Thursday, July 26, 2012

Kemudahan Menghafal Al Qur'an (2)



Yang kedua, Al Isti’anah Billah (meminta bantuan kepada Allah) dan memohon kepadaNya. Bagi yang inginmenghafal Al Qur’an, Al Qur’an itu mudah. Akan tetapi ia (Al Qur’an) tidak diminta kecuali dari yang tepat, yaitu dengan engkau memohon kepada Allah swt dengan  mengiba, dengan sikap sangat butuh, sangat mengharap, dan sangat menginginkan.

Bagaimana jika engkau membutuhkan sesuatu dalam urusan dunia, engkau meminta kepada Allah. Misalnya : “Ya, Allah anugerahkan kepada saya keturunan.” Engkau sambil menangis, engkau sholat malam dan berdoa,” Ya Allah anugerahkan kepada saya anak laki-laki, anugerahkan kepada saya anak perempuan. Ya, Allah jagalah istri/ suami saya. Ya, Allah jagalah anak saya.Ya, Allah sembuhkan Ibu saya yang sedang sakit, sembuhkan anak saya yang sakit.” Bukankah engkau memohon kepada Allah dengan sangat mengiba dan menangis?  Demikian juga Al Qur’an harus diminta dari Allah, karena Al Qur’an adalah Kalamullah. Hal itu ketika Al Qur’an menjadi obsesi yang hakiki, tidak sekedar mengatakan saya ingin menghafal Al Qur’an. Seperti ilmu yang lain atau sekolah, engkau bisa mempelajari apa saja di sekolah, yang semuanya tempatnya adalah di akal. Hal ini engkau lakukan karena kebutuhan, ingin ijazah, ingin jadi sarjana, atau magister. Bukankah engkau bersungguh-sungguh menuntutnya? Hal ini adalah hal sesuatu logis. Tapi Al Qur’anul Karim, engkau harus memintanya kepada Allah dengan sangat dan mengiba.

Yang ketiga adalah Ash Shidq Fi Ath Thalab (benar dalam permohonan). Apa makna  Ash Shidq? Tidak sekedar shidq al qaul (benar dalam berkataan), tetapi juga shidqul ‘amal, shidqul fi’li, shidqul ‘azm,dan AshShidqdalam merealisasikan ‘azm. Lima tingkatan dalam Ash Shidq. Tapi kapan tampak  Ash Shidq Al Haqiqi? Yaitu Jika engkau mempraktekkan amaliah menghafal, shidqul qoul, shidqul fi’li, dan shidqul ‘Azm.‘Azmyang hakiki. Dan ‘Azm ini tidak mungkin terwujud kecuali jika kita memahami nilai Al Qur’anul Karim dan urgensinya yang akan kita rinci di Akhir. Bagaimana wujud  Ash Shidq dalam praktek? Yaitu engkau mengkhsuskan waktu satu jam untuk Al Qur’an setiap hari. Bukan merupakan sikap Ash Shidq,misalnya suatu hari engkau ditelpon oleh temanmu dan mau datang kerumahmu di waktu qur’anmu, kemudian engkau keluar dan mengatakan ahlan wasahlan. Ini adalah salah dan penelewengan. Pertanyaannya, mana yang lebih penting : temanmu atau Al Qur’an?! Satu  jam bersama temanmu atau satu jam bersama Allah? Saya bertanya kepadamu, jika engkau punya janji –saya tahu kalian di Indonesia suka bermasalah dalam urusan janji – jika temanmu berjanji kepadamu bahwa ia akan datang kepadamu jam lima, namun dia datang jam tujuh, tentu engkau akan marah bukan? Dan engkau mengatakan,”Kenapa kamu terlambat, kenapa engkau tinggalkan begitu saja?” Lebih-lebih Al Qur’an yang mulia, Al Qur’an tidak menerima sekutu.Jika engkau membuat jadwal dengan Al Qur’an, maka engkau harus menepatinya. Kita marah jika orang terlambat memenuhi janji dengan kita. Lalu bagaimana dengan janji kita dengan Allah? Mana yang lebih utama engkau tepati janjinya, Allah atau manusia? Bersikap benarlah kepada Allah. Karena itu, waktu dengan Al Qur’an adalah waktu yang suci. Maka Ash Shidq di sini adalah Ash Shidq dalam praktek. Jika engkau langgar waktumu dengan Al Qur’an satu kali saja, maka engkau akan melakukan pelanggaran –pelanggaran setiap kali. Tidak ada alasan apapun yang membenarkan tidak adanya sikap Ash Shidq dengan Al Qur’an. Ini penting sekali.

Yang keempat, Shuhbatul Qur’an (pertemanan dengan Al Qur’an). Allah swt berfirman : “Ingatlah, dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tenang.” ( QS. Ar Ra’d :28). Maka jika engkau ingin menghafal Al Qur’an, jangan asing terhadap Al Qur’an. Bagamana engkau ingin menghafal Al Qur’an, tapi engkau tidak membuka Al Qur’an dalam sepekan kecuali hanya satu kali, atau tiga hari sekali? Jika seperti itu engkau tidak akan bisa menghafal Al Qur’an. Maka engkau harus menjadikan Al Qur’an sebagai teman. Ash Shuhbah (pertemanan) itulah yang akan membantumu dalam menghafal. Jika Al Qur’an telah menjadi temanmu yang spesial, maka engkau akan bisa menghafal Al Qur’an dengan mudah.

Bagaimana jika engkau merasa sedih atau capek, tentu engkau akan mencari orang yang terdekatdenganmu bukan? Misalnya, ibumu, saudaramu, atau temanmu di sekolah. Engkau mengadu kepadanya engkau duduk dengannya dan menyampaikan, “Saya sedang sedih, saya punya masalah ini dan itu”. MakaAl Qur’an harus menjadi yang paling akrab dengan kita dari orang yang paling dekat dengan kita, dimana AlQur’an menjadi tempat pengaduan kita dan peristirahatan jiwa kita. Dan ketika Al Qur’an telah menjadi temanmu, maka Al Qur’an-lah yang menemanimu dalam kesendirianmu, dan engkau duduk bersamanya, dan engkau habiskan waktu yang lama bersama Al Qur’an, Al Qur’an tidak jauh dari matamu.

Dan ini menuntut kita untuk punya Mushaf teman, yang mana kita (di Palestina) menamainya Mushaf Huffadh atau Mushaf Shohib. Maka engkau harus punya mushaf yang menemanimu dimanapun.Pertemanan dengan Al Qur’an, kita harus punya wirid harian dengan Al Qur’an. dan wirid harian berbeda dengan hafalan. Apa maknanya wirid harian? Yaitu engkau harus membaca Al Qur’an paling sedikit satu juz dalam sehari, sehingga engkau mengkhatamkan Al Qur’an setiap bulan sekali. Jika engkau mengkhatamkan Al Qur’an sebulan sekali, maka berarti Al Qur’an dari Awal sampai akhir melewati hatimu secara harian. Demikianlah engkau menjadi akrab dengan Al Qur’an, sehingga ketika engkau membuka satu halaman mushfaf engkau sudah familiar dengannya. Seperti jika engkau sudah akrab dengan temanmu, engkau sudah terbiasa dengannya, setiap hari engkau bertemu dengannya, setiap hari duduk dengannya. Jika satu hari ia tidak keliahatan, engkau menelponnya, ”Di mana kamu wahai fulan? Hari ini saya merasa ada yang kurang, saya tidak melihat kamu hari ini.” Tanyakan pada dirimu, dalam sehari engkau tidak baca Al Qur’an, “Apakah merasa ada sesuatu yang kurang?” Jika engkau tidak merasa, berarti tidak ada pertemanan.

Pertemanan adalah adanya perasaan kehilangan, perasaan kehilangan Al Qur’an, engkau merasa rindu kepadanya, seperti engkau rindu kepada ibumu, ayahmu, atau saudaramu. Engkau menunggu waktu di mana kamu akan duduk bersama Al Qur’an.Tentu saja pertemanan ini diterjemahkan dalam dua hal :

Yang pertama :  Al Hubb (rasa cinta) terhadap Al Qur’an. jika engkau mencitainya, engkau akan merasa butuh terhadapnya. Seperti jika enkau tidak makan dan tidak minum, engkau tidak bisa hidup. Apakah kita bisa tidak makan dan minum? Demikianlah Al Qur’an harus menjadi kebutuhan, sehingga engkau tidak bisa hidup tanpanya. Tentu saja hal ini perlu pikiran yang totalitas dan hati yang bersih. Hati yang disibukkan dengan urusan dunia, misalnya hati kita sibuk dengan nyanyian, hal-hal yang melenakan, atau games. jika hati kita sibuk maka tidak ada tempat buat Al Qur’an, maka tidak perlu engkau capek-capek menghafal Al Qur’an. Engkau ambil dunia atau engkau ambil Al Qur’an. Karena Al Qur’an adalah mulia dan tidak menerima sekutu. Jika ada sesuatu yang mengalahkan Al Qur’an dihatimu, ada sesuatu yang lebih engkau cintai dari Al Qur’an, maka tidak ada gunanya engkau capek-capek menghafal.

Yang kedua : ‘Adamu Al Istihya’ bihi (tidak malu dengan Al Qur’an). Apa maksudnya? Pertemanan menghasilkan keakraban. Seperti jika engkau duduk dengan sahabatmu, apakah engkau merasa malu bersamanya? Jika ada orang lewat, apakah engkau sembunyikan temanmu, sehingga tidak ada yang melihatnya? Engkau malu, atau engkau meninggalkannya, sehingga orang tidak melihatmu? Pertanyaannya : Apakah engkau malu bersama Al Qur’an? Misalnya jika engkauberada di bis, apa masalahnya engkau membuka mushaf? Apa masalahnya engkau membawa Al Qur’an dengan tanganmu, dan engkau berjalan di pasar? Sebagian orang merasa malu. Misalnya di busway atau di jalan, dia mengatakan, “Saya malu pada orang-orang.” Apakah engkau malu bersama Al Qur’an dari manusia? Apakah Al Qur’an adalah susuatu yang membuat malu? Ini adalah tingkatan yang penting, yaitu engkau mencapai rasa bangga terhadap Al Qur’an.

(bersambung)

No comments: