Di kantor saya ada seminar dengan judul di atas, disampaikan oleh Bpk.Arvan Pradiansyah, berikut catatan saya, semoga bermanfaat.
Emotion comes from motion. Maka bergeraklah dengan bersemangat, suasana hati akan terpengaruh menjadi juga bersemangat.
Seringkali orang datang kelas motivasi seperti ke rumah sakit. Yang datang ke rumah sakit adalah orang yang sakit, sehingga yang datang ke kelas motivasi dianggap sebagai orang yang tidak termotivasi. Kita perlu mengubah pandangan ini, dengan melihat kelas motivasi seperti tempat fitness. Yang datang ke tempat fitness adalah orang sehat, yang ingin menjadi makin sehat. Artinya, yang datang ke kelas motivasi adalah orang yang sudah termotivasi, yang ingin terus meningkatkan motivasi.
Bidang dari lembaga yang dipimpin Pak Arvan dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu life and leadership, dengan tujuan menuju happiness and success.
Dalam hadits disebutkan bahwa setiap kalian adalah pemimpin. Pemimpin bagi suatu kelompok, baik yang besar maupun kecil, dan paling tidak adalah pemimpin bagi diri kita sendiri.
Seminar diawali dengan kuis. Silakan mencoba :-)
Judul kuisnya adalah “Digantung Sampai Kering”. Di masa lalu, satu-satunya cara untuk mengeringkan pakaian adalah menggantungnya sampai kering. Belum ada mesin pengering pakaian. Anggaplah kita kembali ke masa tersebut, dan kita dihadapkan pada setumpuk cucian yang harus segera dicuci, kita sudah kehabisan baju bersih. Namun, ketika baru saja kita akan memulai mencuci, terlihat awan mendung di langit. Apa yang pertama muncul di pikiran kita? Silakan dipilih :-)
1. Oh, tidak, kau pasti bercanda. Maksudmu aku tidak dapat mencuci hari ini? Lalu aku harus memakai baju apa esok hari?
2. Tunggu saja sebentar, barangkali nanti cerah.
3. Hore, aku tidak perlu mencuci! :-)
4. Aku tidak peduli apakah hari hujan atau cerah. Aku akan mencuci bagaimana pun kondisinya.
Yang mana pilihan kita? Silakan dipilih dulu, lalu silakan baca artinya berikut ini.
Kuis ini dibuat oleh seorang professor bidang kokologi dari Jepang, yaitu salah satu cabang dari psikologi, yaitu ilmu tentang pikiran. Menurut professor tersebut, pilihan dari kuis ini menunjukkan tingkat stress seseorang.
Di seminar ini, hampir separuh peserta memilih no 4. Sekitar 10 memilih no. 2, 3 orang memilih nomor 3, dan tidak ada yang memilih no. 1.
Jika memilih no. 1, dalam skala stress 0-100, kita berada di tingkat stress 80. Cukup tinggi, sehingga hal-hal kecil pun bisa membuat kita menjadi kesal.
Jika memilih no. 2, kita berada di tingkat stress 50. Cukup moderat, karena bagaimanapun stress tidak mungkin tidak ada.
Jika memilih no. 3, kita berada di tingkat stress 0. Walaupun perlu diwaspadai, karena stress dalam kadar tertentu, sebenarnya tetap bermanfaat.
Jika memilih no. 4, kita berada di tingkat stress 100 :-) Karena di sini terlihat bahwa kita tidak dapat beradaptasi dengan lingkungan, mengambil keputusan dengan terlalu cepat, yang bisa jadi malah membawa masalah yang lebih besar. Padahal tidak masalah jika kita memakai sekali lagi baju yang sudah dipakai :-)
Bagaimana tingkat stress Anda? Semoga kuis tadi tidak malah membuat stress :-)
Dalam melihat sebuah pekerjaan, akan lebih positif jika kita merasa pekerjaan tersebut bermakna, penting, dan melayani orang lain.
Tahapan dalam seseorang memandang pekerjaan :
1. Sebagai “Job”, tugas yang diberikan oleh atasan, scenario dari orang lain. Dengan pandangan seperti ini, kita akan memandang tugas sebagai beban, dan kita menjadi tidak menikmatinya. Pada tahap ini, kita berada pada kondisi “Survival”, melawan gravitasi, tidak sesuai dengan yang kita inginkan.
2. Sebagai “Career”, ada peluang pengembangan diri, scenario dari diri sendiri. Karir bisa direncanakan, dan rencana pengembangan bisa datang dari kita sendiri. Hal ini bukan berarti kita harus menjadi wirausahawan. Karyawan juga dapat menjalankan skenarionya sendiri, karena jika karyawan terus mengembangkan dirinya, perusahaan akan me-maintain karyawan tersebut. Pada tahap ini, kita berada pada kondisi “Success”, berhasil mencapai posisi-posisi dalam pekerjaan, sesuai dengan yang kita rencanakan.
3. Sebagai “Calling”, panggilan Tuhan, scenario Tuhan. Pada dasarnya kita semua adalah utusan Tuhan dengan titipan potensi pada diri kita, yang jika kita optimalkan, kita dapat berkontribusi maksimal bagi umat manusia. Kita harus menemukan panggilan Tuhan tersebut. Dan ini dapat terjadi dengan cepat, ataupun lambat. Pada tahap ini, kita berada pada kondisi “Happiness”, kita akan merasa bahagia, karena kita melakukan apa yang memang seharusnya kita lakukan.
Pertanyaan :
Apa bedanya, calling, passion, dan hobi?
Hobi adalah sesuatu yang senang kita lakukan, dalam melakukan hobi, kita akan merasakan passion. Jika kita melakukan sesuatu yang merupakan “Calling” kita, kita juga akan merasakan passion. Bedanya adalah dengan “Calling”, kita akan dapat memberikan kontribusi.
Kita bisa saja menguasai suatu bidang, dan kita dapat melakukan tugas dalam bidang tersebut dengan baik. Tapi jika bidang itu bukan “calling” kita, biasanya tidak ada passion, dan tidak maksimal.
Pak Arvan mencontohkan ketika dia mencari pekerjaan yang menjadi “calling”-nya, yang ternyata adalah men-develop orang, dan ternyata sudah sering dilaksanakan sejak beliau masih kecil, menjadi guru untuk adik-adiknya.
Memang kita perlu memperbaiki cara kita mengarahkan anak jika nanti mereka selesai sekolah. Bukan “find a good job”, tapi seharusnya “find your calling”. Mencari pekerjaan adalah perjalanan ke luar, sedangkan mencari “calling” adalah perjalanan ke dalam.
Pertanyaan :
Selama ini orang sering terpengaruh lingkungan, sehingga memiliki pekerjaan yang sama dengan yang banyak dilakukan orang di lingkungannya. Bagaimana melepaskan diri?
Untuk itu memang orang perlu untuk keluar dari gaya gravitasi. Pasti terasa berat, bagaimana pun naik tangga tentu lebih berat daripada turun tangga. Tetapi jika kita sudah bisa melawan gaya gravitasi tersebut, kita akan bisa memiliki pilihan yang lebih terbuka. Keluarlah dari keterkungkungan.
Pertanyaan :
Dalam film Spiderman yang terbaru disebutkan “Anda berhutang bakat kepada dunia.” Hal ini sebenarnya bisa jadi benar juga untuk kita semua. Bagaimana kaitan antara passion, talent, dan contribution value?
Calling dan bakat sama-sama berupa potensi, dan kedua-duanya harus ditemukan.
Pak Arvan mencontohkan bahwa beliau berbakat bermain music. Namun, ketika bermain music, beliau tidak suka ditonton. Artinya kita tidak ingin berkontribusi ke dunia dengan bakat tersebut.
“Calling” biasanya ditandai dengan bagaimana kita ingin dikenang, setelah kita tiada nanti, “leaving a legacy.” “Calling” pasti berkaitan dengan bakat dan hobi.
Antara kesuksesan dan kebahagiaan, seringkali orang menganggap bahwa kita harus sukses dulu baru bisa bahagia. Padahal yang benar adalah sebaliknya, kita harus bahagia dulu baru kita bisa sukses. Sukses hanyalah hitungan waktu.
Kita harus menemukan “calling”. Selama belum ditemukan, kita akan merasa ada yang kurang. “Calling” adalah panggilan jiwa, yang selalu memanggil. Ketika kita menemukan “calling”, dan kita akan mengikutinya, memang ada resiko, yaitu meninggalkan kenyamanan yang sekarang kita sudah nikmati.
Pak Arvan mencontohkan, ketika beliau berpindah dari HR Director di perusahaan multinasional menjadi trainer, penghasilan beliau berkurang separuhnya. Namun, setelah beliau jalani selama 8 tahun, dan jika dibandingkan dengan jika beliau tetap dengan pekerjaan sebelumnya, hasilnya telah jauh lebih tinggi berlipat ganda.
Tanyakan pada diri kita sendiri, apa bakat kita? Apakah kita bahagia? Apakah kita bersemangat dengan tantangan? Apakah kita sudah berkontribusi bagi perusahaan? Jika kita meninggalkan perusahaan, apa yang akan dikenang karyawan lain? Adakah beda bagi perusahaan, dengan ada dan tiadanya kita?
Kita jangan sekedar bekerja, tetapi berikan value. Nilai sebagai professional adalah pada value.
Untuk karyawan, berkaitan dengan menemukan “calling”, ada dua pendekatan :
Pertama :
Perjalanan masuk ke dalam, cari “calling” kita, dan jika ternyata berbeda dengan pekerjaan yang sekarang, pindahlah ke tempat lain yang lebih cocok, bisa saja masih dalam perusahaan, atau di luar perusahaan. Ini disebut dengan “do what you love”.
Kedua :
Ubah pandangan kita terhadap pekerjaan kita. Karena pada dasarnya di setiap pekerjaan ada unsur “calling”, niatkan pekerjaan kita sebagai pelayanan kepada orang lain. Ini disebut dengan “love what you do”.
4 hal yang dicari dalam pekerjaan :
1. Uang (tahap “survival”), hanya bahagia sekali dalam sebulan, sering galau, bersaing dengan kenaikan tingkat inflasi.
2. Relationship (tahap “comfort”), senang bertemu teman, makan siang dengan orang yang berbeda, banyak pintu rezeki yang terbuka.
3. Growing (tahap “success”), mencari pengembangan diri, dengan memecahkan masalah yang semakin sulit. Jika kita dalam 10 tahun masa kerja kita masih mengerjakan pekerjaan yang sama (merem pun selesai), artinya kita overpaid. Kita yang sudah mengalami kenaikan gaji 10 kali, mengerjakan pekerjaan yang sama dengan orang yang baru masuk kerja. Value yang kita berikan jika dibandingkan dengan uang yang kita terima, mengalami penurunan. Ini bukanlah “pengalaman” tetapi “penglamaan”. Orang seperti ini, jika menghadapi masalah yang berada di atas tingkat kompetensinya, akan menurunkan tingkat masalahnya.
Berbeda dengan orang yang ingin berkembang. Ketika ia menghadapi masalah yang beradai di atas tingkat kompetensinya, dia tingkatkan kompetensinya. Dan dia terus mencari masalah lain, agar dapat terus meningkatkan kompetensinya.
Orang hidup selalu bertumbuh. Namun betapa banyak orang yang sebenarnya sudah tidak hidup lagi, karena tidak lagi “bertumbuh”.
4. Service (tahap “happiness”), melayani orang lain. “Giving” before “getting”. Karena hidup dimulai dari “giving”. Uang adalah hasil. Layani orang dengan sepenuh hati, uang akan datang dengan sendirinya. Uang adalah akibat, tetapi kita sering menghabiskan waktu mencari akibat. Padahal yang kita harus lakukan adalah menguatkan sebab, jangan mencari akibat.
“Calling” biasanya dalam konteks melayani orang lain. Kadang kita perlu mundur 1 langkah, berkorban dulu.
Melayani orang lain, kita melihat pekerjaan lebih dari sekedar fisiknya.
Jika kita melihat OB, apakah mereka senang dengan pekerjaannya? Jika dia melihat pekerjaannya adalah membersihkan ruangan, maka dia akan bosan dan jenuh. Namun jika dia melihat pekerjaannya adalah melayani orang lain, agar dapat bekerja dengan nyaman, sehingga perusahaan mendapatkan keuntungan, maka dia akan bahagia dengan pekerjaannya.
Resepsionis, akan merasa lebih bahagia dengan pekerjaannya, jika ia melihatnya tidak sekedar menerima telepon, tetapi sebagai peran penting untuk menghubungkan orang penting di dalam dengan orang penting di luar. Pekerjaannya menjadi bermakna.
Supir, akan merasa lebih bahagia jika dia melihat pekerjaannya bukan sekedar menyetir, tetapi melayani penumpang.
Melihat pekerjaan dengan cara berbeda, setiap pekerjaan ada customer, melayani orang lain, akan lebih sukses. Lakukan sepenuh hati, jiwa, dan diri. Lihat sebagai perintah Tuhan untuk melayani dunia.
Pertanyaan :
Apakah mungkin ketika kita sudah sampai ke fase 4, lalu kembali ke fase 1?
Pada dasarnya tidak. Ketika kita masih sering kembali ke fase awal, artinya kita masih belum menemukan “calling” kita.
Komentar peserta :
Kita dapat memandang pekerjaan kita sebagai persembahan kepada Tuhan, lebih dari sekedar pelayanan kepada manusia.
“Calling” adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan untuk kita temukan, dan pasti ada. Dan hadiah terindah kita untuk Tuhan adalah menggunakan hadiah itu untuk melakukan pelayanan kepada dunia. Dan ketika maut menjelang, kita bisa berkata pada Tuhan, aku sudah pergunakan semua potensi yang Kau berikan, habis-habisan, mission accomplished, ambillah nyawaku. Dapat dikatakan, “calling” adalah jalan Tuhan untuk kita.
Sehingga bukan sekedar “customer satisfaction” yang kita tuju, tetapi “God satisfaction”. “Customer satisfaction” adalah rumus kesuksesan, untuk karir, yang akan berakhir ketika kita pensiun dari pekerjaan. Dengan “calling”, kita pensiun ketika kita mati. Karena pada dasarnya, selama masih ada umur, maka masih ada misi. Artinya tujuan hidup kita tidak hanya terbatas pada pekerjaan, tetapi sesuatu yang dilakukan sampai akhir hayat.
Ada orang yang memandang pekerjaan sebagai ibadah, namun ketika diperdalam, yang dimaksud adalah untuk memberikan nafkah bagi keluarga. Maka ini sebenarnya masih pada tahap mencari uang. Bekerja untuk ibadah yang sebenarnya adalah pengabdian, melayani orang lain. Hidup akan lebih bernilai.