Monday, October 1, 2012

Tingkat Ujian Iklhas



Ikhlas, sepertinya ada tingkat-tingkatnya. Dan untuk mencapai suatu tingkat, ada ujiannya masing-masing. Saya coba merenungkan tingkat ujian ikhlas, dalam konteks berinfaq, membantu orang lain, atau memberikan pinjaman untuk orang lain.

Tingkat pertama adalah ketika ada orang yang membutuhkan, bisa jadi tidak ada hubungannya dengan kita, orang tersebut tidak meminta, namun melihat keadannya, kita menjadi jatuh kasihan, lalu kita memberi bantuan. Misalnya kasus-kasus bencana alam, orang sakit parah yang membutuhkan dana, anak yatim, dll. Biasanya di sini relatif mudah, karena inisiatif datang dari kita sendiri. Masalahnya “hanya” apakah kita tergerak untuk membantu atau tidak. Ini keiklhasan tingkat pertama.

Berikutnya, inisiatif datang dari orang lain, yang datang meminta pertolongan kita, bisa berupa permintaan dana atau juga pinjaman. Golongan pertama adalah mereka yang interaksi dengan kita cukup baik. Mereka adalah teman, atau saudara yang selama ini memang sering bersilaturahim, atau karyawan kita yang bekerja rajin, dan kita mengetahui bahwa mereka benar-benar sedang membutuhkan, dan jika meminjam mereka akan memenuhi janji untuk mengembalikan.

Dalam kasus ini juga biasanya relatif mudah. Tinggal masalah ketersediaan dana, seberapa dari yang mereka minta, yang kita ikhlas untuk berikan. Pernah saya dengar, jika ada yang meminta pertolongan sejumlah uang, dan kita memang memiliki sejumlah itu, berikanlah, jangan "menawar".
Ini ujian keikhlasan tingkat kedua.

Yang paling sulit, adalah kasus berikut.
Yang datang minta pertolongan kepada kita adalah mereka yang kita sudah ketahui sering ingkar janji. Teman atau saudara yang dulu pernah meminjam dan belum mengembalikan, sekarang meminjam lagi. Saudara yang entah kenapa nasibnya selalu buruk, dan selalu datang lagi untuk meminta tolong. Atau karyawan kita yang kerjanya berantakan, sering tidak masuk, kurang berkomitmen,dan bahkan kita  ragukan kejujurannya.

Inilah ujian ikhlas yang rasanya paling berat.

Karena di satu sisi kita tidak suka dengan orang yang kita hadapi. Tetapi dia "tega-teganya" meminta pertolongan pada kita. Barangkali inilah tanda kita sebenarnya masih belum ikhlas dalam memberi.

Ketika kita melakukan penilaian, "Oh orang ini baik, OK, saya akan bantu." Atau "OK, orang ini memang perlu dibantu, saya akan bantu."  Barangkali di situ ada sedikit pamrih? Siapakah kita, sehingga berhak melakukan seleksi atas orang yang akan kita tolong?

Barangkali siapa pun yang minta tolong pada kita, itulah "kiriman" dari Allah, yang seharusnya tidak lagi kita perlu evaluasi. Berikan saja, tidak usah pikirkan. Ikhlaskan, ikhlaskan.

Dengan alasan, "Orang ini perlu dididik, agar bisa lebih berkomitmen." Apa benar dengan tidak membantu, lalu kita berhasil mendidik? Yang sudah jelas terjadi adalah, kita jelas-jelas tidak membantu.

Kadang rasa tidak suka, rasa kesal, rasa diperlakukan tidak adil, membuat kita jadi berlaku juga tidak adil. Jangan sampai. Sabarlah, doakanlah, ikhlaskanlah.

Berat? Sangat. Saya pun belum tahu, apakah bisa melakukannya..

No comments: