Sekarang ini, entah hanya di Indonesia saja, atau di tempat lain juga, kebenaran terasa menjadi sangat nisbi, orang
sering tidak terlatih untuk memilih mana yang menjadi haknya, dan mana yang
bukan.
Di kantor saya, sering ada rapat atau pertemuan, dan untuk acara
itu disediakan snack. Panitia dan sekretaris seringkali membeli snack dengan jumlah
yang melebihi peserta acara, untuk teman-teman lain yang ada di situ, supaya
ikut merasakan.
Baik, tapi sebenarnya tidak pada tempatnya.
Karena tujuan awal pembagian snack adalah untuk para peserta rapat
dan pertemuan, yang tentunya mengeluarkan upaya lebih dibandingkan dengan teman-teman
lain yang tidak ikut. Maka sebenarnya teman-teman yang lain tidak berhak untuk
memperoleh snack, dan tidak perlu sedih kalau tidak mendapatkan snack. Toh
tidak sedih juga ketika tidak diberi tugas untuk ikut pertemuan.
Tetapi, biasanya posisi para penerima ini agak sulit juga. Karena
dia sebenarnya tidak meminta, tetapi diberi oleh panitia. Terasa kurang sopan,
jika diberi lalu kita menolak. Atau seharusnya kita biasakan untuk menolak ya?
Yang lebih parah lagi, jika ada yang dengan sengaja mengambil
sesuatu yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu, padahal ia tidak termasuk
dalam kelompok itu.
Kembali ke contoh pembagian snack ketika ada rapat dan pertemuan.
Ada orang-orang yang memang berusaha mencari kesempatan, untuk “kebagian”
snack, walaupun dia tidak ikut acaranya. Ini kondisi yang menyedihkan
sebenarnya. Demi sesuatu yang “enak”, “gratis”, maka dia dengan sengaja “berpura-pura”
atau “berusaha” masuk ke kelompok yang sebenarnya bukan kelompoknya, dan mendapatkan
sesuatu yang sebenarnya bukan haknya.
Dan yang lebih menyedihkan lagi, dia berbangga dengan itu, “Gue
dong ngga ikutan rapatnya, tapi dapet kuenya.”
Sungguh menyedihkan.
No comments:
Post a Comment