemimpin yang sesat dan menyesatkan.
Juga dalam hadits Muawiah bin Abi Sufyan radhiallahu anhuma dia berkata:
Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang Allah kehendaki menjadi baik maka Allah faqihkan dia terhadap agama.” (HR. Al-Bukhari no. 69 dan Muslim no. 1719) Ilmu wajib, tradisi
Maka sebaliknya, barangsiapa yang tidak Allah pahamkan agama, tidak akan menjadi baik
Merujuk kepada kebiasaan para sahabat dan tabiin, maka tugas untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak dilakukan oleh ayahnya. Ayah lah yang mengajarkan Aqidah, Hadits, Al Qur'an, Sirah, Fiqih.
Dalam sistem pendidikan di Indonesia saat ini ada beberapa metode dengan masing-masing kelebihan dan kekurangannya. Metode Islam Terpadu lengkap antara ilmu dunia dan ilmu agama, namun dirasa cukup berat karena menghabiskan waktu hampir sehari penuh. Sekolah alam lebih menekankan kepada kepemimpinan dan kreativitas, namun dari aspek keilmuan menjadi kurang mendalam. Sekolah madrasah, materi terlalu banyak dengan waktu yang singkat, sehingga kurang berhasil mengajarkan ilmu agama maupun ilmu dunia.
Salah satu pendekatan yang baik untuk diimplementasikan adalah mengakomodasi cara belajar yang berbeda pada tiap anak, meliputi visual, kinestetik, dan auditori.
Orang yang berilmu berbeda dengan orang yang tidak berilmu.
Abu Ad-Darda radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa meniti jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudahnya jalan ke surga. Sungguh, para Malaikat merendahkan sayapnya sebagai keridlaan kepada penuntut ilmu. Orang yang berilmu akan dimintakan maaf oleh penduduk langit dan bumi hingga ikan yang ada di dasar laut. Kelebihan serang alim dibanding ahli ibadah seperti keutamaan rembulan pada malam purnama atas seluruh bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa mengambilnya maka ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Abu Daud no. 3157 dengan sanad yang hasan).
Sebagai contoh, Imam Syafii, maka selama 13 abad manusia menyerap ilmunya.
Dengan ilmu,lebih mudah memperoleh cara untuk mencari kemuliaan akhirat. Dengan ilmu, kualitas amal dengan lebih mudah didapatkan.
Berkaitan dengan ilmu, maka ada tiga kewajiban muslim, yaitu tholabun ilmu (menuntut ilmu), mengamalkan ilmu, dan nashrun ilmu (mengajarkan ilmu).
Ketiga kewajiban tersebut berdiri sendiri yang saling mendukung. Ketiganya wajib secara mandiri. Muslim wajib untuk belajar, muslim wajib untuk mengamalkan, muslim wajib untuk mengajarkan.
Bahkan belajar dikatakan sejajar dengan jihad. Jika dianalogikan dengan perusahaan, maka jihad adalah peran marketing / sales untuk mendapatkan pelanggan, atau rekrutmen untuk mendapatkan pegawai, sedangkan belajar/mengajar adalah peran customer service / SDM dalam pembinaan pelanggan / karyawan tersebut.
Dengan adanya peran nashrun ilmu, ada peran besar yang menjamin, menggaransi tegaknya agama. Jika seluruh masyarakat muslim menguasai ilmu agama sebagai kewajiban yang bersifat fardhu ain, maka agama akan tegak. Setiap muslim akan mengambil peran.
Definisi ulama, yaitu mereka yang mengenal / ma’rifat kepada Allah dan memahami hukum Allah. Maka setiap muslim adalah ulama.
Dalam Al Qur’an surat Fathir 28, Allah berfirman : “Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama.”
Pada dasarnya setiap muslim pun takut pada Allah, maka setiap muslim adalah ulama, yang wajib mengajarkan ilmu.
Setiap ayah punya murid, yaitu anaknya. Kalau perlu, kita beri “reward” pada anak jika mendengarkan ajaran kita. Jika anak sudah diajari, maka “sasaran” pengajaran bisa diperluas ke lingkungan kecil, yang terus diperluas ke masyarakat luas. Subhanallah.
Sumber copy paste hadits : http://al-atsariyyah.com
No comments:
Post a Comment