Wednesday, August 15, 2012

25 Ramadhan - Tazkiyatun Nafs dan Lailatul Qadr


Ceramah kali ini disampaikan oleh Ust. Muhsinin Fauzi, semoga bermanfaat.

Apa pun yang kita hadapi di dunia ini, dan di mana pun kita menghadapinya, itu adalah “soal” dari Allah. Tinggal kita bisa mengerjakan atau tidak.

Pentingnya kebersihan hati, berkaitan dengan 3 hal berikut :
1. Kebahagiaan seseorang ditentukan kondisi hatinya
2. Kesuksesan lahir dari akhlaq, akhalq lahir dari kondisi batin
3. Keselamatan di akhirat dicapai dengan hati yg bersih

Dosa tertinggi adalah syirik, selain itu sombong, iri, dan mencintai dunia.

Terkait dengan dunia, muslim wajib menguasai, tetapi tidak boleh mencintai. Jika seseorang ingin meraih akhirat, maka dunia akan ia peroleh, dunia akan datang padanya. Allah memerintahkan muslim untuk banyak berzakat, maka muslim “harus” kaya. 

Dunia dan akhirat tidak bisa berada dalam satu hati. Hati tidak bisa diganggu. Jika kita fokus kepada dunia, maka pasti akhirat akan terlupakan. Untuk bisa fokus kepada akhirat, maka kita harus meninggalkan dunia dari hati kita.

Terkadang merasa merasa tidak rela, jika ia telah bersusah payah bekerja, penghasilannya harus digunakan untuk menafkahi banyak orang, keluarga besar. Padahal sebenarnya ia beruntung, karena rezeki saudaranya dilewatkan kepadanya. Bagaimana jika sebaliknya? Apakah ia mau?

Muslim tidak perlu mengejar jabatan. Namun muslim diperintahkan untuk melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Untuk melaksanakannya, diperlukan kekuasaan. Karena jika tanpa kekuasaan, yang bisa dilakukukan bukan “amar ma’ruf” tetapi “permohonan ma’ruf” atau “himbauan ma’ruf”.

Di Indramayu, bupati memerintahkan seluruh warganya agar membaca  Al Qur’an selama 15 menit setiap hari sebelum bekerja. Al Qur’an dibagi. Hal ini bisa dilakukan karena bupati memiliki kekuasaan. Jika ustadz yang menyampaikan, hanya akan berlaku sebagai himbauan, yang terus akan ditawar-tawar oleh jamaah.

Walaupun kita memiliki dunia, kita harus zuhud. Jika kita tidak punya apa-apa, lalu kita zuhud, maka itu sebenarnya bukan zuhud.

3 cara agar hati bersih :

Pertama, at takholly takhliyyah, yaitu ke perilakunya, membersihkan hati dari penyakit hati dengan bertaubat.
Bertaubat dari dosa, karena jika kita telah bertaubat, kita menjadi seperti tidak punya dosa, dan kemudia kita berhak untuk memiliki kedekatan pada Allah, maka kita bukan lagi manusia biasa, melainkan wali Allah.

Perilaku yang buruk dijinakkan. Misalnya seseorang yang sombong dengan mobilnya, maka jangan menggunakan mobil.

Jika kita masih sombong dengan suatu karunia, maka sesungguhnya mental kita belum siap dengan karunia itu. Tanda bahwa kita sudah stabil adalah, sebesar apa pun karunia, kita siap menerima, hati tidak oleng.

Tanda oleng adalah kita merasa tidak nyaman di hati, ada sesuatu yang berbeda dalam hati. Misalnya ketika kita menyatakan “rumah saya di kompleks, rumahnya di gang”, jika kita masih ada sesuatu rasa berbeda dalam hati, maka itu perlu diwaspadai.

Sombong adalah sedikit merasa lebih dari orang lain.
Diawali dengan ujub, yaitu merasa bangga dengan sesuatu. Lebih jauh lagi, sifat ujub ini semakin didorong dengan kapitalisme, yang memang mendorong orang membeli sesuatu untuk dapat dibanggakan. Contohnya, ketika kita bangga, “anak saya pintar”.
Setelah itu, ingin kebanggan tersebut didengar oleh orang lain : sifat sum’ah. Contohnya, kita ceritakan ke teman kita, “anak saya pintar, dia dapat nilai sekian sekian.”
Selanjutnya, kebanggaan tersebut kita perlihatkan : sifat riya’. Contohnya, kita tunjukkan anak kita, dan sampaikan prestasinya.
Selanjutnya, kita menjelekkan milik orang lain : sifat sombong. Contohnya, setelah kita menceritakan prestasi anak kita, kita menjelekkan anak orang lain.

Dengan fenomena social media, ketika orang “narsis” menampilkan dirinya, maka harus hati-hati, apakah kita telah ujub, sum’ah, riya’, bahkan sombong.

Yang lebih buruk lagi adalah maghrur, yaitu sombong, padahal tidak punya apa-apa.

Yang kedua, at tahally tahliyah, yaitu memasukkan sifat baik ke hati dengan berbagai cara salah satu memperkuat ibadah. Dengan memasukkan sifat-sifat baik, semoga lambat laun akan membersihkan hati.

Sebenarnya dunia dan segala isinya yang kita rasa menjadi milik kita ini, dapat diibaratkan seperti mobil yang dititipkan ke kita sebagai tukang parkir. Kita tidak perlu bangga dengan barang yang dititipkan. Harta, istri, anak, semua hanya “Allah parkirkan” untuk kita. Sangat mudah bagi Allah untuk “mengambil kembali yang telah Ia parkirkan”. Pada istri, tinggal Allah berikan rasa benci, maka ia akan meninggalkan suaminya, tidak perlu cara yang panjang dengan sakit lalu meninggal. Harta tinggal Allah buat kita lupa dengan nomor rekening, maka bisa dibilang hilang sudah harta kita.

Pelajaran tentang ilmu hati, dapat diibaratkan seperti dokter spesialis, sedangkan ilmu secara syariat dan hukum adalah dokter umum.

Secara umum, kita mungkin sudah melakukan shalat, puasa, zakat, sesuai hukum, dan sah. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, apakah kita khusyuk dalam shalat? Apakah kita telah bersyukur ketika makan? Karena ikhlas, sabar, syukur, mencintai Allah, mencintai Rasulullah, takut pada Allah, juga merupakan perintah Allah.

Ketiga, at tahaqquq wat takholluq, yaitu mempelajari asmaul husna, dan berusaha mengikuti sifat Allah.
Allah bersifat Rahman dan Rahim, maka kita harus bersifat lembut. Ulama yang memiliki pendekatan dengan hati, ketika melihat maksiat tidak akan marah, dia akan jatuh kasihan, sehingga justru orang tersebut menjadi trenyuh dan ingin bertaubat. Seperti yang dilakukan oleh Walisongo. Karena jika seseorang didekati dengan hati, akan bertemu dengan hati.

Selanjutnya adalah mengikuti sifat-sifat Rasulullah, yang antara lain bersyukur dengan seluruh badan beliau.

2 metode dalam membersihkan hati :

Pertama, mengambil semua syariah sebagai sarana tazkiyatun nafs, yang dicontohkan oleh Hasan Al Banna, disebut sebagai Islam syamil, dengan semua melakukan ibadah faraidh dan nawafil. Secara teori sangat luar biasa, dan bila diimplementasikan dengan benar, akan benar-benar dekat pada Allah. Namun, seringkali menjadi tidak fokus.

Yang kedua, fokus pada dzikir. Seluruh ibadah lain dijalankan secara rata-rata, fokus pada dzikir. Hal ini yang dilakukan pada tasawuf dan tarikat.

I'tikaf bertujuan menghindar dari debu dosa, ber-uzlah, untuk mendapatkan kebenaran.

Dicintai Allah adalah ujung perjalanan.
Perbuatan adalah wasilah atau sarana agar kita dapat dekat dengan Allah, sehingga kita memperoleh rahmat Allah, dan akhirnya Allah berikan surga.

Dzikir dalam kesendirian mengobati penyakit. Tidak ada yang lebih bermanfaat untuk hati, selain uzlah,  menyingkir dari dunia, membersihkan diri. Sendiri dengan Tuhannya, membersihkan hati.

Lailatul qadr adalah 1 malam yang Allah tetapkan jadi malam kemuliaan yang lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang beribadah di malem itu mendapatkan rizki lailatul qadr. Sebagian mengatakan ada di 10 malam terakhir Ramadhan, sebagian mengatakan di malam ganjilnya, sebagian mengatakan di malam 27 Ramadhan, seperti di Timur Tengah yang fokus beribadah di malam tersebut.

Bagaimana caranya agar memperoleh kemuliaan lailatul qadr? “Nongkrong” di masjid. Rasulullah mencontohkan I’tikaf dengan duduk, dan berdiam, menyendiri. Lebih baik lagi jika ditambah dengan membaca Al Qur’an. Hidupkan malam, maka kita akan mendapatkan kemuliaan lailatul qadr. Tinggal yang perlu dipastikan adalah, bagaimana kualitas ibadah kita saat itu? Kuat atau lemah? Benar-benar terjaga, atau sambil mengantuk?

Fokus dari ibadah di malam lailatul qadr adalah taubat. Sebagaimana hadits dari Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu 'anha bahwa dia berta "Ya Rasulullah apa pendapatmu jika aku tahu kapan malam Lailatul Qadar (terjadi) apa yg harus aku ucapkan?" Beliau menjawab"Ucapkanlah Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan Mencintai orang yg meminta ampunan maka ampunilah aku. (Allahumma innaka ‘afuwwun, tuhibbul ‘afwa, fa’fuani)"  (HR. Tirmidzi (3760) Ibnu Majah (3850) dari 'Aisyah sanad shahih).

No comments: