Dalam melakukan sesuatu yang berkaitan dengan hubungan
dengan orang lain, sering kali kita, tanpa disadari, mengharapkan “sesuatu”
dari orang tersebut.
Misalnya, kita membawakan oleh-oleh untuk anak kita, kita
berharap agar anak kita menurut, tidak membantah, tidak rewel. Atau kita mengikuti
perintah suami, dengan harapan suami kita baik pada kita, tidak sering
marah-marah, tidak selingkuh. Atau kita mengerjakan tugas di tempat kerja,
dengan harapan atasan kita memberikan nilai yang baik, menaikkan jabatan dan
gaji kita.
Memang tentunya segala sesuatu ada sebab akibatnya.
Akan lebih aneh jika kita tidak melakukan sesuatu yang baik
kepada seseorang, tetapi kita mengharapkan orang itu berbuat baik pada kita. Misalnya,
kita berharap anak kita baik, menurut, dan tidak membantah, tetapi kita malah
sering memukul, marah, dan pelit pada mereka. Atau kita berharap suami kita
baik dan tidak selingkuh, tetapi kita sendiri sering melawan dan sering bergaul
melewati batas dengan teman pria. Atau kita berharap promosi dan kenaikan gaji,
tapi sering tidak masuk dan sering tidak menyelesaikan tugas yang diberikan.
Sehingga, berbuat baik untuk kemudian berharap diperlakukan
baik, sepertinya sesuai dengan hukum sebab akibat. Sehingga terasa wajar ketika
kita berkata, “Saya sudah melakukan ini, kamu harusnya begitu dong.” Atau, “Saya
sudah lakukan ini, masak kamu begitu sih?” Atau, “Saya sudah lakukan itu, tetapi
mengapa hanya ini yang saya dapat?”
Padahal, ketika kita berkata demikian, mungkin justru kita perlu
evaluasi kembali keikhlasan kita.
Ikhlas itu murni, tidak mengharap apa pun, kecuali hanya
untuk Allah semata. Ikhlas itu sedemikian penting, menjadi ukuran diterima atau
tidaknya amal kita. Berikut ada tulisan yang sangat bagus tentang pentingnya ikhlas.
Ketika kita ikhlas, apa yang kita lakukan, tidak perlu
dibesar-besarkan, bahkan tidak perlu diingat, apa lagi diungkit-ungkit. Secara
ekstrim seorang ustadz pernah berkata, ikhlas itu seperti kita BAB. Tak pernah
kita berbangga dan mengingat-ingat “prestasi” BAB kita dan berharap sesuatu
dengan BAB itu.
Berbuat ya berbuat saja. Titik. Lupakan. Bila perlu, anggap
remeh.
Ketika kita berkata dan bertanya seperti tadi, maka kita
telah menganggap penting yang kita lakukan, kita telah menganggap bahwa kita
telah melakukan sesuatu yang membuat kita “berhak” atas sesuatu. Ada pamrih
dari yang kita lakukan.
Hati-hati.
Menyayangi anak, hormat pada suami, amanah dalam tugas
adalah kewajiban kita, dan jika dilakukan dengan ikhlas dan baik, insya Allah akan
Allah catat sebagai amal soleh untuk tabungan akhirat kita, menjemput rahmat-Nya.
Namun ketika kita tidak ikhlas, ada pamrih, ada rasa “berhak”,
bisa jadi semua “jerih payah” tersebut “menguap” begitu saja, tidak berbekas
sama sekali di akhirat nanti. Alangkah sedihnya.
Ketika ada rasa kecewa, sedih, marah, karena perlakukan
anak, suami, atasan tidak “setimpal” dengan apa yang kita lakukan, sungguh kita
sangat perlu untuk melakukan evaluasi keikhlasan kita.
Semoga kita bisa mencermati kembali apa yang kita perbuat,
dan menata kembali hati kita, agar senantiasa ikhlas melakukan apa pun, hanya
untuk Allah semata.
No comments:
Post a Comment