Ceramah dari Ustadz Muhsinin Fauzi.
Dalam kehidupan di dunia, proses mengikuti hukum sebab akibat, rumus yang berlaku di alam semesta, yang sama baik bagi orang kafir maupun muslim. Namun ada kalanya bagi muslim ada pertolongan-pertolongan khusus, walaupun masih tetap dalam koridor hukum sebab akibat tersebut.
Untuk kehidupan di akhirat, ada syarat yaitu keimanan.
Kejujuran ada 3 :
1 . Ash shidqu bin niyah, kejujuran dalam niat.
Ditandai dengan adanya upaya, pengorbanan, dan prioritas.
Misalnya jika kita berniat untuk bangun malam untuk shalat tahajjud. Maka kita harus berusaha maksimal dengan menyetel alarm, tidur lebih cepat, atau minta teman membangunkan.
Niat sungguh dibuktikan, kalau dimulai akan Allah bantu untuk mewujudkan. Motivasi yang kuat, adalah hasil dari kejujuran niat.
2. Ash shidqu fil qoul, kejujuran dalam perkataan.
Kejujuran tidak sama dengan mengatakan seluruhnya.
Contoh bahwa tidak mengatakan seluruhnya dibolehkan adalah pada kisah Rasulullah SAW ketika dalam Perang Badar. Bersama Abu Bakar Rasullah melakukan pengintaian ke wilayah Quraisy. Di tengah perjalanan Rasulullah berjumpa dengan seorang Badui. Lalu Rasulullah bertanya, apa yang dia dengar tentang orang Quraisy. Orang Badui menjawab,”Katakan siapa kalian, akan kuberitahu”. Rasulullah pun menjawab lagi, “Bicaralah dulu, nanti akan kuberitahukan siapa kami”. Maka orang Badui yang ternyata seorang ahli yang cerdas ini pun menjelaskan secara rinci , “Saya dengar bulan xx orang Quraisy berangkat, jika benar, maka mereka sudah sampai di tempat xx. Dan saya dengar Muhammad berangkat bulan yy, jika benar, maka sekarang mereka sudah sampai di tempat yy.” Rasulullah pun mengucapkan terima kasih dan bergerak pergi. Orang Badui pun menagih janji, “Siapa kalian”. Rasulullah menjawab, “Nahnu min maa’.” Yang berarti, “Kami dari air”, yang dapat berarti daerah tertentu yang biasa disebut dengan air, tetapi bisa juga berarti sebagaimana setiap manusia yang berasal dari air. Dan Rasulullah pun segera berlalu.
Dalam kasus tersebut Rasulullah tetap jujur, walaupun tidak mengatakan seluruh informasi.
Sebagai pedagang, jika ditawar, tidak perlu menyampaikan harga beli, katakan saja harga yang kita berikan sudah baik. Kejujuran harus disertai dengan kecerdasan.
Tiga kebohongan yang dibolehkan (beberapa ulama menyatakan ada tujuh), yang dibahas di sini ada 4 :
1. Mendamaikan orang yang sudah lebih dari 3 hari bermusuhan.
Bermusuhan tidak boleh lebih dari tiga hari. Kita bisa berbohong dengan menyatakan kepada A bahwa si B mencari-cari A, dan sebaliknya. Jika mereka akhirnya bertemu, mudah-mudahan menjadi berbaikan.
2. Berbohong antara suami istri, dalam rayuan.
3. Berbohong dalam perang, menyelamatkan komandan, misi. Dalam perang tetap perlu dipastikan kebenaran, maslahat, dan mudharat. Maka dalam sejarah perang, biasanya ada ulama yang bertugas memberikan arahan benar tidaknya strategi.
4. Menyelamatkan seseorang dari pembunuhan, karena yang berhak melakukan pembunuhan adalah pengadilan.
Namun dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Hukum ada dua yaitu hukum azimah (pokok) dan hukum rukhshah (darurat). Sedapat mungkin kita menempatkan diri dalam hukum pokok. Maka jika kejujuran adalah wajib, dalam keadaan apapun kita upayakan untuk tetap jujur.
Sehingga bila ditanya tentang seseorang yang diancam akan dibunuh, dan kita ditanya apakah kita melihat orang tersebut, dan pada kenyataannya kita memang melihat orang tersebut, ada dua saran ulama :
Pertama, kita boleh berbohong dan mengatakan bahwa kita tidak melihat orang tersebut.
Kedua, kita berpindah tempat dengan sedikit bergeser posisi, dan berkata, “Sejak aku di sini, aku tidak melihat orang tersebut.” Maka dengan cara ini kita tidak berbohong, karena memang sejak kita berpindah posisi tadi, kita tidak melihat orang tersebut.
Seorang ulama di Baghdad juga menerapkan ini untuk menghindari tamu yang terlalu banyak, dengan menuliskan kata Kuffah (nama kota di luar Baghdad) di kamarnya. Sehingga ketika tamu datang, dapat dikatakan bahwa “Ustadz sedang ke Kuffah.” Maka tidak termasuk berbohong. Hal ini adalah bagian dari kehati-hatian ulama tersebut.
3. Ash Shidqu fil Amal, kejujuran dalam perbuatan.
Yaitu perbuatan yang sesuai standar yang seharusnya, dalam berbagai bidang kehidupan kita sehari-hari. Pembuatan sekrup, pembuatan adonan aspal, pelaksanaan marketing, sikat gigi, dan sebagainya.
Dari hal kecil yang tidak standar, akan berlanjut ke hal-hal yang besar.
Rekomendasi buku yang berkaitan : Membedah Cabang Keimanan.
No comments:
Post a Comment