Ikhlas sebuah kata yang mudah diucapkan, tapi sulit
dilakukan. Kadang kita merasa sudah melakukan, tetapi bisa jadi sebenarnya belum.
Seorang kyai pernah memberikan satu cara mengecek keikhlasan.
Misalnya kita melakukan sesuatu, dan kita katakan (pada diri kita sendiri atau
pada orang lain) bahwa kita ikhlas. Lalu, ada yang mengatakan pada kita, bahwa ada
seseorang lain yang meragukan keikhlasan kita. Bagaimana reaksi kita, apakah
kita marah dan bertanya, “Siapa yang berkata demikian, demi Allah saya ikhlas!”
atau kita tidak bereaksi dan berkata, “Silakan dia mau meragukan atau yakin
dengan keikhlasan saya.”
Ketika kita marah dan berusaha meyakinkan orang lain bahwa
kita benar-benar ikhlas, itu adalah tanda bahwa kita belum ikhlas.
Karena jika kita ikhlas, kita tidak perlu persetujuan orang
lain, tidak perlu penghargaan orang lain, dan kita pun tidak terpengaruh dengan
keraguan orang lain. Karena kita lakukan bukan untuk orang lain, tapi hanya
untuk Allah.
Dari situ, ada beberapa cara lagi mengecek keikhlasan.
Apakah kita mempermasalahkan pandangan orang lain pada perbuatan kita?
Apakah
kita menjadi sedih ketika orang lain tidak mengapresiasi bahkan memandang negatif?
Apakah kita menjadi senang ketika orang lain memuji?
Apakah kita semakin
bersemangat ketika orang mengapresiasi?
Apakah semangat kita menurun ketika
orang tidak lagi melihat?
Apakah kita mengkhawatirkan bahwa orang lain akan
memandang kita buruk?
Apakah kita bertujuan untuk membanggakan apa yang kita
lakukan pada orang lain?
Bila salah satu dari pertanyaan tersebut masih dijawab
dengan “Ya”, barangkali kita masih perlu memperbaiki lagi keikhlasan kita.
Ikhlaskan, ikhlaskan, ikhlaskan. Karena semua untuk Allah.
No comments:
Post a Comment