Ceramah
Dzuhur disampaikan oleh Ustadz Muhsinin Fauzi, Lc.
Tugas
pokok suami adalah mengantar keluarga ke surga.
Mengenai
nafkah justru tidak dibahas, karena tanpa agama pun, kewajiban suami untuk
mencari nafkah sudah jelas.
Aspek
yang diutamakan dalam agama adalah pendidikan, sehingga tugas pokok suami
adalah membawa keluarga menjadi salih dan salihah, dengan salah satu support
system-nya adalah nafkah.
Umar
bin Khattab pernah menyampaikan bahwa kewajiban ayah kepada anak adalah memberi
nama yang baik, memilihkan ibu yang baik, dan mengajarkan Al Qur’an.
Dalam beberapa hadits dijelaskan tentang sunnah suami untuk mencari nafkah,
tetapi tidak dibahas pada Cabang Keimanan.
Membahas keluarga, maka dibagi menjadi tiga tahap yaitu pra nikah, pada saat pernikahan, serta pasca
nikah.
Pasca
nikah dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu kewajiban suami istri serta kewajiban
orang tua anak.
Permasalahan
rumah tangga dapat merembet dan dapat berkembang sampai menjadi fatal.
Untuk pembahasan pranikah, maka aspek pertama adalah masalah kualifikasi
pasangan.
Dalam
Islam, kualifikasi pasangan ada 4 yaitu nasab (keturunan), wajah, harta, dan
agama. Harta yang dimaksud bukan harta orang tua, tetapi harta dari calon suami
/ istri itu sendiri.
Yang diutamakan dalam pemilihan pasangan adalah agama.
Agama
akan membantu dalam mengatasi berbagai dinamika dalam berkeluarga.
Keberagamaan
bukan hanya dalam hal symbol, tetapi yang terpenting adalah ketaatan
menjalankan hukum serta etika dan karakter.
Bila
dicoba dikombinasikan antara kesalihan (kualifikasi agama) dengan kualifikasi
yang lain, maka akan memberikan hasil yang baik, dalam keadaan positif maupun
negatif. Istri salihah, dikombinasikan dengan kualifikasi apa pun akan baik,
istri tidak salihah, dikombinasikan dengan kualifikasi apa pun akan buruk.
Kesalihan
adalah kesanggupan untuk bertindak benar dalam berbagai situasi. Bertindak
benar ketika dalam kekurangan, bertindak benar ketika marah, bertindak benar ketika
dalam kecukupan, dan lain-lain.
Contoh
kombinasi istri salihah dengan kualifikasi lain yang positif :
Salihah
cantik, menyenangkan suami dan tetap dapat menempatkan diri dengan baik.
Salihah
kaya, dapat membantu suami dan tetap menghormati kedudukan suami.
Salihah
nasab baik, membanggakan suami dan tetap menghormati suami.
Salihah
pintar, dapat bertukar pikiran dengan suami dan tetap menghormati pendapat
suami.
Contoh kombinasi istri salihah dengan kualifikasi lain yang negatif:
Salihah wajah biasa, suami tenang, dan istri tidak banyak menuntut.
Salihah kurang mampu, sabar, tidak banyak keinginan, sudah terbiasa dalam
kekurangan.
Salihah
kurang pintar, tunduk dengan apa yang diarahkan suami.
Sebaliknya,
contoh kombinasi istri tidak salihah dengan kualifikasi lain yang positif :
Tidak
salihah cantik, akan memperlakukan suami dengan semena-mena. Suami pun tidak
dapat berbuat apa-apa karena takut kehilangan.
Maka
khusus untuk kualifikasi cantik, bila ada seorang laki-laki yang merasa harus
memiliki istri yang cantik, maka pastikan ia juga salihah.
Tidak salihah kaya, akan memperbudak suami karena merasa kekayaan adalah
miliknya.
Tidak salihah pintar, akan “ngelunjak” karena merasa lebih pintar dari suami.
Contoh
kombinasi istri tidak salihah dengan kualifikasi lain yang negatif :
Tidak salihah miskin atau tidak salihah bodoh, menyulitkan suami dari berbagai
aspek.
Maka
istri tidak salihah akan menyulitkan suami dikombinasikan dengan kualifikasi
apa pun.
Ada
contoh kasus seseorang yang memiliki karir yang baik, namun ternyata setelah
dicek kesehatannya, tingkat kolesterolnya cukup tinggi. Orang tersebut
berhari-hari tidak bisa tidur karena khawatir dengan kondisi kesehatannya itu.
Ketika diajak bicara, ternyata sebabnya adalah karena ia kurang dekat dengan
Allah. Hidup memang menjadi serba rumit dan ruwet bila seseorang tidak salih.
Perbandingan ta’aruf dengan pacaran.
Apa
bila dianalogikan dengan memilih produk, cara pemilihan yang terbaik adalah
ketika emosi tidak terlibat. Sehingga bila kita akan membeli sesuatu, jangan
membawa anak kecil, karena anak kecil akan sangat emosional.
Pada
pacaran emosi terlibat, padahal kualifikasi belum terlihat secara jelas.
Pada
ta’aruf kualifikasi dipilih dulu, baru kemudian emosi terlibat, yaitu ketika
cinta jatuh ketika menentukan suka atau tidak suka pada saat khitbah.
Kembali
dianalogikan dengan memilih produk, kita perlu melihat brosur terlebih dahulu. Begitu
pula dengan proses ta’aruf, yang dilakukan dengan identifikasi kualifikasi
terlebih dahulu. Penentuan suka atau tidak suka dilakukan ketika khitbah.
Bila
kualifikasi sudah cocok, tetapi ternyata ketika khitbah tidak suka, maka dapat
lebih mudah untuk dibatalkan.
Namun
jika sudah terlanjur suka yang dilalui dengan metode pacaran, ketika ada
kualifikasi yang tidak cocok, biasanya akan sulit untuk menentukan sikap karena
sangat mudah untuk memberikan pembenaran.
Kembali dianalogikan dengan pemilihan barang. Barang dengan kualifikasi baik
biasanya disimpan dengan baik dan tidak boleh disentuh. Sedangkan barang dengan
kualifikasi kurang baik biasanya diletakkan di tempat terbuka, dapat dicoba
berkali-kali sehingga akhirnya rusak walaupun tidak dibeli.
Maka
pacaran sebetulnya menurunkan grade, karena bila dianalogikan dengan barang,
statusnya seperti barang yang bisa dicoba dahulu sebelum dibeli. Padahal barang
yang mahal biasanya hanya bisa dilihat dari brosur saja, jangankan menyentuh
barang aslinya, melihat barang aslinya saja tidak bisa.
Ada contoh kasus ketika ada seorang Ayah yang tidak membolehkan anak
perempuannya untuk pacaran, dan menyatakan bila ada laki-laki yang mendekati
anak perempuannya, akan segera dinikahkan. Demikianlah yang selalu disampaikan
oleh anak perempuannya itu kepada setiap laki-laki yang mendekatinya, dan biasanya tidak ada yang
berani mendekati. Sampai akhirnya ada yang datang, dan ternyata berani
mendatangi ayahnya dan setuju untuk menikahi, dan ternyata memang memiliki kualifikasi
yang baik.
Hikmah dari contoh kasus ini, dari sisi anak perempuan, harus dijaga
sungguh-sungguh, bila ada yang mendekati harus menikah. Dari sisi laki-laki
biasanya memang hanya yang benar-benar mampu yang berani untuk segera menikahi.
Maka sebetulnya proses pra nikah dengan ta’aruf dan khitbah ini sangat mirip
dengan proses jual beli barang. Tahap pertama adalah pengecekan kualifikasi
dengan proses ta’aruf. Bila merasa cocok, dilanjutkan dengan proses khitbah
yaitu melihat barang, bila cocok bisa dilanjutkan dengan akad nikah.
Proses pengecekan kualifikasi atau ta’aruf secara teknis saat ini dilakukan
dengan tukar menukar data dan informasi dari orang-orang sekitar calon
tersebut. Dahulu biasanya dilakukan dengan ayah yang benar-benar mengikuti
seluruh kegiatan calon menantunya dan memberikan penilaian langsung dari
pengamatan itu.
Proses ini akan dipermudah bila dapat dibangun lingkungan yang baik. Seperti
bila ada pasar atau mal dengan barang yang sudah bisa dipastikan baik dan
bermerek, maka proses pemilihan dapat dilakukan dengan lebih mudah, karena
kualitasnya sudah dapat dipastikan baik. Di masa sahabat dan salafus salih,
proses mencari pasangan sangat mudah. Karena lingkungan saat itu terjaga dengan
sangat baik dan dapat dikatakan bahwa semua muslim memiliki kualitas keislaman yang baik.
Saat ini lingkungan belum terbangun dengan baik, maka proses pencarian menjadi
lama. Kita harus bekerja ekstra keras untuk memastikan kualifikasi. Karena ada
kalanya yang terlihat salih dan salihah, bisa jadi memang benar-benar salih dan
salihah, bisa juga setengah bahkan seperempat salih dan salihah.
Ada yang terlihat salih dengan sangat menjaga shalat, tetapi tidak menghargai
pasangan. Ada yang berjuang sungguh-sungguh untuk dakwah, tetapi menelantarkan
anak. Ada yang sangat menjaga pelaksanaan sunnah, tetapi tidak menghormati
mertua.
Maka
saat ini ta’aruf menjadi satu-satunya jalan untuk proses pra nikah. Dan tugas
kita memastikan bahwa kita semua dan keluarga menjalankan proses ta’aruf ini.
Karena
kegagalan menjalankan proses pra nikah ini, akan menghasilkan kualifikasi
pasangan yang kurang baik, dan secara umum mereka yang tidak bertindak benar
kepada Tuhannya, akan bertindak tidak benar juga pada pasangannya.
Saat
ini terdapat fenomena ada pasangan di mana suami terlihat biasa, namun istrinya
terlihat salihah. Hal ini dapat terjadi karena dua hal, yaitu memang dari awal
istrinya salihah, atau tadinya sama-sama biasa, namun istri taubat terlebih
dahulu. Dan hal kedua ini akhir-akhir ini sangat dimungkinkan karena banyak
istri yang dilarang untuk kerja oleh suaminya karena suaminya takut istrinya
diganggu orang lain di kantor, kemudian istri mengisi waktu dengan mengantar
anak ke sekolah, yang ternyata diisi dengan pengajian.
Di sisi lain, suami juga senang dengan istri salihah, karena biasanya semahal-mahal
biaya istri salihah tidak semahal biaya istri tidak salihah. Misalnya istri
salihah lebih senang ke pengajian daripada ke mal, dan sebagainya.
Proses
setelah ta’aruf adalah khitbah, yang bila dianalogikan dengan jual beli barang,
adalah proses melihat barang yang akan dibeli. Kedua calon pasangan sama-sama
melihat.
Mereka
yang pro pacaran biasanya akan berkata : Bagaimana bisa kenal bila tanpa
pacaran? Bukankah kalau sekedar tukar data saja bisa bohong? Lalu bagaimana
kalau tidak cinta?
Jawabannya adalah : Islam tidak mungkin tidak manusiawi.
Memang
ada mereka yang ekstrim, bahkan sampai mengharamkan cinta. Padahal ini
mengabaikan sisi kemanusiaan. Mereka memandang bahwa pernikahan adalah bagian
dari perjuangan dakwah, sehingga tidak diperlukan cinta. Padahal kasih sayang,
manja, cinta adalah cinta basyari yang diperlukan oleh manusia. Ada hadits yang
mengatakan bahwa : Nikahilah wanita yang banyak anaknya dan besar kasih sayang /
cintanya. Rasulullah pun menyampaikan citanya kepada Khadijah.
Justru
sebaiknya adalah setelah proses khitbah, saat itulah cinta dijatuhkan.
Kesalahan dari mereka yang mengharamkan
cinta pada pasangan, adalah karena ayat idelogi digunakan untuk muamalah.
Sehingga beragama menjadi terlalu keras. Padahal agama seharusnya lembut dan
nyaman dalam kebenaran.
Setelah khitbah dan kedua pasangan menyukai pasangan masing-masing, segeralah
menikah setelah ada uangnya. Sebagaimana pada jual beli barang, jika telah
cocok, maka bayarkan uangnya.
Mahar
dapat dipandang sebagai DP, sedangkan sisa pembayarannya adalah seluruh hidup
yang ditanggung nantinya oleh suami. Dan akan ada uang mut’ah bila nanti
terjadi perpisahan.
Dalam penyampaian data tidak boleh ada kebohongan, harus dicari parameter atau
kriteria yang mewakili seluruh data. Misalnya untuk mobil, bila mesinnya baik, maka dapat disimpulkan
bahwa mobilnya baik. Tidak perlu membongkar keseluruhan mobil, yang artinya
sama saja merusak mobilnya.
Bila
ada hal yang di luar normal, harus disampaikan.
Sebetulnya
sifat seseorang dapat dipelajari dari wajah dan telapak tangannya, sehingga
proses khitbah sebetulnya sudah cukup untuk mengenali sifat dan karakter calon
pasangan. Karena wajah dan telapak tangan adalah representasi dari seseorang.
Dari wajah dapat terlihat kecantikan, sifat, karakter, kemauan, bohong atau
tidaknya, mata yang jujur atau tidak, sifat lembut dan tunduk atau tidak. Dari
bahasa tubuh juga dapat diketahui karakter seseorang, misalnya dari cara memasuki
ruangan dan cara duduk. Buku tentang ilmu mempelajari sifat manusia dari wajah
dan telapak tangan ini ditulis oleh Fakhrur Rozi dalam bahasa Arab dan belum
diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.
Maka
ta’aruf dan khitbah adalah cara yang sangat efektif dan tidak merugikan salah
satu pihak. Dari proses ini akan didapatkan pasangan yang sesuai
kualifikasinya, karena bila kualifikasi kurang tepat, di masa pernikahan akan
terjadi proses penataan yang terus menerus, tidak kunjung selesai.