Ikhlas, sepertinya ada tingkat-tingkatnya. Dan untuk mencapai
suatu tingkat, ada ujiannya masing-masing. Saya coba merenungkan tingkat ujian
ikhlas, dalam konteks berinfaq, membantu orang lain, atau memberikan pinjaman
untuk orang lain.
Tingkat pertama adalah ketika ada orang yang membutuhkan, bisa
jadi tidak ada hubungannya dengan kita, orang tersebut tidak meminta, namun
melihat keadannya, kita menjadi jatuh kasihan, lalu kita memberi bantuan.
Misalnya kasus-kasus bencana alam, orang sakit parah yang membutuhkan dana,
anak yatim, dll. Biasanya di sini relatif mudah, karena inisiatif datang dari
kita sendiri. Masalahnya “hanya” apakah kita tergerak untuk membantu atau
tidak. Ini keiklhasan tingkat pertama.
Berikutnya, inisiatif datang dari orang lain, yang datang meminta
pertolongan kita, bisa berupa permintaan dana atau juga pinjaman. Golongan
pertama adalah mereka yang interaksi dengan kita cukup baik. Mereka adalah
teman, atau saudara yang selama ini memang sering bersilaturahim, atau karyawan
kita yang bekerja rajin, dan kita mengetahui bahwa mereka benar-benar sedang
membutuhkan, dan jika meminjam mereka akan memenuhi janji untuk mengembalikan.
Dalam kasus ini juga biasanya relatif mudah. Tinggal masalah
ketersediaan dana, seberapa dari yang mereka minta, yang kita ikhlas untuk
berikan. Pernah saya dengar, jika ada yang meminta pertolongan sejumlah uang,
dan kita memang memiliki sejumlah itu, berikanlah, jangan "menawar".
Ini ujian keikhlasan tingkat kedua.
Yang paling sulit, adalah kasus berikut.
Yang datang minta pertolongan kepada kita adalah mereka yang kita
sudah ketahui sering ingkar janji. Teman atau saudara yang dulu pernah meminjam
dan belum mengembalikan, sekarang meminjam lagi. Saudara yang entah kenapa
nasibnya selalu buruk, dan selalu datang lagi untuk meminta tolong. Atau karyawan
kita yang kerjanya berantakan, sering tidak masuk, kurang berkomitmen,dan
bahkan kita ragukan kejujurannya.
Inilah ujian ikhlas yang rasanya paling berat.
Karena di satu sisi kita tidak suka dengan orang yang kita hadapi.
Tetapi dia "tega-teganya" meminta pertolongan pada kita. Barangkali
inilah tanda kita sebenarnya masih belum ikhlas dalam memberi.
Ketika kita melakukan penilaian, "Oh orang ini baik, OK, saya
akan bantu." Atau "OK, orang ini memang perlu dibantu, saya akan
bantu." Barangkali di situ ada
sedikit pamrih? Siapakah kita, sehingga berhak melakukan seleksi atas orang
yang akan kita tolong?
Barangkali siapa pun yang minta tolong pada kita, itulah
"kiriman" dari Allah, yang seharusnya tidak lagi kita perlu evaluasi.
Berikan saja, tidak usah pikirkan. Ikhlaskan, ikhlaskan.
Dengan alasan, "Orang ini perlu dididik, agar bisa lebih
berkomitmen." Apa benar dengan tidak membantu, lalu kita berhasil
mendidik? Yang sudah jelas terjadi adalah, kita jelas-jelas tidak membantu.
Kadang rasa tidak suka, rasa kesal, rasa diperlakukan tidak adil,
membuat kita jadi berlaku juga tidak adil. Jangan sampai. Sabarlah, doakanlah,
ikhlaskanlah.
Berat? Sangat. Saya pun belum tahu, apakah bisa melakukannya..
No comments:
Post a Comment