Ceramah Dzuhur hari ini disampaikan oleh Ust. Ahmad Sarwat.
Rukun puasa merupakan hal yang menjadi kerangka ibadah puasa, yang jika tidak dilakukan, maka puasanya menjadi tidak sah.
Rukun puasa ada dua, yaitu niat dan imsak.
Niat ada di dalam hati. Sebagian ulama menyatakan bahwa karena tidak dicontohkan oleh rasulullah, niat tidak boleh (bahkan haram) untuk diucapkan. Sebagian ulama tetap membolehkan untuk mengucapkan, namun yang terpenting bukan ucapan, yang terpenting adalah niat yang ada di dalam hati.
Niat untuk puasa wajib, harus dilakukan sebelum puasa dilaksanakan. Sedangkan niat untuk puasa sunnah, dapat dilakukan setelah puasa dilakukan, asalkan selama hari itu memang belum makan apa pun, dan belum sampai waktu maghrib.
Sebagaimana kisah Rasulullah yang suatu hari tidak berniat puasa, tetapi beliau belum makan sejak subuh. Ketika tiba waktu dzuhur, beliau bertanya kepada Aisyah, “Apakah ada makanan?”. Dan Aisyah menjawab “Tidak ada”. Maka Rasulullah berkata, “Kalau begitu aku berpuasa.”
Tentang niat untuk puasa Ramadhan ada ulama yang berpendapat bahwa niatnya dapat digabung untuk puasa 1 bulan, tetapi ada yang berpendapat bahwa setiap hari adalah terpisah, maka perlu niat di setiap harinya.
Imsak artinya menahan dari yang membatalkan. Berasal dari kata amsaka – yamsiku.
Dalam puasa seseorang melakukan imsak. Namun belum tentu orang yang imsak, dia berpuasa. Misalnya seseorang yang sudah sengaja membatalkan puasanya, maka dia harus tetap imsak sampai waktu berbuka, namun dia sudah tidak lagi berpuasa.
Kata imsak yang sering digunakan di Indonesia mengalami pergeseran makna, menjadi waktu bersiap-siap, sekitar 10 menit menjelang subuh. Dan sering ada pemahaman bahwa puasa dimulai sejak waktu “imsak” tersebut. Padahal, puasa sebenarnya dimulai di waktu subuh, bukan di 10 menit sebelum subuh.
Berkaitan dengan makan sahur di waktu adzan, ada hadits sahih yang menyatakan bahwa “Jika terdengar adzan subuh dan seseorang masih makan sahur, maka lanjutkanlah.” Maka kebanyakan ulama berpendapat bahwa adzan subuh yang dimaksud adalah adzan subuh pertama, yang biasa dikumandangkan di Mekkah dan Madinah, yang dikumandangkan sebelum waktu subuh yang sebenarnya. Sehingga, jika adzan subuh yang terdengar adalah waktu subuh yang sebenarnya, maka puasanya terhitung batal. Satu ulama berpendapat berbeda, yaitu Nasirudin Al Bani, yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah adzan subuh yang sebenarnya.
Berkaitan dengan makan minum di waktu puasa di antara fajar dan maghrib, maka ada 4 kondisi :
Pertama, jika seseorang lupa, maka ia tidak berdosa, dan puasanya tidak batal.
Kasusnya misalnya, seseorang di hari pertama Ramadhan, setelah tidur siang, bangun melihat makanan, lupa bahwa berpuasa, lalu makan. Maka ia tidak berdosa dan puasanya tidak batal.
Ada perbedaan antara lupa dan keliru.
Kasus kedua, jika seseorang keliru, maka ia tidak berdosa, tetapi puasanya batal.
Kasusnya misalnya, seseorang mengira waktu subuh belum masuk, lalu masih makan, padahal sebenarnya sudah subuh. Atau seseorang mengira waktu maghrib sudah tiba, lalu berbuka, padahal belum waktu maghrib. Maka ia tidak berdosa, tetapi puasanya batal, dan ia harus menggantinya di hari lain.
Kasus ketiga, jika seseorang memiliki udzur yang syar’i, sehingga dibolehkan untuk membatalkan puasa, misalnya orang sakit, dalam perjalanan, dll. Maka ia tidak berdosa, puasanya batal, dan harus menggantinya di hari lain.
Kasus keempat, jika seseorang sengaja membatalkan puasa dengan makan dan minum padahal tidak termasuk golongan yang memiliki udzur syar’i, maka puasanya batal, termasuk berdosa besar, dan wajib mengganti di hari lain.
Beberapa ulama menyamakan kasus ini dengan kasus berhubungan suami istri di siang hari bulan puasa, sehingga harus menerima hukuman yaitu membebaskan budak, atau memberi makan 60 orang miskin, atau berpuasa 60 hari berturut-turut.
Tanya Jawab :
Tentang puasa di hari Senin dan Kamis, apakah memungkinkan untuk puasa wajib (mengganti puasa ramadhan) sekaligus puasa sunnah?
Hari Senin dan Kamis memiliki kemuliaan, yaitu merupakan hari ketika amal diangkat ke langit, dan Rasulullah menyukai untuk berpuasa di hari mulia itu.
Maka puasa apa pun di kedua hari tersebut, memiliki nilai yang berbeda. Sehingga bukan “dobel niat” antara puasa sunnah dan puasa wajib, tetapi nilainya berbeda karena kemuliaan hari tersebut, dan hal ini berlaku untuk puasa wajib maupun puasa sunnah.
Puasa di hari Jumat saja, apakah dibolehkan?
Yang tidak dibolehkan adalah sengaja puasa di hari Jumat dengan meniatkan Jumat sebagai hari raya umat Islam, dan merutinkannya. Adapun jika puasa tertentu (misalnya puasa nadzar) yang jatuh 1 hari di hari Jumat, maka dibolehkan.
Wallahua’lam bissawab.