Ceramah Dzuhur pertama di kantor saya, di hari ketiga Ramadhan, disampaikan oleh Ust. Hidayat Nur Wahid, dengan tema Memaknai Ramadhan untuk Membentuk Jiwa Kepemimpinan.
Dalam hadits dikatakan bahwa "Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinan kamu." (HR Bukhari dan Muslim)
Ramadhan adalah momentum untuk menginternalisasi makna kepimpinan, sebagaimana perintah puasa dalam Al Baqarah 183.
Kepemipinan diawali dengan kemampuan membuka diri untuk menyapa. Dalam ayat tersebut Allah menyapa manusia dengan posisi yang tinggi, yaa ayyuhalladziina aamanu. Sapaan yang membangkitkan, menyemangati. Bisa jadi kita kemarin gagal, selama Syawal – Sya’ban lalu banyak pelanggaran yang kita lakukan, namun Allah menyapa kita dengan sapaan tersebut.
Maka pemimpin harus mampu membangkitkan semangat tim. Bahwa mereka hebat, bahwa mereka sanggup. Anggota tim akan berkomitmen melakukan tugasnya. Lebih jauh lagi, dalam setiap anggota tim, jiwa kepimpinan harus hadir. Dalam bentuk silaturahim, hubungan yang baik antar anggota tim, tidak saling menonjolkan diri, serta adanya semangat kebersamaan.
Ramadhan dapat menjadi momentum untuk bersilaturahim, kepada teman yang sudah lama tidak berjumpa, berikan sapaan baik melalui telepon maupun SMS, agar hubungan baik senantiasa terjalin.
Aspek kedua dari kepemimpinan adalah kesadaran akan sejarah, bahwa perilakunya bisa dikenang, fenomenal, dan bersejarah. Bukan kepempimpinan yang melakukan sesuatu secara biasa-biasa saja, lalu setelah itu dilupakan orang.
Dalam ayat tadi dikatakan “kama kutiba ‘alalladziina min qablikum”, sebagaimana diwajibkan kepada umat sebelum kamu. Hal ini dapat dimaknai sebelum Rasulullah, atau sebelum kita (orang tua, kakek, dst). Di sini ditekankan tentang adanya rangkaian sejarah. Bahwa sesuatu bukan hadir tiba-tiba, bukan tanpa sengaja. Kepemimpinan kita harus bersejarah.
Sedikit kisah tentang Imam Syafi’i, beliau hafal Al Qur’an diusia 9 tahun, dan di usia 15 sudah hafal banyak hadits. Ketika belajar kepada Imam Malik, seringkali posisinya dengan mata terpejam, kepala tertunduk, tanpa menulis, sementara teman lainnya menulis. Namun ketika diberikan pertanyaan, hanya Imam Syafi’i yang dapat menjawab semua pertanyaan dengan benar. Semoga demikian juga dengan jamaah dzuhur yang saat itu sedang menundukkan kepala dan memejamkan mata
Ada pandangan bahwa di tengah persaingan global, puasa dianggap menurunkan produktivitas. Maka dicari makna ayat tsb, yang menyatakan “kutiba”, yaitu dituliskan. Bukan “ujiba”, diwajibkan, atau “furidha”, di-fardhu-kan. Ini adalah pemahaman yang kurang mendalam. Karena dalam Bahasa Arab, kewajiban yang tidak lagi disebutkan sebagai kewajiban, maka kedudukannya lebih dari wajib.
Rasulullah mengimplementasikan Al Qur'an dengan praktek yang kongkrit. Beliau adalah pemimpin terbesar dengan kepemimpinan yang mensejarah. Maka kita sebagai umat beliau, selayaknya mencontoh beliau, dengan melaksanakan bukan hanya puasa biasa, dan menjadi pemimpin yang layak diingat dan ditulis oleh sejarah. Rasulullah adalah contohnya.
Aspek terakhir adalah penutup ayat yaitu “La'allakum tattaquun”. Maka pemimpin harus dapat membawa kepada keunggulan manusia sekarang maupun di masa depan, di dunia maupun di akhirat, fisik dan spiritual. Pemimpin harus mempu menghadirkan nilai takwa.
Orang yang paling mulia adalah yang paling bertakwa. Dalam Al Hujurat 13 disebutkan :
“Wahai manusia. Sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu adalah yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”
Manusia disapa sebagai manusia, dijelaskan tentang penciptaan sebagai laki-laki dan perempuan serta bersuku-suku, adalah aspek dunia, di akhir ada Allah sebagai aspek akhirat.
Kembali ke ayat Al Baqarah 183, “tattaqun”, bertakwa artinya selalu berproses, tidak pernah berhanti. Bentuk katanya dalam bahasa Arab disebut fi’il mudhori’, yang berarti saat ini dan akan datang, berkelanjutan, dan dapat diusahakan. Dengan ketakwaan, manusia tidak akan kehilangan orientasi diri. Ada filter terhadap perilaku yang menyimpang. Dan pada akhirnya menuju rahmatan lil 'alamin.
Peluang besar Allah hadirkan untuk kita di bulan Ramadhan, untuk menjadi pemimpin seperti yang dicontohkan Rasulullah.
Kualitas rakyat menghadirkan pemimpin. Bagaimana rakyatnya, demikianlah pemimpin yang akan mereka pilih. Maka jika kita menginginkan pemimpin yang baik, kita harus memperbaiki kualitas rakyatnya, sedikit demi sedikit.
No comments:
Post a Comment