Ceramah Dzuhur kali ini disampaikan oleh Ust. Abdul Muhit Murtadho, Lc.
Membicarakan orang lain dapat dibagi dua, jika sesuai dengan kenyataan maka disebut ghibah. Jika tidak sesuai dengan kenyataan maka termasuk menyebarkan kedustaan.
Hukum dasar ghibah adalah haram.
Asal kata ghibah adalah dari kata ghaib, yaitu karena orang yang diperbincangkan tidak ada, dan biasanya yang diperbincangkan adalah hal yang dia tidak suka.
Dalam suatu kisah Rasulullah SAW mengingatkan Aisyah yang mengomentari Shofiyyah. Rasulullah bersabca, “Cukuplah Shofiya itu begini dan begini. Sesungguhnya apa yang telah diucapkan tadi jika dicampur dengan air lautan, maka seluruh air lautan akan tercemar karenanya.
Ghibah termasuk kedalam Al Kabair, yaitu dosa besar. Ghibah termasuk dalam bentuk kedzaliman, yang termasuk dalam salah satu dosa besar. Bahkan, dapat dikategorikan lebih besar dari zina dan minum khamr. Hal ini disebabkan karena ghibah berkaitan dengan hak orang lain, yang penyelesaiannya harus diminta dimaafkan kepada orang yang bersangkutan. Sedangkan dosa kepada Allah, penyelesaiannya “lebih sedikit syaratnya” yaitu menyesal, meminta ampun, dan berjanji tidak akan mengulangi.
Adapun dosa kepada orang lain termasuk ghibah, jika tidak dimaafkan oleh orang lain tersebut, maka dapat membangkrutkan di hari kiamat.
Rasulullah bersabda, “Tahukah kalian orang yang bangkrut? Yang datang membawa amalnya, tetapi pernah mengambil harta orang lain, ghibah. Maka dilunasi di akhirat dengan kebaikan yang dimilikinya, ketika dinar dan dirham tidak lagi berlaku.”
Ibnul Mubarak pernah mengatakan, “Jika pun aku akan melakukan ghibah, maka aku akan melakukan ghibah atas kedua orang tuaku, karena merekalah yang paling berhak menerima aliran kebaikan dariku.”
Ghibah termasuk juga yang dilakukan dengan isyarat, bahkan dengan hati yang su’uzhan.
Mendengarkan ghibah juga termasuk hal yang diharamkan.
Hal yang termasuk dalam lingkup ghibah adalah membicarakan kondisi fisik, akhlak, harta, pakaian, menirukan gaya bicara, gerak tubuh, serta membicarakan keluarganya.
Namun, ada 6 kondisi ghibah yang dibolehkan, yaitu sebagai berikut :
Pertama, at tadhollum, mengadukan kedzaliman orang lain kepada kita, kepada pihak yang bisa menghentikan, misalnya raja, hakim, penguasa.
Kedua, dalam rangka meminta bantuan untuk mengubah kemungkaran yang terjadi, kepada pihak yang memiliki kewenangan dan kekuatan untuk melakukan perubahan.
Hukum dasar yang digunakan adalah bahwa tidak dibolehkan membiarkan kemungkaran.
Ketiga, al istifta, yaitu meminta fatwa atau menanyakan hukum yang menyangkut kekurangan orang lain, kepada ustadz yang memiliki pemahaman tentang hukum. Sebaiknya tidak dilakukan di depan umum, dan lebih baik jika disamarkan, tidak perlu menyebutkan identitas pelaku.
Keempat, tahdirul muslimin minal syahr, yaitu memberi nasihat tentang keburukan yang bisa menimpa seseorang. Misalnya kita mengetahui keburukan seseorang yang tersembunyi, dan ada orang yang kita khawatirkan akan terjebak dengan orang tersebut. Yang harus diwaspadai adalah tidak boleh ditumpangi niat hasad. Atau misalnya ada rekan kita yang kurang amanah menjalankan tugas, maka kita dapat menyampaikan informasi tersebut ke atasannya.
Kelima, untuk orang yang melakukan kemaksiatan terbuka. Jika seseorang khilaf melakukan kemaksiatan lalu bertaubat, maka kita wajib menutupi aib tersebut.
Namun jika ada orang yang bermaksiat, sudah diperingatkan tidak juga berubah, dan bangga dengan kemaksiatan tersebut, maka membicarakannya termasuk hal yang dibolehkan.
Keenam, dalam rangka ta'rif, ketika ada seseorang memiliki ciri-ciri fisik yang merupakan kekurangan, dan dengan itulah dia dikenali, kita dapat menyebutkan kekurangan tersebut tanpa maksud merendahkan.
Dalam memuji pun kita harus berhati-hati, jangan sampai menggelincirkan orang yang dipuji.
No comments:
Post a Comment