Wednesday, November 7, 2012

Ikhlas sebagai Ibu, Istri, dan Karyawan



Dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hubungan dengan orang lain, sering kali kita, tanpa disadari, mengharapkan “sesuatu” dari orang tersebut. 

Misalnya, kita membawakan oleh-oleh untuk anak kita, kita berharap agar anak kita menurut, tidak membantah, tidak rewel. Atau kita mengikuti perintah suami, dengan harapan suami kita baik pada kita, tidak sering marah-marah, tidak selingkuh. Atau kita mengerjakan tugas di tempat kerja, dengan harapan atasan kita memberikan nilai yang baik, menaikkan jabatan dan gaji kita.

Memang tentunya segala sesuatu ada sebab akibatnya. 

Akan lebih aneh jika kita tidak melakukan sesuatu yang baik kepada seseorang, tetapi kita mengharapkan orang itu berbuat baik pada kita. Misalnya, kita berharap anak kita baik, menurut, dan tidak membantah, tetapi kita malah sering memukul, marah, dan pelit pada mereka. Atau kita berharap suami kita baik dan tidak selingkuh, tetapi kita sendiri sering melawan dan sering bergaul melewati batas dengan teman pria. Atau kita berharap promosi dan kenaikan gaji, tapi sering tidak masuk dan sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan. 

Sehingga, berbuat baik untuk kemudian berharap diperlakukan baik, sepertinya sesuai dengan hukum sebab akibat. Sehingga terasa wajar ketika kita berkata, “Saya sudah melakukan ini, kamu harusnya begitu dong.” Atau, “Saya sudah lakukan ini, masak kamu begitu sih?” Atau, “Saya sudah lakukan itu, tetapi mengapa hanya ini yang saya dapat?”

Padahal, ketika kita berkata demikian, mungkin justru kita perlu evaluasi kembali keikhlasan kita. 

Ikhlas itu murni, tidak mengharap apa pun, kecuali hanya untuk Allah semata. Ikhlas itu sedemikian penting, menjadi ukuran diterima atau tidaknya amal kita. Berikut ada tulisan yang sangat bagus tentang pentingnya ikhlas

Ketika kita ikhlas, apa yang kita lakukan, tidak perlu dibesar-besarkan, bahkan tidak perlu diingat, apa lagi diungkit-ungkit. Secara ekstrim seorang ustadz pernah berkata, ikhlas itu seperti kita BAB. Tak pernah kita berbangga dan mengingat-ingat “prestasi” BAB kita dan berharap sesuatu dengan BAB itu. 

Berbuat ya berbuat saja. Titik. Lupakan. Bila perlu, anggap remeh.

Ketika kita berkata dan bertanya seperti tadi, maka kita telah menganggap penting yang kita lakukan, kita telah menganggap bahwa kita telah melakukan sesuatu yang membuat kita “berhak” atas sesuatu. Ada pamrih dari yang kita lakukan. 

Hati-hati. 

Menyayangi anak, hormat pada suami, amanah dalam tugas adalah kewajiban kita, dan jika dilakukan dengan ikhlas dan baik, insya Allah akan Allah catat sebagai amal soleh untuk tabungan akhirat kita, menjemput rahmat-Nya.

Namun ketika kita tidak ikhlas, ada pamrih, ada rasa “berhak”, bisa jadi semua “jerih payah” tersebut “menguap” begitu saja, tidak berbekas sama sekali di akhirat nanti. Alangkah sedihnya. 

Ketika ada rasa kecewa, sedih, marah, karena perlakukan anak, suami, atasan tidak “setimpal” dengan apa yang kita lakukan, sungguh kita sangat perlu untuk melakukan evaluasi keikhlasan kita. 

Semoga kita bisa mencermati kembali apa yang kita perbuat, dan menata kembali hati kita, agar senantiasa ikhlas melakukan apa pun, hanya untuk Allah semata. 

No comments: