Yang
kedua, Al Isti’anah Billah (meminta bantuan kepada Allah) dan memohon
kepadaNya. Bagi yang inginmenghafal Al Qur’an,
Al Qur’an itu mudah. Akan tetapi ia (Al Qur’an) tidak diminta kecuali dari yang
tepat, yaitu dengan engkau memohon kepada Allah swt dengan mengiba, dengan sikap sangat butuh, sangat mengharap,
dan sangat menginginkan.
Bagaimana jika engkau membutuhkan
sesuatu dalam urusan dunia, engkau meminta kepada Allah. Misalnya : “Ya, Allah
anugerahkan kepada saya keturunan.” Engkau sambil menangis, engkau sholat malam
dan berdoa,” Ya Allah anugerahkan kepada saya anak laki-laki, anugerahkan
kepada saya anak perempuan. Ya, Allah jagalah istri/ suami saya. Ya, Allah jagalah
anak saya.Ya, Allah sembuhkan Ibu saya yang sedang sakit, sembuhkan anak saya
yang sakit.” Bukankah engkau memohon kepada Allah dengan sangat mengiba dan
menangis? Demikian juga Al Qur’an harus
diminta dari Allah, karena Al Qur’an adalah Kalamullah. Hal itu ketika Al
Qur’an menjadi obsesi yang hakiki, tidak sekedar mengatakan saya ingin
menghafal Al Qur’an. Seperti ilmu yang lain atau sekolah, engkau bisa mempelajari
apa saja di sekolah, yang semuanya tempatnya adalah di akal. Hal ini engkau
lakukan karena kebutuhan, ingin ijazah, ingin jadi sarjana, atau magister.
Bukankah engkau bersungguh-sungguh menuntutnya? Hal ini adalah hal sesuatu
logis. Tapi Al Qur’anul Karim, engkau harus memintanya kepada Allah dengan
sangat dan mengiba.
Yang ketiga adalah Ash Shidq Fi
Ath Thalab (benar dalam permohonan). Apa makna Ash Shidq? Tidak sekedar
shidq al qaul (benar dalam berkataan), tetapi juga shidqul ‘amal, shidqul
fi’li, shidqul ‘azm,dan AshShidqdalam merealisasikan ‘azm. Lima tingkatan
dalam Ash Shidq. Tapi kapan tampak Ash Shidq Al Haqiqi? Yaitu
Jika engkau mempraktekkan amaliah menghafal, shidqul qoul, shidqul fi’li, dan
shidqul ‘Azm.‘Azmyang hakiki. Dan ‘Azm ini tidak mungkin terwujud kecuali jika
kita memahami nilai Al Qur’anul Karim dan urgensinya yang akan kita rinci di
Akhir. Bagaimana wujud Ash Shidq dalam praktek? Yaitu engkau mengkhsuskan waktu satu jam untuk Al Qur’an setiap hari.
Bukan merupakan sikap Ash Shidq,misalnya suatu hari engkau ditelpon oleh
temanmu dan mau datang kerumahmu di waktu qur’anmu, kemudian engkau keluar dan
mengatakan ahlan wasahlan. Ini adalah salah dan penelewengan. Pertanyaannya,
mana yang lebih penting : temanmu atau Al Qur’an?! Satu jam bersama
temanmu atau satu jam bersama Allah? Saya bertanya kepadamu, jika engkau punya
janji –saya tahu kalian di Indonesia suka bermasalah dalam urusan
janji – jika temanmu berjanji kepadamu bahwa ia akan datang kepadamu jam
lima, namun dia datang jam tujuh, tentu engkau akan marah bukan? Dan engkau
mengatakan,”Kenapa kamu terlambat, kenapa engkau tinggalkan begitu saja?”
Lebih-lebih Al Qur’an yang mulia, Al Qur’an tidak menerima sekutu.Jika engkau
membuat jadwal dengan Al Qur’an, maka engkau harus menepatinya. Kita marah jika
orang terlambat memenuhi janji dengan kita. Lalu bagaimana dengan janji kita
dengan Allah? Mana yang lebih utama engkau tepati janjinya, Allah atau manusia?
Bersikap benarlah kepada Allah. Karena itu, waktu dengan Al Qur’an adalah waktu
yang suci. Maka Ash Shidq di sini adalah Ash Shidq dalam praktek.
Jika engkau langgar waktumu dengan Al Qur’an satu kali saja, maka engkau akan
melakukan pelanggaran –pelanggaran setiap kali. Tidak ada alasan apapun yang
membenarkan tidak adanya sikap Ash Shidq dengan Al Qur’an. Ini penting
sekali.
Yang keempat, Shuhbatul Qur’an (pertemanan
dengan Al Qur’an). Allah swt berfirman : “Ingatlah, dengan berdzikir kepada
Allah hati menjadi tenang.” ( QS. Ar Ra’d :28). Maka jika engkau ingin
menghafal Al Qur’an, jangan asing terhadap Al Qur’an. Bagamana engkau
ingin menghafal Al Qur’an, tapi engkau tidak membuka Al Qur’an dalam sepekan
kecuali hanya satu kali, atau tiga hari sekali? Jika seperti itu engkau tidak
akan bisa menghafal Al Qur’an. Maka engkau harus menjadikan Al Qur’an
sebagai teman. Ash Shuhbah (pertemanan) itulah yang akan membantumu dalam
menghafal. Jika Al Qur’an telah menjadi temanmu yang spesial, maka engkau akan
bisa menghafal Al Qur’an dengan mudah.
Bagaimana jika engkau merasa sedih
atau capek, tentu engkau akan mencari orang yang terdekatdenganmu bukan?
Misalnya, ibumu, saudaramu, atau temanmu di sekolah. Engkau mengadu kepadanya engkau
duduk dengannya dan menyampaikan, “Saya sedang sedih, saya punya masalah ini
dan itu”. MakaAl Qur’an harus menjadi yang paling akrab dengan kita dari orang
yang paling dekat dengan kita, dimana AlQur’an menjadi tempat pengaduan kita
dan peristirahatan jiwa kita. Dan ketika Al Qur’an telah menjadi temanmu, maka
Al Qur’an-lah yang menemanimu dalam kesendirianmu, dan engkau duduk bersamanya,
dan engkau habiskan waktu yang lama bersama Al Qur’an, Al Qur’an tidak jauh
dari matamu.
Dan ini menuntut kita untuk punya
Mushaf teman, yang mana kita (di Palestina) menamainya Mushaf Huffadh atau
Mushaf Shohib. Maka engkau harus punya mushaf yang menemanimu
dimanapun.Pertemanan dengan Al Qur’an, kita harus punya wirid harian dengan Al
Qur’an. dan wirid harian berbeda dengan hafalan. Apa maknanya wirid harian?
Yaitu engkau harus membaca Al Qur’an paling sedikit satu juz dalam sehari,
sehingga engkau mengkhatamkan Al Qur’an setiap bulan sekali. Jika engkau
mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali, maka berarti Al Qur’an dari Awal sampai
akhir melewati hatimu secara harian. Demikianlah engkau menjadi akrab dengan Al
Qur’an, sehingga ketika engkau membuka satu halaman mushfaf engkau sudah
familiar dengannya. Seperti jika engkau sudah akrab dengan temanmu, engkau sudah
terbiasa dengannya, setiap hari engkau bertemu dengannya, setiap hari duduk
dengannya. Jika satu hari ia tidak keliahatan, engkau menelponnya, ”Di mana
kamu wahai fulan? Hari ini saya merasa ada yang kurang, saya tidak melihat kamu
hari ini.” Tanyakan pada dirimu, dalam sehari engkau tidak baca Al Qur’an, “Apakah
merasa ada sesuatu yang kurang?” Jika engkau tidak merasa, berarti tidak ada
pertemanan.
Pertemanan adalah adanya perasaan
kehilangan, perasaan kehilangan Al Qur’an, engkau merasa rindu kepadanya,
seperti engkau rindu kepada ibumu, ayahmu, atau saudaramu. Engkau menunggu
waktu di mana kamu akan duduk bersama Al Qur’an.Tentu saja pertemanan ini
diterjemahkan dalam dua hal :
Yang pertama : Al Hubb (rasa
cinta) terhadap Al Qur’an. jika engkau mencitainya, engkau akan merasa butuh
terhadapnya. Seperti jika enkau tidak makan dan tidak minum, engkau tidak bisa
hidup. Apakah kita bisa tidak makan dan minum? Demikianlah Al Qur’an harus
menjadi kebutuhan, sehingga engkau tidak bisa hidup tanpanya. Tentu saja hal
ini perlu pikiran yang totalitas dan hati yang bersih. Hati yang disibukkan
dengan urusan dunia, misalnya hati kita sibuk dengan nyanyian, hal-hal yang
melenakan, atau games. jika hati kita sibuk maka tidak ada tempat buat Al
Qur’an, maka tidak perlu engkau capek-capek menghafal Al Qur’an. Engkau ambil
dunia atau engkau ambil Al Qur’an. Karena Al Qur’an adalah mulia dan tidak
menerima sekutu. Jika ada sesuatu yang mengalahkan Al Qur’an dihatimu, ada
sesuatu yang lebih engkau cintai dari Al Qur’an, maka tidak ada gunanya engkau
capek-capek menghafal.
Yang kedua : ‘Adamu Al Istihya’
bihi (tidak malu dengan Al Qur’an). Apa maksudnya? Pertemanan menghasilkan
keakraban. Seperti jika engkau duduk dengan sahabatmu, apakah engkau merasa
malu bersamanya? Jika ada orang lewat, apakah engkau sembunyikan temanmu,
sehingga tidak ada yang melihatnya? Engkau malu, atau engkau meninggalkannya,
sehingga orang tidak melihatmu? Pertanyaannya : Apakah engkau malu bersama Al
Qur’an? Misalnya jika engkauberada di bis, apa masalahnya engkau membuka
mushaf? Apa masalahnya engkau membawa Al Qur’an dengan tanganmu, dan engkau
berjalan di pasar? Sebagian orang merasa malu. Misalnya di busway atau
di jalan, dia mengatakan, “Saya malu pada orang-orang.” Apakah engkau malu
bersama Al Qur’an dari manusia? Apakah Al Qur’an adalah susuatu yang membuat
malu? Ini adalah tingkatan yang penting, yaitu engkau mencapai rasa bangga
terhadap Al Qur’an.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment